Langit cerah biru lazuardi menghiasi indahnya suasana pantai Carita siang ini. Suara debur ombak terdengar begitu lembut dan hangat. Ketenangan seperti ini biasanya melahirkan inspirasi bagi penulis fiksi seperti Bintang, tapi saat ini kehadiran sepasang insan yang terhubung dalam suatu ikatan tali asmara bukan untuk mencari inspirasi melainkan untuk memikirkan masa depan hubungan mereka.
Melati tidak mengerti kenapa ayahnya masih ingin menjodohkannya dengan seorang pegawai negeri bertitel dengan golongan esselon 3 padahal beliau tahu, Melati sangat mencintai Bintang. Laki-laki yang memilih menjadi penulis fiksi sebagai pekerjaannya, tanpa titel ataupun jaminan memiliki pensiun di masa tua nanti. Tapi Bintang bukan penulis biasa, dia sudah menerbitkan dua puluh lima buku, sepuluh diantaranya best seller dan dia juga di percaya sebagai redaktur di sebuah majalah.
Tapi apalah arti dua puluh lima buku bagi ayah Melati bila dibandingkan dengan titel dan golongan kerja yang dianggap menjadi jaminan masa depan putri sulungnya. Memang tetangga sekitar pun pasti akan lebih memuji Damar, S.E., S.Sos., MM, DLL, DSB yang merupakan seorang pegawai negeri esselon 3 jika dibandingkan dengan pemilik dua puluh lima buku. Tanpa pangkat. Tanpa titel. Karena mereka menganggap menjadi penulis tidak memiliki masa depan yang cerah.
Damar memang hebat, masih muda tapi dia sudah memiliki pangkat yang tinggi dengan sederet gelar yang dimilikinya. Tapi bagi Melati, Bintang istimewa. Bukan karena dia sudah menerbitkan dua puluh lima buku tapi Bintang, satu-satunya lelaki yang dapat memahami Melati. Itu sudah cukup membuat Melati mampu bertahan dengan Bintang selama hampir tiga tahun ini.
Tapi sekali lagi, Bintang tidak bertitel dan tidak berpangkat. Hal itulah yang menjadi hambatan bagi hubungannya dengan kekasih hatinya ini. Melati ingin bisa menikah dengan Bintang tapi ayah Melati, tidak pernah menyetujui hubungan mereka. Mungkin ayahnya berpikir, buat apa susah-susah disekolahkannya anak sulungnya hingga mendapat gelar S.Pd, jika akhirnya hanya berjodoh dengan penulis.
“Bawa aku pergi, Bintang. Bawa aku pergi kemanapun, asal dengan kamu, aku rela meski harus hidup di dalam rumah kardus sekalipun.” Air mata Melati meleleh membasahi pipinya.
“Aku nggak bisa, Melati, aku nggak mungkin bawa kamu pergi tanpa restu ayahmu.”
“Tapi sampai kapan kita harus menunggu, Bintang? Mengharapkan Ayah merestui hubungan kita sama saja dengan menyuruh matahari tidak terbit esok pagi.” Suara Melati sudah berbaur dengan isak tangisnya.
“Kamu jangan bicara seperti itu, Melati, kita tunggu ya, sebentar lagi, aku yakin ayah pasti akan berubah pikiran.” Bintang membawa tubuh kekasihnya ke dalam pelukannya.
Dia juga ingin membawa pergi Melati tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Bukankah itu sama saja dengan memberi minyak pada api? Ayah Melati sudah tidak menyetujui hubungan mereka lantas Bintang memilih bersikap egois dengan membawa kabur putri sulung pak Burhan. Bukan tidak mungkin pak Burhan akan semakin membenci Bintang dan mungkin rasa bencinya akan semakin meresap ke sumsum tulangnya. Apalagi jika mereka menikah, Melati membutuhkan wali nikah.
“Bintang, aku tahu caranya biar Ayah merestui kita.” Tiba-tiba Melati menjauhkan tubuhnya dari pelukan Bintang. Laki-laki itu mengangkat alis. “Anak.”
