Selasa, 29 November 2011

Tamu Ayah

Jika hari sabtu malam minggu telah datang, tamu Ayah Annisa pasti berkunjung. Seorang laki-laki berperawakan tinggi sedang, berwajah tampan. Namanya Andy, dulu merupakan anak didik Ayahnya, menurut Ayahnya, Andy masih keturunan Belanda, makanya tampangnya kelihatan indo. Mungkin nenek buyut Andy penjajah yang memilih untuk tidak pulang ke negaranya, karena sudah kerasan tinggal di Indonesia atau mungkin ketinggalan kloter.

Awalnya Annisa tidak terlalu memerhatikan kehadiran laki-laki, yang tampak masih terlalu muda, jika dikatakan sebagai teman Ayahnya ini, tapi seiring seringnya dia datang saat malam minggu membuat Annisa jadi merasa heran.

Teman Ayahnya datang malam minggu? Satu pertanyaan menggantung di benak Annisa, tidak salahkah? Malam minggu identik dengan laki-laki berkencan dengan perempuan, pacaran, atau sekedar kumpul dengan teman-teman.

Jangan salah, malam minggu juga bukan hanya milik anak muda, terkadang Ayah dan Ibunya pun menghabiskan malam minggu berduaan saja, mereka pergi menonton bioskop atau makan malam berdua dan meninggalkan ketiga anaknya. Annisa hanya tersenyum-senyum melihat kemesraan keduanya, dan membiarkan mereka menikmati keindahan cinta mereka layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta.

Tapi tamu Ayah satu ini datang pada saat malam minggu. Entah sejak kapan dia mulai sering datang pada malam minggu, mungkinkah memang sejak kunjungan pertamanya pun dia selalu datang malam minggu? Dan kenapa harus malam minggu. Disaat banyak orang-orang ingin menghabiskan malam minggu bersama orang yang disayangi, karena malam minggu memang malam yang panjang.

Awalnya Ayah Annisa lah yang selalu menamaninya mengobrol tapi setelah beberapa kali kunjungannya, tiba-tiba Ayah menyuruhnya menemani.

“Nis, tolong kamu temani Andy sebentar, Ayah mau buat modul dulu.”

Mau tidak mau Annisa mengikuti permintaan Ayahnya, tidak enak juga jika harus meninggalkan tamu sendirian seperti itu, sudah jauh-jauh dia datang malah di cueki.

“Baik, Ayah.”

Annisa lalu keluar sambil membawa nampan berisi setoples kue, padahal tadi dia sudah menyuguhkan kue dan orange juice, tapi dia sengaja membawa kue lagi agar dia punya alasan untuk menghampirinya.

“Diminum, Kak.” Tawar Annisa sambil menghidangkan kue yang dibawanya.

“Terima kasih.” Andy menyahut pelan. Pelan sekali sampai nyaris tidak terdengar.

Annisa lalu duduk di sofa panjang.

“Emm… Ayah katanya lagi buat modul dulu.” Dia memulai berbasa-basi.

Maksud hati sekedar ingin memberitahukan bahwa sekarang dialah yang akan menemani pria ini mengobrol, dan Annisa berharap dengan pancingan itu Andy akan memulai obrolannya.

Tapi setelah menunggu beberapa menit Andy tidak bereaksi, dia diam seribu bahasa membuat Annisa salah tingkah. Sedang apakah sebenarnya laki-laki ini, apakah dia sedang menunggu tokek berbunyi sebagai aba-aba kapan dia harus bicara. Tapi rumah Annisa berada ditengah kota, mana mungkin ada suara tokek di dekat rumahnya.

Setelah dia harus menunggu lagi selama lima menit, akhirnya Annisa pun memberanikan diri memulai pembicaraan. Bukankah kata Ayahnya Andy dulunya anak didik Ayahnya, jika memulai dengan pertanyaan itu dan berpura-pura seolah dia tidak tahu, rasanya bisa dijadikannya sebagai pancingan untuk memulai pembicaraan.

“Emm… Kak Andy ini dulu muridnya Ayah?” Andy mengangguk. “Ayah ngajar kelas berapa?”

“Waktu kelas dua.”

“Ngajar apa?”

“Bahasa Inggris.”

“Ayah baik nggak?”

“Iya, baik.”

“Kakak pernah dihukum?”

“Nggak.”

“Berarti Kakak bukan murid yang nakal dong.”

“Ayahmu nggak pernah menghukum murid, biarpun sama murid yang bandel.”

Annisa kembali terdiam. Kumpulan pertanyaannya sudah habis, Andy menjawab dengan
datar dan dia hanya menjawab sesuai yang ditanyakan, tidak dilebihkan apalagi dikurangi. Jika jawabannya tidak, hanya akan dijawab tidak, dan jika jawabannya Iya, cukup dengan kata Iya. Tidak ada penjelasan lain.

Annisa jadi bingung sendiri, apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan sudah, tapi Andy merespon biasa saja. Apa dia malas mengobrol dengan anak kecil? Siapa tahu saja.

“Andy itu murid kesayangan Ayah.” Ujar Ayahnya ketika Annisa menanyakan siapakah sebenarnya Andy. Jika dia sering datang ke rumah seperti ini berarti dulu mereka pernah dekat, jarang-jarang ada murid yang sampai sekarang masih ingat pada gurunya.

“Kalau dia murid kesayangan Ayah, berarti dia anak yang berprestasi dong.”

“Justru karena dulu dia anak yang Bengal makanya Ayah tertarik padanya.”

Annisa melongo mendengar penjelasan Ayahnya. Pak Hasan hanya mengukir senyum kemudian Beliau menceritakan anak murid kebanggaannya itu pada putrinya.
Rupanya Andy merupakan anak hasil broken home, kedua orang tuanya bercerai ketika dia baru duduk dibangku kelas satu SMP, setelah bercerai mereka tidak ada yang ingin membawa Andy serta. Karena dia merasa tidak punya pegangan, hidup Andy pun jadi berantakan, hobinya menyakiti orang, dia selalu merasa senang jika sudah melihat orang lain menderita karena ulahnya, sebab dia merasakan kepuasan.

Meski sudah beberapa kali dipanggil oleh guru BP, tapi Andy tidak pernah berubah, disuruh konseling pun tidak mau. Nilainya tidak pernah lebih dari telinga monyet atau kursi terbalik, bergaulnya saja dengan preman pasar, tapi saat Andy sudah hampir dikeluarkan karena para guru sudah tidak ada yang sanggup menghadapinya lagi, Ayah Annisa mengajaknya bicara dan dia menjamin Andy akan berubah.

Ayahnya menepati janji, Beliau berhasil mengubah Andy, menjadikan seorang Andy yang Bengal menjadi anak yang rajin dan berprestasi. Kabarnya bahkan sekarang Andy sudah menjadi pengusaha. Tapi anak Bengal itu seperti kehilangan kata-kata sekarang, dia lebih banyak diam saat bersama dengannya. Jika memang dulu Andy Bengal, kenapa sekarang dia berubah jadi pendiam seperti ini?

“Kamu sudah besar sekarang ya.” Tiba-tiba Andy bersuara. Nyaris Annisa bersorak senang ketika mendengar Andy memulai pembicaraan.

“Memangnya Kakak tahu waktu aku kecil?”

“Iya, dulu Pak Hasan sering membawamu ke sekolah saat bagi raport atau saat sekolah sedang mengadakan acara, Kakak juga sering main ke rumah Pak Hasan yang lama.”

Annisa hanya mengangguk-angguk. Dia sama sekali tidak ingat, memang Ayah dan Ibunya pernah menceritakan, saat dia kecil dulu sering dibawa ke sekolah oleh Ayahnya. Dan dia juga tidak terlalu mengingat laki-laki yang katanya sering datang main ke rumah ini. ***

“Kak, tebakan, malam ini Kak Andy bakal datang lagi nggak.” Ujar Aisyah ketika Annisa tengah membaca buku di kamarnya.

“Itu sih bukan tebakan, Ai, dia pasti datang lagi, habis dia itu pacar barunya Ayah.” Sahut Annisa geli.

Yang dilakukan Andy memang menarik perhatian seisi rumah, seorang anak murid mendatangi gurunya setiap malam minggu, seperti laki-laki yang mengencani anak perempuan. Padahal setiap malam minggu tidak ada yang mereka lakukan apa-apa selain mengobrol, dan biasanya tidak lama, hanya setengah jam, kemudian Andy kembali pamit. Entah apa yang mereka bicarakan.

“Tapi sekarang kenapa Ayah selalu menyuruh Kak Nisa yang menemani Kak Andy?”
Memang benar, akhir-akhir ini Ayahnya selalu menyuruhnya menemani Andy. Alasannya memang selalu masuk akal, misalkan saja saat itu Ayahnya harus membuat modul untuk bahan pelajaran murid-muridnya, atau disaat yang bersamaan Ayah harus pergi keluar.
Tapi meski tahu Pak Hasan tidak bisa menemaninya, Andy tetap duduk disana tanpa sungkan, bahkan karena sudah dianggap keluarga, Andy tidak lagi sekedar duduk mematung di ruang tamu, melainkan ikut bergabung menonton atau mengobrol bersama dengan Ibu dan kedua adik Annisa.

“Kak Nisa menemani kak Andy saat Ayah nggak bisa menemani saja.”

“Tapi sering loh, Kak, Apa Kakak nggak curiga?”

Curiga? Kenapa harus curiga? Tidak baik mencurigai Ayah sendiri, lagipula apa yang harus dicurigai? Annisa sama sekali tidak mencium bau mencurigakan.

“Kenapa harus curiga sama Ayah?”

“Ya, siapa tahu saja sebenarnya kedatangan Kak Andy selama ini untuk Kak Nisa, mungkin saja Ayah mau menjodohkan Kak Andy dengan Kak Nisa.”

“Apa?” belalak mata Annisa mendengar jawaban adiknya.

Jangan-jangan memang benar maksud dan tujuan Ayahnya adalah untuk menjodohkannya dengan Andy. Pantas saja belakangan ini sering kali Ayahnya tidak bisa menemani Andy, dan Andy juga terkadang pernah mengajaknya jalan-jalan. Dia seperti dibiarkan beradaptasi dengan keluarga ini.

Tapi masa sih Ayahnya mau menjodohkannya dengan laki-laki yang tiga belas tahun lebih tua darinya? Loh, bukannya wajar kalau menikah, usia laki-lakinya lebih tua, lebih dewasa. Biar bisa melindungi, bisa memanjakan, bisa menjadi pemimpin yang baik.

Annisa tiba-tiba jadi cemas. Seandainya yang dikatakan adiknya benar, bagaimana?

“Annisa.” Terdengar suara Ayahnya dari luar.

“Iya, Yah” Annisa menoleh ke arah pintu yang terbuka,

Wajah Ayahnya tampak pucat, sepertinya ada kabar tidak baik malam ini.

“Temani Ayah ke rumah sakit, Andy sore tadi kecelakaan.”

Tertegun Annisa mendengarnya. Murid kesayangan Ayah mengalami kecelakaan, pantas saja sudah jam delapan malam Andy tak kunjung tiba, biasanya setengah delapan bel pintu sudah berbunyi. Tapi sejenak kemudian Annisa teringat kata-kata adiknya baru saja, mengapa selalu saja dia yang disuruh ini-itu jika berhubungan dengan Andy?

“Ayah, besok Nisa ada kuliah tambahan dan ada quis, Ayah pergi sama Aisyah saja.”

“Yang bisa menyetir kan hanya kamu, Ayah agak lelah hari ini jadi kamu saja yang menyupir, sebentar saja, Nisa, masa kamu tidak mau menjenguk Kakakmu?”
Kakak? Benar juga, Ayahnya sudah mengatakan seperti itu berarti memang tidak ada perjodohan diantara mereka. Semoga saja itu benar, jadi dia tidak perlu cemas.

“Baiklah.”

“Kak Nisa, salam buat Kak Andy yah.” Aisyah melambaikan tangan dengan senyum menggelitik. Annisa tahu, adiknya sedang mengejeknya.

“Keluar kamu dari kamar Kakak, awas. Jangan ada yang berantakan.”
Aisyah menjulurkan lidah.
***
Mobil Andy menabrak angkot yang ugal-ugalan. Keadaannya cukup parah ketika Annisa dan Ayahnya datang, kepala dan kakinya dibebat perban, tapi untunglah nyawanya masih tertolong.

“Andy, bagaimana keadaanmu?” Ayah Annisa begitu khawatir ketika mendengar kabar murid kesayangannya kecelakaan.

“Tidak apa-apa, Pak, saya sudah jauh lebih baik.”

“Pak guru.” Seorang perempuan yang usianya tak terpaut jauh dengan Andy, lalu mencium tangan Ayah Annisa dengan penuh rasa hormat.

“Ini Annisa yah, sudah besar sekarang kamu.” Annisa hanya mengulas senyum. “Kamu pasti lupa dengan Kakak, dulu kamu masih kecil sih, nama Kakak Sarah, mantan pacarnya Mas Andy, dulu kamu dengan Mas Andy dekat sekali, apa kamu tidak ingat?”
Annisa memang pernah punya ingatan dekat dengan seorang Kakak laki-laki sewaktu kecil dulu, tapi dia tidak terlalu banyak menyimpan kenangan tentangnya. Yang dia dapat ingat, dulu Kakak itu pernah membelikannya sebuah boneka besar dan hingga sekarang boneka itu masih disimpannya. Apakah itu Andy?

“Kalau nggak salah Mas Andy pernah kasih boneka teddy bear waktu kamu ulang tahun keempat.”

“Iya, bonekanya masih ada, aku nggak ingat kalau boneka itu dari Kak Andy, aku hanya merasa boneka itu nggak bisa aku buang atau aku kasih sama orang lain, soalnya waktu kecil boneka itu selalu ada di pelukanku.”

Sarah hanya tersenyum mendengarnya, sejenak dia melirik ke arah Andy, laki-laki itu hanya terdiam tak berkomentar, dia mengerti maksud dari lirikan Sarah.

“Mama, kapan Papa sembuhnya?”

Annisa terkejut mendengar suara bocah kecil yang muncul dari balik pintu kamar Andy dan memanggil keduanya dengan sebutan Mama dan Papa.

Jadi mereka sudah menikah? Pantas saja sikap Sarah begitu berbeda jika dikatakan hubungan mereka hanya sekedar mantan pacar, jadi maksudnya mantan pacar itu karena sekarang sudah jadi suami. Annisa tersenyum lega. Mereka memang serasi.

“Syamil kok masuk sih, kan nggak boleh masuk sama suster.”

“Biarin Syamil masuknya diam-diam kok, habis Syamil kan pengen nengok Papa masa nggak boleh.”

“Sakit Papa nggak parah kok, Sayang… sebentar lagi juga sembuh, Syamil hari ini bobo sama Mama yah.” Si kecil hanya mengangguk. “Ayo Syamil keluar lagi, kan nggak boleh masuk sama suster, nanti kalau ketahuan suster Syamil dimarahi. Nisa, boleh Kak Sarah minta bantuan kamu?”

“Iya, Kak.”

“Tolong jaga Mas Andy yah, rajin-rajin kamu menjenguknya, soalnya Kakak nggak bisa sering-sering menjenguk dia, kamu mengerti kan.” Annisa hanya mengangguk tanpa meminta penjelasan, mengapa harus dia yang menjaganya padahal Sarah istrinya.

“Sarah.” Andy menyela.

“Nggak apa-apa kan, Mas, mumpung ada yang mau bantu.”

“Jangan suka memanfaatkan orang.”

“Nisa ikhlas kan bantu Kakak?” ditatapnya Annisa sekali lagi. Annisa mengangguk. Andy tak lagi membantah.

Ya, tentu saja dia ikhlas jika untuk membantu Kakak sendiri, Ayahnya saja begitu menyayanginya kenapa dia harus setengah-setengah.
***
Sebagai adik yang baik, Annisa memenuhi janjinya pada Sarah, dia rajin datang menjenguk Andy dan merawatnya selagi Sarah tidak bisa merawatnya. Yah, memang sulit memiliki anak kecil, anak seumur Syamil tidak boleh dibawa ke rumah sakit, tentu Sarah repot jika harus menjaga Syamil serta menemani suaminya.

“Nisa, terima kasih sudah mau menemani dan merawat Kakak selama di rumah sakit, Kakak merasa berhutang padamu.” Ujar Andy ketika dia sudah diizinkan pulang.
Annisa hanya tersenyum sambil membantu Andy mengemasi barang-barangnya. Farah sedang membayar biaya adminstrasi sementara Syamil menunggunya di mobil.

“Jangan begitu, kata Ayah, dulu Kakak sering menjaga aku, apalagi saat Ibu melahirkan Aisyah dan Ayah menemani Ibu di rumah sakit, Kakak sampai menginap buat menjaga aku, anggap saja ini sebagian kecil balas budi aku buat Kakak.”

“Kamu memang anak yang baik, sewaktu kamu kecil dulu, Kakak merasa yakin kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, baik dan pintar.”

“Ah, Kakak berlebihan.” Seketika wajah Annisa memerah kemalu-maluan.

“Nisa, mau main ke rumah?” Farah yang baru menyelesaikan urusannya lalu muncul di ruang rawat Andy.

“Kapan-kapan saja, Kak, Nisa masih banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan.”
Andy bergegas bangkit dari tempat tidurnya, karena tak sabar ingin segera pulang untuk menemui putranya, dia tidak ingat kakinya belum dapat dia pakai berdiri dengan baik tanpa tongkat, Andy kehilangan keseimbangan saat berdiri. Annisa yang berdiri di sebelahnya sontak meraih tubuh Andy.

Tiba-tiba saja jantungnya merasa seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu, nafasnya seakan telah berhenti mengalir, wajah Andy begitu dekat sampai dia bisa merasakan kehangatan nafas Andy menyapu wajahnya.

“Maaf, Nisa.”

Annisa hanya dapat memalingkan wajahnya, setelah dia melepaskan pelukannya. Segera Farah memberikan tongkat pada Andy.

Ya Tuhan… apa yang terjadi dengannya? Andy laki-laki beristri, mengapa dia memiliki perasaan berbeda saat bersama dengan laki-laki ini?
***
“Kak Andy mana yah, kok nggak pernah datang lagi kesini sih?” tanya si kecil Salma. Annisa hanya bisa memberikan jawaban gelengan kepala saja.

Sudah satu bulan Andy keluar dari rumah sakit, tapi dia tidak pernah lagi datang berkunjung. Tanpa sadar setiap malam minggu Annisa menantikan kehadirannya, saat waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh dia mengintip keluar dari jendela untuk memastikan kedatangan laki-laki itu.

Terbayang lagi olehnya saat-saat Andy sering berkunjung ke rumah. Mengajak dia dan adik-adiknya jalan-jalan. Merawat Andy di rumah sakit selama seminggu. Pelan-pelan mereka memang sudah mulai akrab. Kehadiran Andy menjadi sebuah kebutuhan untuknya. Untuk hatinya yang masih kosong.

Annisa dilanda dilema besar sekarang, hatinya begitu sangat menantikan kehadiran Andy, tapi laki-laki itu sudah memiliki istri bahkan anak. Apa yang dirasakannya saat ini tentulah suatu kesalahan, tak seharusnya dia memiliki perasaan seperti ini karena Andy bukanlah jodohnya.

“Neng, diluar ada tamu cari neng Nisa.” Suara bi Sipah menyadarkan lamunannya, bergegas Annisa keluar dari kamar.

“Siapa Bi, Kak Andy yah?” wajah Annisa berbinar.

“Bukan, Neng, perempuan, katanya namanya neng Sarah.”

Sinar di wajah Annisa langsung meredup, kiranya Andy yang datang karena sekarang sudah pukul tujuh tiga puluh malam, tapi kemudian ditemuinya juga tamunya itu.

Ternyata Sarah datang bersama dengan Syamil.

“Hallo, Nisa.”

“Wah… ada apa gerangan nih tiba-tiba Kak Sarah datang?”

“Ada yang ingin Kakak bicarakan denganmu, Nisa.” Wajah Sarah tampak serius, Annisa sangat heran. Tapi kemudian dia duduk di sofa dekat Sarah. “Nisa, Kakak dengan Mas Andy sudah bercerai.”

Annisa tersentak kaget mendengar berita yang dibawa Sarah, kenapa bisa mereka bercerai? Bukankah mereka masih tampak baik-baik saja kemarin, apa yang menyebabkan mereka harus bercerai.

“Kenapa harus bercerai, Kak? bukankah kalian kemarin baik-baik saja.”

“Tidak, Nisa… kamu salah, sebenarnya kami sudah lama bercerai, sudah hampir delapan tahun yang lalu dan Kakak sendiri juga sudah menikah lagi, bahkan sekarang Kakak sedang mengandung anak kedua dari suami kedua Kak Sarah.”

Kali ini Annisa tidak lagi terkejut, dia malah tertegun heran mendengarnya. Mereka tidak terlihat seperti sudah bercerai, Sarah tidak mengatakan mereka masih menikah atau sudah bercerai, hanya karena Syamil memanggil keduanya dengan sebutan Mama dan Papa, Annisa langsung mengambil kesimpulan sendiri. Pantas saja Sarah membutuhkan bantuannya untuk menjaga Andy, karena Andy memang sudah bukan suaminya lagi.

“Tapi kemarin….”

“Kemarin ini kamu pasti melihat Kakak tampak dekat dengan Mas Andy, itu karena Kakak dan Mas Andy sudah berjanji perceraian diantara kita tidak akan membuat kami jadi bermusuhan, ini semua kami lakukan demi Syamil, karena Mas Andy tidak ingin apa yang dirasakannya dulu juga dirasakan oleh Syamil, bahkan Mas Andy sendiri yang menjodohkan Kakak dengan Mas Ahmad. Pernikahan kami memang hanya seumur jagung, mungkin itu karena kami terlalu muda saat menikah dan kami terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menikah. Setelah bercerai Syamil tinggal bersama Ayahnya, karena Kak Sarah secara financial dianggap tidak mampu membesarkan Syamil.”

“Lalu kenapa Kakak ceritakan ini padaku?”

“Karena Mas Andy mencintaimu, Nisa.”

Tertegun Annisa mendengar jawaban yang diutarakan Farah, Andy mencintainya? Benarkah itu, sejak kapan Andy mencintainya.

“Beberapa bulan lalu dia pernah cerita, katanya dia bertemu dengan guru kami, Pak Hasan, dia merasa sangat senang bisa bertemu lagi dengan guru yang paling dibanggakannya itu yang telah dia anggap Ayahnya sendiri, setelah lima belas tahun tidak bertemu, kemudian dia datang berkunjung kesini dan ternyata saat kunjungannya itu Andy melihat gadis cantik yang muncul mengantarkan suguhan, Andy jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi dia ingat gadis itu dulu pernah dikenalnya, bahkan pernah diasuhnya, dia hanya tidak menyangka akan jatuh cinta pada gadis yang dulu pernah dia anggap sebagai adiknya.

Andy memang pernah menyatakan keinginannya meminangmu pada Ayahmu, tapi Ayahmu bilang ‘jika kamu menginginkannya, dekatilah dia, pikatlah hatinya’, Andy memang sudah berusaha mendekatimu tapi dia merasa gagal, setiap kali dia ingin mengutarakannya padamu, dia tidak pernah punya keberanian karena merasa sudah terlalu tua untuk memikat hatimu, dia juga bilang dia punya banyak saingan.”

Tidak. Itu tidak benar, Andy tidak pernah gagal.

“Perlu kamu tahu, Nisa, ini pertama kalinya kakak melihat ada sinar cinta dimata Andy, sudah banyak perempuan yang Kakak kenalkan padanya, tapi tidak satupun yang membuatnya merasa tertarik bahkan saat kami belum bercerai sekalipun, tidak pernah Kakak melihat sinar cinta itu untuk Kakak, ketika Andy bertemu denganmu, dia bercerita, ‘Aku bertemu bidadari cantik, bidadari kecil yang dulu pernah kugendong Ia di bahuku, aku jatuh cinta padanya tapi aku merasa seperti pungguk merindukan bulan’, Kakak iri padamu.”

“Ka,kalau untuk menyampaikan hal sepenting itu, mengapa tidak Kak Andy saja yang datang kemari jika memang Ia bersungguh-sungguh…..”

“Jika memang itu yang kamu inginkan, Nisa, maka malam ini Kakak berdiri disini untuk mengatakannya padamu.” Farah dan Annisa terkejut dengan kedatangan Andy yang tiba-tiba telah muncul di depan pintu.

“Mas, sejak kapan Mas berada disana?”

“Maaf, aku sudah sejak tadi diluar mendengarkan pembicaraan kalian. Nisa, entah darimana Kakak harus memulai, tapi kamu telah mengetahui semuanya dari Farah, mungkin ini terlalu konyol bagimu mendengar pria tua sepertiku datang untuk melamarmu, tapi sungguh Nisa, aku telah mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu tumbuh menjadi bidadari cantik seperti yang dikatakan Farah baru saja. Would you marry me?”

Annisa berdiri lalu melangkah ke arah buffet kecil di ruang tamu, dia tidak tahan melihat Andy seperti pangeran tengah melamar sang putri, dengan setengah berlutut menyatakan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berisi sebuah cincin berlian. Annisa merasa senang bercampur malu.

“Sesungguhnya hatiku pun demikian, Kak, entah sejak kapan munculnya perasaan ini tapi aku baru menyadarinya belakangan ini ketika Kak Andy yang biasanya datang pada saat malam minggu tapi sudah sebulan ini Kakak tak kunjung datang, aku jadi resah, apakah dia masih sakit atau sedang sibuk, atau mungkin sudah tidak ingin datang kesini lagi, aku selalu merasa resah, dan aku juga selalu merasa bingung apakah perasaan ini salah karena kutahu Kak Andy telah berkeluarga.”

“Maaf, Kakak tidak segera berterus-terang, Kakak tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.”

“Walau aku katakan aku mencintai Kak Andy, lalu bagaimana dengan Syamil? Apakah Syamil bersedia menerimaku sebagai Ibu tirinya?”

“Jangan khawatir, Nisa, Kakak sudah bertanya pada Syamil, apa dia mengizinkan Ayahnya menikah lagi atau tidak dan jawabannya dia mengizinkan, kalau kamu tidak percaya tanya saja padanya.” Sarah memberi jawaban.

“Syamil senang kok kalau Kak Nisa jadi istrinya Papa, Syamil tidak mau melarang Papa menikah lagi karena Syamil tahu selama ini Papa kesepian, kasihan Papa kalau terus seperti itu, Syamil sayang Papa. Kakak mau yah, jadi Mama Syamil?”

Annisa tersenyum kemudian dia berbalik menghampiri Syamil yang berdiri tak jauh dari tempatnya, disentuhnya pipi Syamil, didalam tubuh seorang bocah berusia delapan tahun itu terdapat hati yang besar, dia tidak keberatan Ayahnya menikah lagi karena dia tahu Ayahnya membutuhkan pendamping hidup. Saat Annisa menatap Syamil, dia melihat ada mata Andy disana, bukan hanya matanya yang tampak serupa tapi hidungnya, bibirnya, wajahnya benar-benar replika Andy.

“Kakak bersedia, Sayang… Kakak mau jadi Mama kamu.”

Syamil tersenyum bahagia, serta-merta dipeluknya calon ibu tirinya.

“Asik, selain punya Papa dua, Syamil punya juga Mama dua sekarang.” ujarnya riang sambil menggandeng tangan Ayah dan Ibu tirinya.

Annisa, Andy dan Farah tersenyum.

Bagi Syamil, memiliki orang tua dua tidak membuatnya merasa malu, apalagi sampai broken home karena perceraian orang tuanya. Tapi dia merasa bahagia dan bangga, karena anak yang selalu bersyukur.

Minggu, 27 November 2011

Selamat Jalan Kekasih

Selamat Jalan Kekasih
Ku harap suatu hari nanti
Kita kan bertemu kembali
Disana, di Alam Surgawi
Di tempat manusia-manusia kan hidup abadi
Hari ini tanpamu
Kukan tetap mencoba menggapai asa dan mimpi
Hari ini tanpamu
Ku kan tetap mencoba tersenyum sehangat mentari
Walau berat hati ini melepasmu
Walau hampa hidup ini tiada dirimu
Namun cinta yang abadi kan tetap memahkotai hati
Senandung rindu kan selalu mengalun dalam relung sanubari

Resensi Ala gue : Putri Huan Zhu 3




Resensi ala gue kali ini tentang HZGG 3, dalam HZGG 3 ini ada perombakan hampir seluruh pemain terutama pemain utama. Xiao Yan Zhi yang semula diperanin sama Vicky Zhou Wei diganti Huang Yi, Yong Qi semula oleh Alec Su disini diperankan oleh Leo Ku, lalu Zhi Wei awalnya oleh Ruby Lin kali ini diperankan oleh Ma Yi Li. Sementara peran Fu Er kang tetap dipegang oleh pemain lama yaitu Zou Jei. Pemain-pemain yang lain gue ga tahu lagi siapa yang diganti.

Kabarnya karena pemain lama sudah mulai terkenal dan punya kontrak lain, mereka jadi ga bisa menerima tawaran HZGG 3. Dan hal ini yang membuat para penggemar Xiao Yan Zhi tidak menyukainya, tapi sekalipun pemerannya diganti dan peran Xiao Yan Zhi sudah melekat diperankan oleh Vicky Zhou Wei, bukan berarti gue ga suka sama HZGG 3 ini. gue tetep suka qo coz gue itu Huan Zhu Ge Ge lover.

Oke, kembali ke cerita.
Kali ini diceritakan Xiao Yan Zhi dan Yong Qi yang sudah menikah begitu juga dengan Erkang dan Zhi Wei. malah Er kang dan Zhi Wei sedang menanti kelahiran anak pertamanya. Kali ini kisah asmaranya ditambah dengan kisah cinta Xiao Jian dan Cing Er.

Tapi hubungan Xiao Yan Zhi dan Yong Qi ternyata tetap belum direstui oleh Lou Fo Ye, alasannya kali ini karena Xio Yan Zhi masih belum juga bisa memberikan anak, setelah hamil malah keguguran. Hal ini jadi kendala terbesar bagi cinta mereka dan cinta Xiao Jian dan Cing Er yang juga ga direstui oleh Lou Fo Ye.

Ujian yang dihadapi Xiao Yan Zhi kali ini adalah Lou Fo Ye yang diam-diam berencana mencarikan calon istri kedua untuk Yong Qi, Xiao Yan Zhi cemburu berat tapi Yong Qi juga tidak punya kuasa buat menolak. secara dia pangeran dan sudah menjadi hal biasa kalau dia punya istri lebih dari satu apalagi Yong Qi akan dinobatkan sebagai putra mahkota.

Adalah Zhi Hua perempuan yang dipilih oleh Lou Fo Ye sebagai calon istri kedua Yong Qi. Dia perempuan muda yang pintar, cakap dan berpendidikan. Zhi Hua memiliki semuanya yang menjadi kelemahan Xiao Yan Zi dimata Lou Fo Ye. Awalnya Yong Qi menolak mati-matian, tapi karena identitas Xiao Yan Zhi terbongkar mau tidak mau Yong Qi setuju untuk menikah lagi.

Xiao Yan Zi dan Xiao Jian ternyata anak seorang pejabat yang dianggap memberontak dan dihukum penggal oleh Raja yang menjadi ayah angkat Xiao Yan Zi, pada versi HZGG 2 Xiao Jian memang diceritakan berniat membalas dendam pada Raja tapi rencananya dia batalkan atas bujukan Zhi Wei dan Er Kang dan demi menyelamatkan cinta Yong Qi dan Xiao Yan Zhi, agar mereka bisa menikah dan hidup berbahagia juga atas belaian cinta Qing Er.

Lou Fo Ye mengetahui identitas asli Xiao Jian dan berencana memberitahukan Raja. Resikonya memang berat kemungkin Xiao Yan Zi diusir dari istana membuat Yong Qi serba salah atau bahkan dihukum mati karena dianggap berbahaya, dianggapnya sewaktu-waktu Xiao Yan Zi dan Xiao Jian bisa membalas dendam dan membunuh raja. Akhirnya Lou Fo Ye setuju merahasiakan identitas Xiao Yan Zhi asal Yong Qi mau menikahi Zhi Hua. Yong Qi berada dalam dilema.

Disatu sisi dia ingin melindungi istrinya dan menyelamatkan kakak iparnya yang dikurung ditempat rahasia, tapi disisi lain jika dia menikahi Zhi Hua sama saja dengan dia mengkhianati cinta istrinya. Padahal mereka sudah bersumpah sehidup semati akan tetap bersama. Karena terlalu stress Xiao Yan Zi lagi-lagi keguguran, dan akhirnya Yong Qi menerima usulan Lou Fo Ye juga demi istri dan kakak iparnya.

Pernikahan pun berlangsung dan Xiao Jian berhasil diselamatkan, tapi hubungannya dengan Qing Er terpaksa harus berakhir. Masalah Xiao Yan Zi pun kian bertambah, dia cemburu melihat suaminya menikah lagi. Hatinya ga terima sekalipun dia menyetujui pernikahan itu. Tapi ternyata Yong Qi sama sekali ga menyentuh Zhi Hua dan Zhi Hua sendiri mau diajak kerjasama merahasiakannya dari Lou Fo Ye dan dayang-dayang yang diutus Lou Fo Ye untuk menyelidiki hubungan mereka.