“Maksud kamu?” kali ini Bintang mengerenyitkan alisnya. Meski secara samar dia dapat menangkap maksud dari kata terakhir yang diucapkan oleh kekasihnya tapi pertanyaannya hanya untuk menegaskan, benarkah kekasihnya yang bicara seperti itu.
“Kalau aku hamil, pasti Ayah mau nggak mau akan merestui hubungan kita.”
“Melati!” tukas Bintang. “Aku tidak menyangka kamu bisa berpikir seperti itu. Aku bukan laki-laki seperti itu, Melati.”
“Tapi nggak ada jalan lain, Bintang, kalau kita kasih ayah seorang cucu, pasti ayah juga tidak akan menolaknya.”
“Aku tahu kamu bingung, Melati, aku juga merasakan hal yang sama, tapi diantara rasa bingung aku, tidak pernah aku berpikir akan menghamili kamu agar mendapatkan restu – secara terpaksa – dari ayah, bukankah itu sama saja dengan kamu mengajak aku untuk kawin lari? Kalau memang ingin aku lakukan, sudah kulakukan dari dulu.”
“Tiga hari lagi Damar dan keluarganya akan datang, Bintang, dia akan melamarku, kamu tahu? Dan saat itu mereka akan menentukan tanggal pernikahan yang tidak pernah aku inginkan.” Air mata semakin membanjiri pipi Melati membuat wajah gadis itu sembab dan matanya memerah.
Bintang benar-benar kehabisan akal. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mempertahankan kekasihnya. Hanya bermodalkan cinta apakah mungkin hubungan mereka akan bisa terus berlanjut hingga ke jenjang pernikahan? Tapi apakah hanya cinta yang menjadi modal Bintang sekarang. Hanya karena dia tidak bertitel dan tidak berpangkat lantas cintanya harus pupus ditengah jalan.
Bintang dengan Melati sudah merancang masa depan yang indah. Dari royalti novel-nya Bintang bukan hanya membeli sepeda motor Honda Tiger, laptop ataupun handphone saja tapi dia juga sudah mencicil sebuah rumah untuk mereka tempati berdua bersama dengan anak-anak suatu hari kelak. Dia juga sudah menabung untuk masa depan mereka. Tapi semua mimpi itu hanya menjadi impian belaka, Melati, calon istrinya, akan dijodohkan dengan pria lain hanya karena alasan titel dan pangkat.
Andai saja waktu itu Bintang memutuskan untuk kuliah dan tidak memutuskan menjadi seorang penulis mungkin tidak akan seperti ini persoalan cintanya. Restu akan didapatkannya dengan mudah. Asalkan dia memiliki gelar dan berpangkat. Gelar apapun akan diraihnya, sekalipun dia tidak berminat kuliah, kalau memang itu bisa memuaskan hati Ayah Melati.
Tapi kalau Bintang tidak memutuskan menjadi penulis, mungkinkah mereka akan bertemu? Guru muda ini menyukai Bintang dari karya-karyanya. Dengan bangga dia menobatkan dirinya sebagai penggemar Bintang nomor satu yang telah mengoleksi seluruh novel Bintang sejak SMA, yang mungkin akan membuat penggemar lainnya memprotes, “Memang Cuma kamu penggemar Bintang!”. Dari tulisan itulah mereka bertemu.
***
Mendapatkan restu dari Ayah Melati memang tidak mudah. Sejak pertemuan pertama Bintang dan kedua orang tua Melati tiga tahun lalu, hanya ibu Melati yang menaruh respek sedangkan ayahnya menatap sebelah mata padanya pun tidak!
“Ayah. Ibu. Kenalkan teman Melati, namanya Bintang.” Dengan perasaan berdebar-debar Melati memperkenalkan Bintang pada kedua orang tuanya.
Meski Melati mengatakan Bintang adalah temannya tetapi Ayah dan Ibu Melati sudah dapat mengira siapa gerangan laki-laki yang dibawa oleh putrinya. Bintang mencium tangan calon mertuanya dengan khidmad lalu Ibu Melati menyambutnya dengan senyum namun Ayah Melati masih tetap memasang wajah keras.
“Bintang ini novelis merangkap redaktur majalah, dia sudah menerbitkan dua puluh buku, sebagian besar best seller.” Promo Melati. Dengan harapan, lewat promonya kedua orang tuanya dapat melihat betapa hebatnya Bintang.
Sebenarnya masih banyak yang ingin Melati pamerkan tentang prestasi Bintang selama ini yang tentunya sangat membanggakan bila kemudian nantinya kedua orang tuanya ikut memuji, tapi biarlah nanti kedua orang tuanya tahu dengan sendirinya. Apalagi Bintang tipe orang yang tidak suka pamer, dia lebih suka orang melihat apa adanya dirinya.
“Wah…, hebat sekali! Masih muda sudah berprestasi.” Mata Melati langsung berbinar diserang kebahagiaan saat dia melihat kekaguman terpancar jelas di wajah ibunya. Melati yakin sekali, dia memang tidak salah memilih.
“Penulis?” ayahnya menyahut dingin. “Memang berapa biasanya royalti penulis itu?” Melati terkejut saat mendengar pertanyaan ayahnya yang langsung pada intinya tanpa ada basa-basi.
“Ayah.” Ibu menegur halus sambil mengusap lengannya.
“Loh, kenapa? Memangnya ayah salah bicara? Wajar toh ayah bertanya begitu, karena ayah ingin tahu berapa biasanya royalti penulis?” tapi Bintang hanya tersenyum saat calon mertuanya menanyakan hal itu.
“Bisa lebih dari sepuluh juta.”
“Tapi itu tidak tetap kan? Memang berapa kali dalam setahun kamu menerbitkan novel?” Melati memejamkan matanya saat mendengar pertanyaan-pertanyaan ayahnya yang memberi kesan menyepelekan.
Terlebih ketika ayahnya menanyakan dari universitas mana Bintang berasal dan dia menjabat sebagai apa di tempat kerjanya. Tentu Bintang akan menjawab apa adanya, dia hanya lulusan SMA dan tidak memiliki jabatan penting apa-apa di tempat kerjanya. Tidak mungkin Bintang berbohong. Untuk apa dia berbohong? Hanya ingin mendapat pujian dari calon mertuanya?
Memandangi wajah Ayah yang tampak tidak menaruh respek pada Bintang, Melati seperti sudah menelan biji durian, bukan durian montong yang bijinya seukuran kelingking bayi tapi durian lokal yang bijinya besar bukan kepalang. Menyesakkan. Meski dia melihat reaksi yang diperlihatkan Ibu menyenangkan tapi Melati merasa hubungannya dengan Bintang tidak akan mendapat restu.
Dan ternyata kegelisahan Melati terjawab, meski sudah tiga tahun mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih tetapi restu dari ayahnya tetap tidak keluar. Melati benar-benar putus asa. Dia ingin bisa hidup bahagia dengan Bintang, tetapi Melati tetap ingin berbakti pada kedua orang tuanya.
“Memangnya kamu sudah diapakan oleh si Bintang itu.” Tukas Ayahnya ketika Melati bersikeras mengatakan ingin menikah dengan Bintang.
Melati mengerutkan dahi bingung mendapat pertanyaan itu.
“Apa maksud Ayah?”
“Maksud Ayah, apa kamu sudah menyerahkan tubuhmu pada si Bintang sampai kamu bersikeras ingin menikah dengannya.”
“Ayah!” pekik Melati gusar. Dia tidak mengira Ayahnya akan mengira demikian. “Melati masih suci.” Desis Melati menahan marah. “Lagipula Bintang tidak pernah melakukan perbuatan tidak senonoh padaku, kami tidak serendah itu, hubungan kami sehat dan kami menjalaninya atas nama cinta.”
“Heh. Cinta? Mau makan apa kamu jika terus menomor satukan cinta!”
Melati hanya bisa diam tertunduk. Kalimat yang dilontarkan Ayahnya sungguh menusuk relung hatinya. Sepicik itukah Ayahnya memandang Bintang.