Tapi lama kelamaan rahasia itu kecium juga oleh Lou Fo Ye. Lou Fo Ye pun murka dan mengancam akan memberitahukan status Xiao Yan Zi pada Raja dan akan mengusir Xiao Yan Zi tapi dengan berani Yong Qi mengatakan "Xiao Yan Zi tinggal, aku tinggal, Xiao Yan Zi pergi, aku pergi". saat itu Lou Fo Ye pun tidak bisa berkutik.

Akhirnya atas persetujuan Xiao Yan Zi sendiri, Yong Qi menjalani ritual malam pertamanya dengan Zhi Hua dan Zhi Hua pun hamil. Saat itu Zhi Hua yang dibutakan cintanya terhadap Yong Qi berencana ingin merebut Yong Qi tapi diluar dugaan Yong Qi dan Er Kang malah harus berperang melawan Myanmar.

Selama suaminya berperang, Zhi Hua malah berhasil membuat Xiao Yan Zi semakin tidak disukai Lou Fo Ye. Padahal Yong Qi berpesan agar mereka rukun tapi Zhi Hua membuat ulah berpura-pura seolah Xiao Yan Zi berencana mencelakainya. Selain itu dia juga menceritakan kebohongan pada Xiao Yan Zi dengan mengatakan seolah-olah mereka sering merundingkan tentang anak, dan Yong Qi berharap bisa punya anak banyak dari Zhi Hua. Xiao Yan Zi yang emosinya mudah terpancing jadi selalu tampak buruk dimata raja dan Lou Fo Ye.

Di medan perang, Yong Qi dan Er kang dibantu oleh Xiao Jian yang menyamar jadi penasihat berperang melawan Myanmar. Mereka bertemu dengan Putri Myanmar bernama Mu Sha yang menyamar jadi pangeran dan ikut berperang bersama Ayahnya. Putri Mu Sha ini ternyata mencintai Er Kang dan dia sengaja membawa Er Kang yang sekarat terkena panah ke Myanmar dan mengganti Er Kang dengan mayat yang sulit dikenali.

Er Kang dianggap telah tewas, hati Zhi Wei pun hancur. Dia seolah mati bersama dengan suaminya yang ikut berperang. Saat itu Yong Qi kembali bersama dengan Xiao Yan Zi dan menolak kehadiran Zhi Hua yang dianggap bukan dari bagian kisah cinta mereka berempat.

Masalah baru kembali bermunculan, Zhi Wei yang berkali-kali mencoba bunuh diri dan Xiao Yan Zi yang merasa tersisihkan karena Zhi Hua melahirkan seorang pangeran. Karena Yong Qi terus-terusan menolaknya, Zhi Hua berpura-pura jatuh tertabrak oleh Yong Qi dan berpura-pura seolah dia benar-benar berada di ujung maut. Merasa bersalah Yong Qi malah berjanji akan memperbaiki kesalahannya selama ini yang telah mengabaikannya di depan Xiao Yan Zi.

Permaisuri Ling memberi nasihat agar Xiao Yan Zi mau menerima kehadiran Zhi Hua dan anaknya daripada dia harus kehilangan Yong Qi, tapi Xiao Yan Zi tetap tidak terima. Dia lebih memilih kehilangan Yong Qi yang menurutnya sudah tidak mencintainya lagi daripada harus berbagi suaminya dengan perempuan lain. Apalagi Raja sudah mengatakan akan ada Zhi hua - Zhi Hua lain dalam kehidupan Yong Qi yang telah diangkat menjadi Raja Rong.

Yong Qi mati-matian mengambil hati Xiao Yan Zhi kembali, dia ga mau rumah tangganya hancur begitu saja gara-gara wanita yang sebenarnya tidak pernah dia cintai. Tapi saat itu Xiao Yan Zi bersikeras untuk berpisah yang membuat hati Yong Zi jadi meradang.

Di sisi lain ternyata Xiao Jian berhasil memastikan bahwa Er Kang masih hidup, dia pun kembali ke Beijing memberitahukan berita itu pada adiknya. Mereka pun membuat rencana untuk membebaskan Er Kang. Rencana itu tidak disetujui Raja, dan membuat identitas Xiao Jian yang menyamar sebagai suku Ba Yi jadi terbongkar.

Zhi Hua juga membongkar identitas Xiao Jian yang mati-matian mereka sembunyikan karena takut kehilangan Yong Qi yang berencana akan tinggal di Da li bersama istri pertamanya. Satu persatu masalah pun terkelupas. Setelah rahasia yang selama setahun disimpan pun dikupas oleh Raja. Ternyata Ayah Xiao Jian, Fang Ji Hang bukanlah seorang pemberontak tapi pejabat yang difitnah memberontak dan gara-gara fitnahan itu Raja jadi salah menjatuhkan hukuman mati.

Setelah masalah clear, Qianlong menyetujui hubungan Qing Er dan Xiao Jian dan merelakan putra kesayangannya pergi berkelana dengan istri tercintanya, dengan syarat Yong Qi terpaksa dianggap telah meninggal dan tidak boleh kembali ke istana sekalipun hanya untuk menjenguk Ayahnya. Kemudian dimulailah pencarian Er Kang ke Myanmar.

Di tempat lain ternyata Er Kang malah akan menikah dengan Putri Mu Sha yang sangat mencintainya, Putri Mu Sha itu sengaja meracuni Er Kang dengan bubuk Yi Zu padahal bubuk itu tidak lain adalah morfin yang membuat Er Kang ketergantungan. Dia sengaja melakukan itu agar Er Kang tidak bisa lepas darinya. Tapi diluar dugaan Yong Qi dan yang lainnya berhasil menyelamatkan Er Kang dan membebaskannya dari ketergantungan.

Setelah berhasil membebaskan Er Kang dari ketergantungan obat. Mereka pun merayakan pernikahan Qing Er dan Xiao Jian dan hidup di rumah ayah angkat Xiao Jian dan Xiao Yan Zi. Mereka begitu bergembira karena tiga pasangan yang sempat terpisah-pisah itu kembali disatukan dengan cinta dan ternyata Xiao Yan Zi hamil.

Cerita ini diakhir dengan kehidupan Yong Qi sebagai rakyat jelata dan tinggal di Da li sebagai tabib terkenal, hasil pernikahannya dengan Xiao Yan Zi membuahkan empat anak begitu juga dengan Kakaknya Xiao Jian dan Qing Er. Anak sulung Yong Qi dan Xiao Yan Zi yang diberi nama Nan Er yang berarti selatan ternyata berwatak sama dengan Ibunya yang bandel, lincah dan petakilan tapi dia juga pintar seperti Ayahnya yang merupakan seorang pangeran.

Dan saat Huang A Ma jenguk mereka, raja Qian Long sangat bahagia karena ga menyangka punya empat keturunan lain yang baru pernah ditemuinya. Dan si sulung Nan Er bilang "Aku tidak tahu apa hubungan Tuan Ai dan Paman Fu dengan kedua orang tuaku tapi karena marga Anda Ai sama denganku, maka aku anggap Anda adalah kakekku." si raja merasa senang sekali.

Yang paling gue suka dari cerita ini adalah adegan terakhir saat Xiao Yan Zi mengejar-ngejar anaknya yang berbuat ulah mengajak adik-adiknya naik keatas atap kereta kuda. mirip banget dengan Xiao Yan Zi.

Lalu adegan saat Kakaknya Xiao Jian yang hampir membunuh Yong Qi tapi Xiao Yan Zi menahannya dengan mengatakan Yong Qi adalah nyawanya jadi dia juga tidak akan hidup kalau Yong Qi dibunuh. Dan kata-kata Yong Qi pada Ayahnya yang mengatakan "Xiao Yan Zi hidup, aku hidup, Xiao Yan Zi mati, aku mati" lalu di sekuel yang ketiga ini banyak sekali adegan ciumannya.

Juga adegan Xiao Yan Zi yang akan kabur dari istana karena dianggap Lou Fo Ye tubuhnya sudah jadi sarang virus cacar, dan tidak boleh dekat-dekat dengan Yong Qi agar tidak menyebarkan virus. tapi dengan yakin Yong Qi bilang "Tularkan juga virus itu padaku" sambil mencium Xiao Yan Zi.

Di sekuel ketiga kali ini sangat mengharukan dan menghilangkan cerita lucu dari drama HZGG sebelumnya. Xiao Yan Zi jadi banyak menangis karena banyaknya masalah yang melanda. Tapi kesetiaan dan ketulusan cinta Yong Qi disini sangat jelas tergambarkan, abis kayaknya ga ada deh pada jaman dulu pangeran yang cuma mau punya istri satu, jadi disini digambarkan kelangkaan itu.

Yong Qi yang diperankan oleh Leo Ku terlihat lebih dewasa dibandingkan dengan Yong Qi yang diperankan oleh Alec Su. Gue malah ngelihatnya Yong Qi di HZGG 1 dan 2 kharisma pangerannya kurang. Gue rasa tokoh-tokoh ini memang udah cocok diperankan oleh artis yang sesuai sekalipun harus ganti pemeran.

Yang paling gue heran di adegan ini, Yong Qi qo bisa sampai ga bergairah saat bersama Zhi Hua, padahal Zhi Hua itu sudah jadi istrinya dan dia juga ga jelek-jelek amat. Sampe-sampe dia digambarin kaku banget waktu Zhu Hua membantu Yong Qi mandi, seolah dia tiba-tiba jadi impoten tapi qo dia bisa bercinta dengan Zhi Hua dan menghasilkan anak. Ga konsisten. Kenapa ga sekalian Yong Qi mau bercinta dengan Zhi Hua karena dimata dia Zhi Hua tiba-tiba berubah jadi Xiao Yan Zi.

Sebegitu besarnya cinta Yong Qi buat Xiao Yan Zi sampe-sampe dia rela kehilangan anak yang baru dilahirkan istri keduanya. Emang sih dia dapat gantinya empat. Cuma sayang adegan Yong Qi punya anak dari Xiao Yan Zi cuma digambarin sedikit doang paling berapa menit, udah gitu tau-tau anaknya empat aja. Coba kalau diceritain pasti lebih seru.

Yang paling gue ga suka adalah bagian arwah Er Kang bergentayangan di rumahnya dan hubungan batin antara Er Kang dan Zhi Wei saling berhubungan. Jadi Er Kang bisa tahu apa yang diperbuat Zhi Wei padahal dia lagi ada di Myanmar. Lalu adegan rombongan kupu-kupu yang berhasil menolong Zhi Wei yang mau terjun ke jurang. Ga mungkin banget gitu.

Resensi Drama, Putri Huan Zhu 2



Ini adalah cerita lanjutan dari Putri Huan Zhu 1. Kali ini kisahnya lebih keren lagi karena di drama ke dua ini muncul Ibu Suri yang biasa dipanggil Lou Fo Ye setelah berdoa di kuil-kuil bersama Putri kesayangannya Cing Er (yang selalu melayaninya). Lou Fo Ye ini benar-benar ga suka sama kedua putri yang tiba-tiba muncul di istana.

Tantangan Putri Huan Zhu dan Putri Zhi Wei semakin besar karena yang dia hadapi bukan hanya Ratu dan dayangnya yang jahat tapi juga Ibu Suri yang ga menyukai mereka. Dan pertunangan mereka nyaris dibatalin. Raja sendiri jadi serba salah karena dia nggak bisa terus membela anak emas kesayangannya, karena yang dihadapi raja kali ini bukan hanya istrinya saja tapi ibunya sendiri.

Wu A Ke mati-matian mengajari Xiao Yan Zhi agar mau belajar membaca pepatah dan puisi sampai berkesan memaksa. Tapi hal itu malah membuat Xiao Yan Zhi marah-marah, dia kesal karena tiba-tiba saja Wu A Ke pengen dia pandai membaca pepatah, padahal sebelumnya dia mengatakan menyukai Xiao Yan Zhi yang apa-adanya.

Xiao Yan Zhi mengira Wu A Ke sudah berubah dan tidak menginginkan dia lagi. Kemudian dia memutuskan kabur dari istana. Dan malah bertemu dengan sepasang suami istri pemilik kedai catur yang suka menyiksanya.

Hubungan Xiao Yan Zhi dan Wu A Ke bermasalah bukan berarti hubungan Er Kang dan Zhi Wei berjalan mulus. Mereka juga memiliki masalah sendiri, hubungan yang tidak direstui oleh Lou Fo Ye karena Zhi Wei merupakan anak haram Raja dari hasil hubungan gelap dengan rakyat biasa.

Lou Fo Ye malah ingin Er kang menikah dengan Cing Er yang dianggap sepadan. Belum lagi masalah Jinsuo yang jatuh cinta sama Er Kang. Pertengkaran pun terjadi diantara Er Kang dan Zhi Wei. Tapi meskipun Cing Er yang merupakan Putri kesayangan Lou Fo Ye malah selalu menolong Xiao Yan Zhi dan Zhi Wei saat mereka terlibat masalah dengan Lou Fo Ye.

Di babak kedua kali ini diceritakan juga Raja yang punya kuasa dan bisa menikahi perempuan mana pun yang dia suka, sekalipun perempuan itu umurnya hanya dua tahun lebih tua dari anak angkatnya. Adalah Putri Han Xiang yang berhasil memikat hati sang Raja karena Han Xiang ini selain cantik dia juga memancarkan bau harum alami di tubuhnya sampai berhasil memanggil kupu-kupu.

Sebenarnya memang Han Xiang ini dihadiahkan oleh Ayahnya agar peperangan antara suku Han dan suku Hui mereda. (tega banget ya ada ortu yg jual anaknya) Han Xiang ini keturunan suku Hui yaitu suku yang memeluk agama islam, (Sayang ceritanya disin Han Xiang ga jelas dia itu islam atau bukan). Tapi Han Xiang ini ternyata punya kekasih bernama Meng Dan mereka saling mencintai sejak kecil.

Kemudian Meng Dan bertemu dengan Pangeran kelima dan Er Kang yang saat itu mengawal permaisuri Han Xiang yang ingin mengantarkan kepulangan Ayahnya kembali ke suku Hui. Mulailah keterlibatan Putri Huan Zhu, Putri Zhi Wei, Er Kang dan Wu A Ke dalam cinta segitiga antara Raja, Han Xiang dan Meng Dan.

Empat sekawan ini mati-matian memisahkan Han Xiang dan Raja demi menyatukan kembali Han Xiang dan Meng Dan. Sampai mereka membawa lari Han Xiang dan membohongi raja. Tapi kebohongannya tetap ketahuan juga. Raja pun murka dan mereka diancam akan dihukum penggal.

Ga terima dengan keputusan Raja, Wu A Ke dan Er Kang berhasil kabur dari penjara. Lalu detik-detik terakhir saat Putri Huan Zhu dan Putri Zhi Wei dibawa ke lokasi hukuman penggal, mereka bersama Meng Dan, Liu Hung dan Liu Qing berhasil bekerja sama menculik tahanan. Lalu berhasil juga menculik Jinsuo yang saat itu akan dikirim ke Mongol.

Kemudian mereka memutuskan untuk kabur ke Dali. Selama perjalanan mereka selalu dibantu oleh pendekar misterius yang membawa suling dan pedang, Xiao Jian. Laki-laki ini sangat baik hati dan menolong mereka, terutama Xiao Yan Zhi. Entah kenapa perhatiannya selalu untuk Xiao Yan Zhi, sampai membuat Wu A Ke cemburu.

Dalam pelarian kedua putri, pangeran, pengawal Raja dan dayang ini tentu ga berjalan mulus. Rintangan selalu menghadang sampai membuat Jinsuo jatuh ke jurang dan mata Zhi Wei jadi buta. Tapi sekalipun mereka mendapat masalah, mereka selalu menolong orang yang mengalami masalah. Seperti memecahkan masalah Su Su, perempuan yang hampir mati di hukum bakar karena hamil diluar nikah, memberi makan para gelandangan dan membebaskan seorang anak perempuan, Xiao Ke Ce dari cengkraman Ayahnya yang jahat dan selalu menyiksanya.

Kemudian sebuah rahasia terkupas, Xiao Jian yang semula mengatakan sedang mencari adik laki-lakinya ternyata adalah kakak kandung Xiao Yan Zhi. Saat dia dan Wu A Ke beradu pedang karena Wu A Ke yang cemburu tiba-tiba menyerang Xiao Jian, saat itulah Xiao Jian memberitahukan hubungannya yang sebenarnya dengan Xiao Yan Zhi.

Xiao Yan Zhi tentu saja terkejut begitu juga dengan teman-temannya yang lain, mereka tidak mengira adik yang dicari Xiao Jian ternyata teman mereka sendiri. Xiao Jian lalu menceritakan tentang kedua orang tua mereka yang mati dibunuh orang. Xiao Yan Zhi sangat bahagia karena bertemu dengan kakak kandungnya yang sudah dua puluh tahun terpisahkan itu.

Cerita ini berakhir dengan pernikahan Wu A Ke dan Xiao Yan Zhi, Er Kang dan Zhi Wei, Liu Qing dan Jinsuo lalu pertemuan Xiao Jian dan Cing Er.

Setelah Raja berhasil menemukan ketiga anaknya, Raja sendiri yang turun tangan membujuk mereka agar pulang. Akhirnya mereka membatalkan rencana mereka kabur ke Dali dan memilih pulang kembali ke Istana karena merasa terharu pada sang Raja yang muncul sebagai Ayah yang sedang mencari ketiga anaknya.

Lou Fo Ye pun akhirnya menyetujui hubungan mereka, karena terharu melihat cinta mereka yang abadi. Ratu dan Rong Momo pun menyadari kesalahan mereka dan meminta maaf.

Sekuelnya kali ini cukup menyedihkan dan sedikit menegangkan tapi tetap lucu. Yang menarik dari cerita ini adalah saat ending cerita, dimana setelah mereka menikah. Ternyata Xiao Yan Zhi dan Zhi Wei salah masuk kamar pengantin. Xiao Yan Zhi masuk ke kamar pengantin Er Kang dan Zhi Wei masuk ke kamar Wu A Ke.

Dasar putri Huan Zhu, disaat acara sakral gitu malah dibikin lucu dengan ketuker pengantin perempuan. Lalu pas Wu A Ke lagi mencium Xiao Yan Zhi malah dikagetin sama orang-orang yang mengintip dibalik pintu. Xiao Yan Zhi yang mengira ada maling langsung mengeluarkan jurus meringankan tubuh, dan dia ga nyadar saat itu ujung pakaiannya diikat dengan pakaian pangeran kelima. Jadi saat Xiao Yan Zhi loncat, Wu A Ke ikut kebawa, alhasil mereka malah jatuh dilantai.

Yang kerennya, cinta tulus Wu A Ke sama Xiao Yan Zhi diperlihatkan dengan jelas dalam cerita ini. Seperti apapun Xiao Yan Zhi, Wu A Ke tetap mencintainya. Sekalipun sikapnya selalu kasar pada tunangannya sendiri. Begitu juga dengan cinta Er Kang pada Zhi Wei.

Tapi kadang gue mikir ini pangeran buta apa ya, kok bisa suka sama cewek begitu sih, padahal jelas banget Xiao Yan Zhi ga ada apa-apanya dan ga ada manis-manisnya tapi cintanya ga luntur-luntur. padahal dia kan bisa dapetin perempuan mana pun yang lebih memiliki segalanya dibandingkan Xiao Yan Zhi.

Yah, namanya juga dongeng justru hal yang jarang terjadi di dunia nyata seperti ini yang disukai oleh pembaca ataupun penonton. Dan termasuk gue sendiri yang menyukai kisah cinta seperti ini.

Resensi Film, Putri Huan Zhu 1


Kali ini gue bakal meresensi sebuah drama. Ini emang drama jadul tapi gue suka banget drama ini dan yang pasti setiap kolom resensi yang gue bikin, adalah resensi dari film or drama yang gue suka.

Ini adalah drama China berjudul Putri Huan Zhu 1, diperanin sama Vicky Zhou Wei, Ruby Lin dan Alec Shu

Film ini bercerita tentang seorang cewek tomboy berumur 18 tahun yang bernama Xiao Yan Zi. Penipu dan pencuri yang cuma punya kungfu alakadarnya ini ketemu seorang cewek cantik dan feminin banget Xia Zhi Wei dan pembantunya Jin suo. Ternyata Zhi Wei ini adalah anak Raja Qhian Long. Raja yang saat itu sedang memerintah pada dinasti Qing

Lalu mereka jadi sahabat malah mengangkat saudara. Biarpun Xiao Yan Zi penipu tapi dia hanya menipu demi memberi makan anak yatim piatu dan orang tua jompo yang dia pelihara bersama teman-temannya, Liu Qing dan Liu Hung. Sebenarnya dia baik hati, makanya dia bersedia menolong saudara angkat barunya itu yang sedang mencari bapaknya.

Tapi diwaktu pencarian Xiao Yan Zhi malah terkena panah, karena dia terpaksa memasuki wilayah berburu Raja demi bisa ketemu Sang Raja yang merupakan Ayah Zhi Wei. Adalah Yong Qi alias Wu A Ge (pangeran kelima) yang sudah melesakkan anak panah ke dada Xiao Yan Zhi karena awalnya Wu A Ge berniat memburu kijang.

Singkat cerita Xiao Yan Zi dibawa ke Istana oleh Raja, karena sang Raja sudah salah mengira Xiao Yan Zi sebagai anaknya yang telah kembali. Dimulailah petualangan Xiao Yan Zi yang kemudian diberi gelar Putri Huan Zhu. Dan berkenalan dengan Wu A Ge, Er Thai dan Permasuri Ling, yang menjadi penolong Putri Huan Zhu yang selalu membuat masalah selama di istana.

Apalagi sang Ratu dan pelayannya Rong Momo (Dayang Rong) sangat membenci anak yang nggak jelas asal-usulnya dan punya seabreg sikap jelek yang ga cocok banget buat seorang putri raja. Tapi hebatnya, Xiao Yan Zi bisa menghadapi sang Ratu yang paling ditakuti dan sangat dimanja Raja karena dianggap anak emas.

Sementara itu di tempat lain Zhi Wei bertemu Er Kang seorang pengawal baris depan Raja. Anak dari bawahan kepercayaan Raja yang muncul jadi penolongnya. Er Kang orang pertama yang tahu asal-usul Zhi Wei lalu menampung si Putri asli di rumahnya. Sampai kemudian mereka menjalin asmara.

Di Istana ternyata Pangeran kelima jatuh cinta sama Xiao Yan Zi. Dia suka Xiao Yan Zi yang punya kebebasan. Seperti namanya yang berarti walet kecil, Xiao Yan Zi memang digambarkan seperti walet yang bebas terbang kesana-kemari, dan hal itu yang memikat hati Wu A Ge.

Kemudian Zhi Wei dan Jin Suo yang masuk ke Istana menyamar jadi dayang yang melayani Huan Zhu Ge Ge, demi bisa dekat dengan Ayahnya. Dan bertambahnya masalah antara Putri Huan Zhu dengan sang Ratu dan Rong Mo Mo

Suatu hari muncul seorang putri asal Tibet Sei ya yang naksir Er Kang. Putri Sei Ya itu punya perangai sama dengan Xiao Yan Zi, petakilan. Tapi karena Yan Zi membela hubungan Er Kang dan Zhi Wei, dia menantang Sei Ya buat adu kungfu. Sayangnya Yan Zi yang ga punya kungfu sehebat Sei Ya berhasil dikalahkan putri Tibet itu.

Cerita ini berakhir dengan pengakuan Xiao Yan Zi akan status palsunya (bukan Vidi Aldiano aja yang punya status palsu) dan hubungannya dengan Pangeran Kelima di restui. Tapi sekalipun dia terancam di hukum penggal karena berani menipu Raja. Dia masih bisa berkilah bahwa dia tidak menipu dan semua alasannya memang masuk akal.

Seperti dia pernah bilang "Aku ini bukan anakmu, entah siapa Ayahku pun aku tidak tahu!" dalam adegan saat si Raja marah-marah karena tengah malam buta Istana di gemparkan oleh ulah Putri Huan Zhu yang mau kabur dari Istana dengan naik pagar tembok. Padahal pada saat itu dia memberi isyarat bahwa dia bukan anak Raja tapi pada saat itu Raja hanya mengira Putri Huan Zhu sedang emosi.

Kemudian Zhi Wei diakui jadi anak dan diberi gelar Putri Ming Zhu lalu bertunangan dengan Er Kang. Dan adik Er Kang, Er Thai, menikah dengan putri dari Tibet . Sebenarnya Er Thai ini suka sama Putri Huan Zhu tapi karena dia tahu pangeran juga suka makanya dia mengalah, Er Thai lebih suka mengabdi sama pangeran daripada harus berebut perempuan.

Gue suka drama ini karena lucu, menarik dan keren. Anehnya Xiao Yan Zhi yang petakilan disukai sama seorang pangeran dan bisa menjadi calon Raja. Padahal Xiao Yan Zhi ini bodoh, ga bisa bikin puisi, ga bisa menghapal pepatah, ga bisa nulis. Pokoknya layaknya anak ga sekolah lah, dia ga bisa apa-apa sama sekali. Tapi pangeran ini cinta mati sampe-sampe waktu Xiao Yan Zhi cemburu gara-gara dia (ga sengaja) deket sama cewek lain, dia jadi kalang kabut kayak kebakaran rambut.

Adegan yang paling gue suka, waktu ada acara lempar bola cari suami. Jadi waktu Raja, Pangeran, Putri Huan Zhu, Zhi Wei, Er Thai, Er Kang DLL lagi jalan-jalan keluar kerajaan, di sebuah kota ada seorang gadis cantik yang masih lajang bikin acara lempar bola sulam dan yang dapat bola itu bakal di jadiin suaminya.

Xiao Yan Zhi bermaksud berbaik hati lempar bola ke Wu A Ke, biar si Pangeran yang masih lajang itu cepat menikah. Tapi jelas aja Wu A Ke ogah, karena dia punya cewek pujaan. Lihat muka Wu A Ke sampe ketakutan karena ga mau bolanya kena ama dia, bikin gue senyum-senyum sendiri.

Dan saat Wu A Ge menyatakan cintanya, dengan polosnya Xiao Yan Zhi bilang "Aku ini kan adikmu." lalu si pangeran membantah, "Kalau kamu adikku, lalu Zhi Wei itu siapa? kenapa aku tiba-tiba jadi punya begitu banyak adik?" dan muka polos Xiao Yan Zhi waktu itu manis sekali. Gambaran sang pangeran yang pertama kali mengalami jatuh cinta kelihatan bagus banget.

Tapi sekarang udah ada New Huan Zhu Ge Ge atau Remake dari Huan Zhu Ge Ge, cerita sih mungkin rasanya masih sama tapi cuma beda tokoh-tokohnya aja. Sama seperti drama berjudul Return Of the condor Heroes, ternyata itu banyak versinya. seperti halnya Tutur Tinular versi 2011.

Tapi di Indonesia belum ada dan penasaran juga gue pengen nonton remakenya, andai Indosiar mau menayangkan.

Penantian

Aku berdiri disini
Ditengah kesunyian dan keheningan
Hanya debur ombak yang terdengar
Dan ramainya kicau burung camar
Ku disini menunggu
Menunggu hadirnya dirimu dalam dermaga cintaku
Ku disini menunggu
Menunggu kedatanganmu membawa cinta dan rindu
Namun penantian ini telah menjadi tiada berarti
Karena kau telah pergi dan tak kembali
Kau pergi menuju alam surgawi
Dan meninggalkanku sendiri disini bertemankan rasa sepi

Resep Menu Keluarga

Nasi goreng Udang Cumi

Bahan :
300 gr Nasi
5 ekor Cumi ukuran sedang potong cincin
20 gr Udang
1 butir Telur
1 sendok makan Mentega

Bumbu :
3 siung Bawang Merah
10 gr Bawang Bombay
1 batang Daun Bawang
4 buah Cabai merah
1 bks Masako rasa ayam

Cara memasak :
Goreng terlebih dahulu cumi dan udang hingga matang lalu tiriskan. Cincang halus semua bumbu, panaskan mentega lalu tumis bumbu. Setelah tercium wangi dan bumbu berwarna kecoklatan, masukkan telur, aduk hingga telur matang. Kemudian masukkan nasi, aduk hingga bumbu tercampur rata lalu tambahkan masako. Terakhir baru masukkan cumi dan udang, aduk kembali hingga merata. Angkat dan sajikan.

Tumis Sayur Orak-arik

Bahan :
100 gr Ayam suwir
1 buah Wortel import potong korek api
250 gr Kembang kol potong kecil-kecil
100 gr Jagung acar iris tipis menyerong
50 gr Buncis iris tipis menyerong
1 butir Telur
100 gr Jamur potong kecil-kecil
1 sendok makan mentega
Air

Bumbu :
3 siung Bawang Putih
3 buah Cabai
1 buah Tomat
1 bks masako rasa ayam

Cara membuat :
Cincang halus semua bumbu, panaskan mentega lalu tumis bumbu. Setelah bumbu harum, goreng telur diatas bumbu lalu aduk hingga matang. Kemudian masukkan wortel, kembang kol, jagung acar dan buncis lalu aduk hingga merata dengan bumbu. Beri sedikit air lalu biarkan hingga sayuran empuk. Berikutnya campurkan ayam yang telah disuwir, jamur dan masako, aduk kembali. Angkat dan sajikan dengan nasi putih.

Edwin Pacarku

Namanya hanya terdiri dari dua nama, Edwin Malik, tapi pesonanya mampu membuat cewek-cewek di kampus komputer ini mati kutu. Jeritan-jeritan gila selalu memenuhi lapangan saat dia men-dribble bola lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Tubuhnya yang tegap dan gagah dengan senyumnya yang menawan, tak pelak membuat cewek-cewek sering tiba-tiba seperti mengalami gangguan pernapasan, dengan jantung berdebar tidak karuan.

Sekelompok cewek penggemar kapten tim basket itu sampai membuat fans club, Edwinizer, yang entah siapa pencetus serta pendirinya, dan sudah memiliki banyak anggota fans club. Anggotanya bahkan tidak hanya dari kampus mereka saja tapi juga dari kampus lain, ketenaran Edwin sebagai kapten tim yang ganteng dan cool memang sudah sampai menyebar ke kampus lain seperti virus – Tapi virus yang satu ini nggak mematikan dan nggak dibenci orang – Apalagi sejak Edwin jadi kapten, tim basket mereka jadi langganan juara.

Dan Pradnya Dewi Muthia Sari adalah cewek paling beruntung di kampus karena mendapat gelar status sebagai kekasih Edwin. Status yang diinginkan banyak cewek, hingga mereka terkadang sengaja memonopoli Edwin, membuat Dewi cemburu.

Yah, memang beginilah susahnya jadi pacar “superstar”, resiko cowok “mendua” dengan para penggemar pasti bakalan harus ditanggung. Belum lagi mereka yang mendo’akan agar Dewi dan Edwin cepat putus. Atau yang sengaja bikin gara-gara memanas-manasi Dewi dengan harapan Dewi cemburu lalu mereka bubaran.

Para Edwinizer merasa heran, kenapa Edwin bisa kecantol Dewi? Padahal Dewi cuma cewek biasa, bukan yang paling cantik, atau yang paling tenar, atau mungkin yang paling kaya. Tapi kenyataannya sudah hampir setahun mereka pacaran, dan biarpun diusik sana-sini tapi hubungan mereka tetap adem-ayem. Nina sang mantan duta kampus, Sophie yang pernah jadi Nong Banten, Yanti yang anak pengusaha tempe jadi senewen waktu tahu saingannya yang nggak ada apa-apanya malah jadi sang pemenang.
*
“Hai, kok ngelamun.” Sentuhan lembut jemari-jemari kekar di telapak tangan Dewi, menyadarkannya dari lamunan panjang. “Masa udah dua kali malam minggu kita nggak nge-date, sekalinya nge-date aku harus lihat kamu melamun begini.”

“Aku nggak ngelamun kok.” Dewi mencoba berkilah. Malu sekali dia kalau ketahuan melamun, apalagi yang dia lamunkan sebenarnya Edwin sendiri, mengingat-ingat dirinya yang dulu cuma secret admirer sekarang malah jadi kekasihnya. Dan sebentar lagi mereka akan merayakan satu tahun jadian (so, sweet…). Padahal Edwin sudah jauh-jauh datang dari Ciceri, Serang, ke tempat kost di bilangan Lontar Kidul.

“Kalau kamu nggak ngelamun, coba tadi aku ngomong apa sama kamu?”

“Ngomong apa?” Dewi mengerutkan dahi bingung. Kira-kira apa yang tadi Edwin bicarakan? “Emm… eee….” Dewi menelan ludah. Kalau nggak salah Edwin sore tadi telepon, dia butuh buku Analisa Komputer, pasti sekarang dia mau tanya soal buku itu.

“Soal buku Analisa Komputer kan, sebentar aku ambil.” Dewi beranjak hendak mengambil bukunya, tapi belum sempat dia melangkah, Edwin sudah lebih dulu menahan.

“Tuh kan kamu ngelamun, tadi aku nggak ngomong apa-apa kok.”

Dewi terdiam. Dia lalu duduk kembali di kursi plastik yang diletakkan induk semangnya di teras sambil memerhatikan Edwin. Sebenarnya dia agak malu juga sih karena nggak memerhatikan kekasihnya.

“Bohong kok, tadi aku bilang Ryan telepon dan titip salam.”

“Ryan telepon?” belalak mata Dewi. “Gimana kabarnya dia?” senyum Dewi cerah.
Edwin tidak segera menjawab pertanyaan Dewi ketika dia mendengar kegembiraan di nada suara kekasihnya. Sejurus ditatapnya Dewi.

“Kok mukanya gembira gitu sih? Seneng yah denger kabar mantan?”

“Mantan, siapa? Maksud kamu, Ryan mantan aku? Emang kapan aku pernah jadian sama Ryan?” berungut Dewi kesal.

“Habis, aku kan jadi jealous lihat tampang kamu yang berubah waktu dengar kabarnya Ryan.”

OMG! Edwin cemburu? Cemburu itukan tanda sayang. Baru kali ini dia denger Edwin merasa cemburu, biasanya dia melulu yang cemburu, habis penggemar Edwin bejibun. Kalau disuruh baris, mungkin panjangnya sampai dari tempat kost Dewi ke terminal Pakupatan Serang.

“Ngapain harus cemburu sih? Aku kan udah jadi pacar kamu.” Dewi menirukan kata-kata Edwin setiap kali dia merajuk memperlihatkan rasa cemburu.

“Namanya jodoh, Ryan yang pengen pedekate sama kamu kok malah aku yang jadi pacar kamu.” Dewi tersenyum simpul, dia jadi teringat cerita cinta itu.
Saat masih semester satu, yang ngotot pengen pedekate sama Dewi memang bukan Edwin, tapi Ryan. Edwin hanya perantara terpaksa dan tanpa bayaran, semua hanya demi teman, yang bertugas menyampaikan salam, mengajak ngobrol gadis berwajah tirus ini untuk mencari informasi tentangnya, dan semua yang harus dikerjakan Ryan, malah Edwin yang melakukannya.

Ryan memang cowok pemalu, kadar rasa malunya itu sudah sampai batas akut alias stadium 4. Kalau saja rasa malu berasal dari sel berbahaya seperti sel kanker, mungkin sel itu sudah menyebar hingga ke jantung Ryan dan sulit untuk diobati lagi meski dengan jalan operasi.

Jangankan untuk pedekate, berpapasan saja Ryan selalu buang muka, sampai Dewi merasa Ryan sombong padahal mereka bertiga teman satu kelas. Ryan hanya berani mengawasi dari jauh, membantu dengan sembunyi-sembunyi, mengagumi secara diam-diam.

Edwin selalu mendorong Ryan agar berani mendekati Dewi, mengajaknya ngobrol barang sekejap. “Dewi baik kok, emang dia kelihatannya pendiam dan rada sombong, tapi kalau udah deket, dia humoris juga, tipe cewek yang lebih suka dideketin.” Edwin menceritakan hasil risetnya selama ini.

Tanpa memberitahukan sebenarnya dia tertarik pada perempuan setipe Dewi yang mengaguminya dengan cara sendiri. Nggak harus sorak-sorak di lapangan. Nggak membanjiri Edwin dengan pujian atau menyatakan cinta setiap saat. Tapi cukup dengan kalimat “Aku juga penggemar kamu, Ed, aku selalu nonton setiap pertandingan kamu, tapi kamu pasti nggak pernah tahu aku sebelumnya.” Memang susah bersaing dengan saudara sendiri.

Dan ketika keberanian Ryan sudah terkumpul, Dewi malah jatuh hati pada Edwin. Emang pada awalnya Dewi sudah lebih dulu tertarik pada Edwin dan seperti kedapatan durian runtuh Edwin malah diminta jadi comblang. Hati Ryan jadi kecut saat melihat Dewi lebih senang membicarakan Edwin setiap kali mereka bertemu. Dia pun pasrah dan akhirnya malah jadi comblang buat Edwin dan Dewi

Hanya selang beberapa hari sejak Edwin dan Dewi jadian, Ryan harus pindah ke Jakarta. Ryan memang berjasa banyak pada mereka, kalau bukan atas permintaan sahabatnya, mana mungkin Edwin mau mendekati cewek. Witing tresno jalaran soko kulino, pepatah jawa itu memang benar adanya.
*
“Uwi, Mama dengar kamu udah punya pacar, apa benar?”

Terperanjat Dewi mendapat pertanyaan itu dari ibunya, nyaris saja setengah gelas juice jeruk yang sudah masuk ke mulutnya tersembur keluar. Darimana ibunya tahu kalau dia sudah punya pacar? Diakan belum pernah sekalipun membicarakannya, padahal dia sudah mati-matian merahasiakannya dari Ibunya, lalu siapa yang sudah membocorkan cerita ini?

Ketika Dewi sedang bingung, dia melihat Vivi tampak salah tingkah. Matanya berkeliaran seperti sedang menyembunyikan sesuatu, dan ketakutan kepergok orang.

“V yah, yang udah ngadu sama Mama?” dipelototinya Vivi, yang semakin membuat adiknya semaput.

“Nggak kok… V nggak bilang sama Mama.”

“Bohong! Kalau bukan V siapa lagi? Emangnya Mama tahu dari angin?”

“V nggak bilang, Mama lihat photo teh Uwi waktu berduaan sama A Edwin, karena Mama tanya jadi V jawab, teh Uwi kan nyuruh V jangan ngadu sama Mama bukannya jangan jawab pertanyaan Mama.”

Dewi mendecak kesal. Vivi emang nggak salah. Mama yang tidak sengaja melihat photo-nya dan bertanya, Vivi tidak berani untuk tidak menjawab pertanyaan Ibunya.

“Jangan salahin adikmu, Wi, Mama nggak marah kok kalau kamu pacaran, kapan Mama pernah melarang kamu pacaran?”

Dewi hanya diam tertunduk.

Mama memang tidak pernah melarang, Mama hanya pernah bilang, “Sebaiknya kamu selesaikan dulu kuliahmu”, dan bagi Dewi kalimat itu terdengar seperti, “Kamu jangan pacaran sebelum kuliahmu selesai”.

“Asal kamu tahu batas saja. Denger, Wi, setiap perempuan punya kehormatan dan hanya perempuan baik-baiklah yang selalu menjaga kehormatannya, kamu ngerti kan? Jangan kecewakan Mama, Wi.”

“Uwi ngerti, Ma.” Dewi mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia akan membuat Ibunya kecewa. Ibu yang sudah membesarkan dia dan adiknya seorang diri selama lima tahun ini. “Edwin baik kok, kita nggak pernah macem-macem, Mama percaya aja sama Uwi.”

“Mama percaya kok, mama hanya minta jaga kepercayaan Mama.” Digenggamnya jemari putrinya. Memang susah menjaga anak perempuan, apalagi kalau anak perempuannya jauh dari orang tua. Perasaan was-was sering kali menghantui. “Tapi, kapan-kapan kamu bawa dong pacar kamu kesini, siapa namanya?”

“Edwin, Ma.” Dewi menyahut masih dengan tertunduk.

“Iya, Edwin. Ganteng juga yah, kalau Mama seumur dia mungkin Mama juga bisa naksir, tapi siapa tahu Edwin demen tante-tante, hi..hi.. jadi saingan ama anak dong.”

Membelalak mata Dewi mendengar selorohan Ibunya. Tidak disangkanya Mama akan berkata seperti itu, Mama emang janda tapi jangan menyukai anak kuliah dong! Apalagi sampai saingan sama anak sendiri, malu-maluin aja.

“Emangnya Oom Shidiq mau dikemanain!” Tukas Dewi.

“Mama bercanda, Mama cuma mau Oom Shidiq kok yang gantiin almarhum Papa kalian, lagian Mama juga nggak suka berondong, tenang aja.”

“Ya udah, aku duluan, Ma, aku janji nanti bakal bawa Edwin kesini.”
Dewi beranjak dari kursi makan sambil membawa piring dan gelas bekas makan malamnya ke dapur, kemudian dia segera berlari meniti tangga menuju kamarnya.

Dewi senang bukan kepalang mendengar Mama tidak melarangnya pacaran dengan Edwin, saking senangnya sampai dia tak sabar ingin joget-joget melampiaskan kegembiraannya.
Hatinya sedang berbunga-bunga, dewa cupid sudah melesakkan anak panah ke jantungnya.

Cintanya dengan Edwin tidak ada yang menghalangi. Kalau tahu begitu, untuk apa dia rahasiakan Edwin dari Mama selama ini sampai menyuruh Vivi jangan mengadu.

Tapi saat kata-kata Mama terngiang kembali ditelinganya, Dewi terhenyak. Kalau ternyata Edwin beneran suka tante-tante gimana? Masa saingan sama Ibu sendiri sih?

Aaah… tidak!
*
Hari minggu, hari yang pas untuk mengenalkan Edwin pada Mama tercinta, karena hanya pada hari minggu Mama ada di rumah dan Dewi pulang ke Rangkasbitung. Dan hari ini memang hari yang benar-benar pas, kebetulan Om Shidiq, duda tiga anak yang bekerja di Jakarta itu, berencana berkunjung ke rumah bersama anak-anaknya sebagai perkenalan. Hem… kalau Mama dan Om Shidiq menikah, berarti rumah bakal semakin ramai, dengan dihuni tujuh orang.

Seingat Dewi, Om Shidiq berasal dari Serang, beliau memang bekerja di Jakarta tapi ketiga anaknya tinggal di Serang bersama Neneknya. Meski ketiga anak Om Shidiq tinggal di Serang, tapi nggak pernah sekalipun Dewi bertemu mereka. Om Shidiq pernah bilang anaknya juga ada yang kuliah di kampus yang sama dengannya tapi Dewi belum pernah mencari tahu.

Jam 10 tepat, Edwin sudah tiba dengan motor sport kesayangannya. Mama menyambut kedatangan pacar anaknya dengan terbuka. Dewi bersyukur karena Mama tidak cerewet pada Edwin, tampaknya Mama setuju saja dengan hubungan mereka.

Dewi jadi teringat cerita-cerita novel, biasanya saat anak perempuan memperkenalkan pacarnya pada orang tua, yang paling galak itu kan seorang Ayah sementara sang Ibu akan terima-terima saja, lalu jika almarhum Ayahnya masih hidup mungkinkah Papa akan bertindak seperti dalam cerita-cerita Papa yang berlebel “awas Papa galak” atau mungkin Ayah tirinya yang seperti itu? Tapi Dewi yakin baik Papa maupun Ayah tirinya tidak akan seperti itu.

“Ma, Om Shidiq udah datang!” teriak Vivi gembira ketika dia melihat mobil Om Shidiq sudah parkir di depan rumah mereka.

“Om Shidiq?” tanya Edwin bingung. Sementara itu Mama menyambut calon suami dan calon anak-anaknya diluar.

“Calon Papa tiri aku, aku belum pernah cerita yah?” Edwin menggeleng dengan muka masih bengong. “Waktu Mama datang ke seminar apa gitu, pembicaranya itu Om Shidiq, katanya karena Mama ditempat seminar itu kritis, Om Shidiq jadi tertarik gitu, konyol yah? Aku pikir, Mama kan udah tujuh tahun jadi janda, waktu Mama bilang mau menikah lagi ya udah kita sih setuju aja, apalagi Om Shidiq itu baik dan sudah seperti Papa buat aku dan V, dan hari ini Om Shidiq bawa anak-anaknya buat kenalin sama kita, baru setelah itu bakal ada acara lamaran.”

Wajah keheranan Edwin masih tidak berubah. Dia seperti menyimpan sebuah pertanyaan tapi tidak jadi dia sampaikan, sampai kemudian keluarga Om Shidiq masuk ke dalam.

“Edwin? Lagi apa disini?” tanya Om Shidiq saat Dewi akan memperkenalkan kekasihnya pada calon Ayah tirinya.

“Aa.” Edwin menyahut dengan wajah memalu.

“Eh, kalian udah kenal?” tanya Ibu Fitri heran. Dewi pun ikut heran, lebih-lebih lagi saat diantara keluarga yang dibawa Om Shidiq ternyata ada Ryan juga.

“Mang Edwin, lagi kencan yah?” tanya Ryan jenaka. Biasanya juga Ryan memanggil Edwin dengan sebutan nama saja.

“Emm… Wi, ini A Shidiq, dia kakak pertama aku.”

“Kakak?” mata Dewi membelalak tidak percaya. “Kok bisa? Trus Ryan?” Dewi kali ini menatap Ryan. Edwin jadi tidak tega melihat Dewi dan Ibunya keheranan.

“Maaf aku belum cerita, Wi, aku ama Ryan emang seumur tapi Ryan sebenarnya keponakan aku, dia anak pertama A Shidiq, usia aku ama Aa emang sangat jauh, dua puluh dua tahun, anak Ibu aku ada delapan, aku anak bungsu lalu sewaktu Ibu melahirkan aku hanya selang beberapa bulan istri Aa melahirkan Ryan, aku nggak tahu kalau Mama kamu bakal menikah dengan Kakak aku.”

Dewi masih termangu. Jadi intinya adalah calon Ayah tirinya yang dia harapkan akan menjadi calon kakak iparnya kelak? Dan itu tentu saja tidak mungkin terjadi. Lalu si comblang akan menjadi adik tirinya. Ibu Edwin ternyata perempuan zaman dulu yang bisa melahirkan sampai delapan anak.

“Waah… ternyata batal deh jadi calon mantu, ya udah jadi adik ipar saja ya?” Ibu Fitri merangkul bahu Edwin, memperlakukannya seperti adik ipar.

Ingin sekali Dewi menangis dengan kenyataan ini, tidak pernah disangkanya kalau kekasihnya akan menjadi pamannya kelak. Bagaimana mungkin Ibunya menikah dengan sang Kakak lalu anaknya pacaran dengan sang adik??

“Tidaaaak…..!!!”

Jeff, Coklat dan Secret Admirer

Jeff melongo ketika tangannya merogoh kolong meja, dia menemukan sebatang coklat. Diperhatikannya sekitar kelas, yang datang baru Indra, Fifi dan Maia. Dari mereka bertiga, kira-kira siapa yang sudah menaruh coklat ini di kolong mejanya? Bikin orang ngiler aja. Apa orang itu sengaja menaruh coklat di kolong mejanya, karena dia tahu Jeff menyukai coklat dan sengaja membuat Jeff ingin makan.

Di kelas ini siapa sih yang tidak tahu semaniak apa Jeff sama coklat? Sehari tanpa coklat, buat Jeff, seperti cowok perokok tidak merokok, lidahnya terasa asam. Di tasnya minimal dua batang coklat Jeff menyimpannya sebagai bekal.

Dipandanginya lagi sebatang coklat bertabur kacang almond di tangannya, mungkin nggak kalau yang menaruh coklat ini salah tempat? Dia tidak merasa sedang ulang tahun, atau sudah memenangkan suatu pertandingan sampai ada yang memberinya hadiah coklat.

Tapi biarlah, siapa tahu ini memang sudah rezeqinya, kalaupun ada yang sudah salah taruh, tinggal diganti saja. toh harga coklat ini nggak mahal, banteran sepuluh ribu, paling dia hanya akan merasa gondok sudah memakan coklat orang lain karena mengira coklat itu untuknya.

“Lu kenapa, Jeff?” Zaza yang baru datang merasa heran melihat Jeff bengong sambil menimang-nimang coklat.

“Coklat ini punya siapa, Za?”

Zaza bengong mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jeff. Kok, dia tanya coklat siapa? Kan satu-satunya makhluk yang gila coklat di kelas ini, malah mungkin di sekolah ini, cuma dia.

“Emang lu ngerasa beli coklat itu nggak?”

Jeff menggeleng.

“Coklat ini tahu-tahu ada di kolong meja.”

Zaza semakin heran. Coklat ajaib, tiba-tiba muncul di kolong meja. Dia terbang sendiri dari kantin sekolah lalu masuk ke kolong meja Jeff, hebat.

“Mungkin itu dari penggemar lu?”

Jeff membelalakkan mata. Mulutnya menganga lebar. Tidak salahkah kalimat yang dia dengar terlontar dari mulut Zaza? Penggemar? Maksudnya, ada cowok yang menyukai dia lalu menaruh coklat ini di kolong meja?

“Udahlah, makan aja, kalau emang ada yang tanyain ntar ganti, kan coklat begitu banyak di kantin.” Ujar Zaza seraya memasukkan tasnya ke kolong meja. “Lagian bukan salah lu kalau coklat itu lu makan, coklat itu kan adanya di kolong meja lu.”

“Emm… bagi dua yah.”

“Nggak mau kena sial sendiri makan coklat temuan?”

Jeff nyengir kuda. Dipotongnya coklat itu lalu dia berikan setengah pada teman sebangkunya.

Untuk hari ini penemuan coklat beres. Jeff sudah menghabiskan setengah batang coklat temuannya hanya dalam hitungan menit. Meski Zaza juga menyukai coklat tapi saat dia melihat sahabatnya bisa menghabiskan coklat dalam sekejap, Zaza merasa ngeri. Rasa manis dan gigi ngilu membayang di benaknya, dan ajaibnya Jeff nggak pernah mengeluh sakit gigi dan badannya pun nggak membengkak.
***
Kali ini Jeff cuma bisa nyengir saat tangannya lagi-lagi menemukan sebatang coklat di kolong mejanya. Ini sudah coklat yang ketiga sejak tiga hari belakangan ini. Memang sih dia merasa senang setiap hari mendapat coklat gratis, tapi dia penasaran juga pada orang yang sudah menaruh coklat di kolong mejanya. Benarkah orang itu penggemar rahasianya seperti yang dikatakan oleh Zaza? Lalu siapa kira-kira cowok yang diam-diam menjadi penggemarnya itu?

Apa mungkin Indra?

Hanya Indra yang sering dia lihat sudah muncul di kelas, setiap kali dia menemukan coklat itu. Tiga hari belakangan ini Indra memang rajin datang pagi. Pak Toto saja sampai memujinya saat melihat Indra sudah duduk manis di kursinya ketika pak Toto mengabsen. Mungkin saja dia datang pagi karena untuk menaruh coklat itu di kolong meja Jeff, tapi kenapa Indra nggak pernah ngomong apa-apa.

“Ada coklat lagi di kolong meja elu, Jeff?” tanya Zaza seraya dia meletakkan tasnya. Jeff hanya memberi jawaban dengan anggukan kepala.

“Jadi penasaran, siapa sih yang udah taro coklat tiap hari di meja gue?”

“Indra mungkin?”

Dahi Jeff berkerut.

Dipandanginya cowok yang sedang asik mengobrol di pojokan kelas, suaranya yang tidak pernah bisa pelan itu sampai terdengar ke kelas lain.

“Nggak mungkin deh kalau Indra.”

Jeff merasa sangsi, tapi Zaza sebaliknya.

Indra mungkin memang selalu iseng pada Jeff, tapi bisa saja dia punya sisi baik yang tidak terduga. Yah, misalkan saja diam-diam jadi penganggum rahasia sahabatnya ini, bukankah selama ini teman-temannya selalu menggosipkan Jeff dengan Indra? Indra sering jahil padanya karena menyukainya.

“Ndra!” Zaza akhirnya memanggil Indra.

“Apaan?”

Indra yang sedang duduk diatas meja lalu melompat turun dan dihampirinya Zaza.

“Mau coklat nggak?”

Indra mengerutkan dahi.

“Kan elu tahu, gue nggak suka coklat, kalau lu mau kasih coklat, kenapa nggak kasih ke temen sebangku lu itu aja?” Indra melirik Jeff.

“Dia udah kebanyakan makan coklat, gue nggak mau dia sakit gigi.”

“Ya, jangan kasih gue dong, Za, kasih ke yang lain kek.”

“Ya udah, kalau elu nggak mau biar gue bawa balik aja, biar gue kasih adek gue.”

“Ngapain elu beli coklat kalau nggak mau elu makan.”

“Ada yang ngasih coklat ini sama gue, diem-diem dia nyimpen coklat ini di kolong meja gue.” Zaza mencoba memancing.

“Oh… nggak aneh kalau elu punya penggemar, kalau temen lu itu yang punya penggemar baru gue bikin syukuran.”

Jeff langsung melotot.

Kata-kata Indra itu sangat menyebalkan, seolah Jeff cewek paling nggak laku di kelas ini. Meski Jeff jomblo tapi bukan berarti dia nggak laku, emang belum ada cowok yang berani mendekatinya, sepertinya mereka takut malam minggu babak belur di karate Jeff.

“Sebenarnya bukan gue yang dikasih coklat, tapi Jeff.” Zaza meralat. Mata Indra membelalak.

“Apa?! Si Jefri punya penggemar rahasia? Yang bener, Za!” suara Indra yang lebih kencang dari suara speaker masjid jelas saja mengundang pandang anak-anak lain.

“Bikin syukuran deh lu sana!” tukas Jeff kesal.

“Maksudnya, ada cowok yang demen ama elu dan ngasih coklat ke elu, sejak kapan?”

“Dari tiga hari yang lalu, tiap hari satu batang coklat ada di kolong meja gue.”

“Udah diselidiki?”

“Ini lagi gue selidiki, dodol!”

Dahi Indra berkerut, tapi lalu dia tertawa terbahak-bahak setelah mengerti maksud sahabatnya.

“Jadi elu lagi mulai nyari tahu dan nyangka gue yang ngasih coklat ke elu?” sekali lagi Indra tertawa. “Itu nggak mungkin lagi, Jeff, ngapain juga gue ngasih coklat buat elu diem-diem.” Jujur Indra. “Kalau emang gue niat kayaknya, gue nggak bakalan cuma ngasih sebatang deh, tapi satu pak sekalian biar elu puas.”

Benar juga yang dikatakan Indra, kalau memang dia berniat memberi Jeff coklat, kenapa nggak sekalian saja memberinya satu pak. Dulu saja sewaktu Jeff berhasil menjadi juara karate tingkat kabupaten, Indra menghadiahinya coklat satu pak.

“Kenapa elu curiganya sama gue?”

“Soalnya belakangan elu nggak pernah kesiangan.”

“Itu cuma kebetulan.” Indra mencibir.

Padahal asal Jeff tahu, dia sedang berusaha berubah dengan dimulai datang ke sekolah nggak kesiangan. Ini pun dia lakukan demi Jeff, sering kali dia diejek karena kalah gesit dan kalah jago dengan Jeff yang notabenenya anak cewek. Indra ingin bisa setingkat diatas Jeff atau setidaknya setara Jeff agar dia tidak lagi diejek gender mereka tertukar.

“Trus kira-kira siapa ya