Ayahnya memang terlalu percaya pada ramalan para ustadz, dan mereka mengatakan jika Melati dan Bintang menikah. Mereka tidak akan pernah bahagia. Hidupnya akan selalu dikelilingi masalah. Selain itu Bintang dan Melati akan terus hidup miskin. Tapi Melati tidak pernah percaya itu, meski yang mengatakannya kiayi sekalipun.
Yang dia percayai, sesulit apapun Tuhan memberikannya ujian pasti akan ada jalan keluarnya. Serumit apapun masalah yang akan dihadipinya pasti akan dapat dipecahkan. Tuhan tidak akan memberikan penyakit yang tidak ada obatnya, semua penyakit pasti ada obatnya kalau dikatakan tidak ada itu karena belum ditemukan. Begitu juga dengan kesulitan.
***
“Neng, sudah ditunggu di bawah, tamunya sudah datang.” Melati menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat ketika Bi Inah memanggilnya.
“Iya, Bi, sebentar lagi saya turun.” Sahutnya dari dalam.
Hari yang tidak diinginkan akhirnya tiba juga. Dan mau tidak mau dia harus menghadapi hari ini. Andai dia punya kekuatan memindahkan waktu, Melati ingin sekali agar hari ini menjadi milik orang lain.
Usaha seperti apapun yang telah dilakukan Melati untuk mempertahankan cintanya pada Bintang, hanya menjadi sia-sia belaka. Meski Ibunya, yang biasa menurut pada ayahnya, pernah melakukan pertentangan atas rencana suaminya, tapi tetap tak mengubah keputusan mutlak sang Ayah.
Sedari pagi tadi langit mendung menggantung menaungi bumi seolah ikut berduka bersama Melati. Melati melangkah ke jendela sebelum dia memutuskan untuk keluar. Terlebih dahulu di pandanginya suasana sekitar kompleks perumahan yang tampak sepi.
“Selamat tinggal, Bintang, seperti apapun diriku nantinya, aku akan selalu mencintaimu.” Bisiknya.
Keluarga besar Damar telah menanti ketika dia tiba di ruang tamu. Senyum Damar tampak cerah menghiasi wajah tampannya. Sebenarnya apa yang kurang dari Damar, dia tampan dan mapan. Anaknya berbakti dan sangat menyayangi Ibunya. Calon menantu dambaan setiap orang tua.
Tetapi Melati tidak dapat mencintai Damar seistimewa apapun Damar di mata orang lain, karena cintanya sepenuhnya telah dia berikan pada Bintang. Andai saja bunuh diri tidak dosa, mungkin saat ini dia akan lebih memilih bunuh diri. Karena Melati merasa jiwanya telah mati.
***
Acara pertunangan berjalan dengan lancar. Tanggal pernikahan pun telah ditetapkan. Rencananya pada akhir tahun nanti bertepatan dengan hari ulang tahun Melati yang ke dua puluh empat tahun. Damar memang sengaja ingin memberikan kado istimewa di hari ulang tahun istrinya.
Telepon berdering ketika para tamu tengah menikmati hidangan. Melati melihat bi Inah yang tergopoh-gopoh menghampiri meja kecil untuk mengangkat telepon. Tak lama kemudian bi Inah memberi kode pada Melati karena telepon itu ditujukan untuknya.
“Ya, hallo…” Melati menyapa si penelepon. “Hei, Indra, ada apa?” tumben Indra meneleponnya bukankah dia kemarin pergi mendaki gunung. “Oh, sorry hapeku ada diatas.” Ujar Melati setelah Indra mengomelinya karena hapenya tidak diangkat.
Tapi kemudian Melati terkejut menerima berita yang disampaikan Indra melalui telepon. Tubuh Melati langsung mengejang. Dengan tangan bergetar Melati meletakkan kembali gagang telepon ke tempat semula, lalu tanpa pikir panjang lagi Melati lari keluar.
Tidak dihiraukannya panggilan orang-orang yang heran dan bertanya-tanya melihat Melati meluncur lari. Dia langsung melarikan motor matic milik tamu yang di parkir di halaman, dan tamu ceroboh itu telah membiarkan kuncinya tergantung di motor.
Indra tadi mengabarkan berita yang mengejutkan. Dia tidak mengira Bintang akan ikut ke acara pendakian yang diselenggarakan Indra dan kawan-kawannya. Selama ini Bintang tidak pernah mendaki gunung, padahal Indra sudah melarang karena medan yang akan mereka tempuh bukan diperuntukkan pemula tapi dia tidak menggubris.
Dan akhirnya ditengah jalan Bintang menghilang. Beberapa jam yang lalu mereka memang berhasil menemukan Bintang tetapi dia sudah tidak bernyawa lagi, tubuhnya penuh luka memar dan benturan di kepalanya yang telah membuat Bintang meninggal dunia. Ironisnya didalam tas Bintang tidak ditemukan makanan, karena yang dibawanya selain satu liter air ternyata hanya buku-buku karyanya, photo-photo dia dan kekasihnya juga beberapa barang pemberian Melati.
Astaga! apakah itu artinya Bintang memang berniat bunuh diri di gunung dengan membawa kenangan mereka.
Melati memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dia ingin segera tiba di rumah sakit tempat jenazah Bintang berada. Tapi dia sama sekali tidak menyadari bahaya datang menghadang dalam perjalanannya, dari arah berlawanan tiba-tiba saja sebuah mobil yang menyalip beberapa mobil didepannya datang menghampiri.
Karena jalan yang dilalui Melati masih satu jalur, motor Melati tidak punya cukup ruang untuk menghindar. Dengan keadaan panik Melati menurunkan motornya ke tanah tapi karena tanahnya licin motor Melati tergelincir, dia tidak bisa mengendalikannya hingga tubuh mungil Melati terhempas.
***
“Maafkan kami, Pak, putri Bapak telah menghembuskan nafas terakhirnya saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, kepalanya yang tidak terlindungi helm telah membentur batu besar.” Ujar seorang dokter pada pak Burhan.
Tangis istrinya langsung pecah mendengar putri semata wayangnya telah tiada. Dipeluknya tubuh istrinya. Baru saja didengarnya dari Indra alasan Melati tiba-tiba pergi dari rumah. Tidak pernah disangkanya Melati dan Bintang akan meninggal di hari yang sama, cinta mereka benar-benar abadi hingga mati.
Pak Burhan hanya bisa melihat Ibu Bintang menangis meraung-raung menangisi tulang punggung keluarganya yang telah tiada.
“Oom, ini buku harian Melati yang ada di tas Bintang.” Ujar Indra sambil menyerahkan sebuah buku harian. “Didalamnya banyak cerita cinta antara Melati dan Bintang, Melati sengaja menyerahkan diary ini pada Bintang saat dia akan bertunangan.”
Pak Burhan menerima buku harian itu dengan tangan gemetar. Dilembarinya catatan putri semata wayangnya itu. Setiap kata-kata terangkai dengan indah, perjalanan cinta mereka yang begitu manis penuh canda dan tawa. Saat itu Pak Burhan baru merasakan ketulusan cinta keduanya.
Cinta mereka bukan terlahir dari kata “Karena” tetapi “Walaupun”. Walaupun Bintang hanya seorang penulis dengan penghasilan pas-pasan tetapi Melati tetap mencintainya. Walaupun mata sebelah kiri Melati cacat tapi Bintang tetap mencintai Melati. Walaupun cinta mereka penuh rintangan tetapi cinta itu tetap akan hidup abadi dalam hati mereka.
Bintang, dihari pertunanganku nanti itu berarti Melati yang sebenarnya telah mati, karena hari ini pun hati dan jiwaku telah mati.
Melati, aku rela menggadaikan nyawaku pada alam jika memang cinta kita tidak akan pernah bersatu.
Air mata Pak Burhan jatuh meleleh setelah membaca halaman terakhir yang dituliskan oleh sepasang insan yang memiliki cinta abadi itu. Setangkai bunga Raflesia Arnoldy menjadi pembatas di halaman terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar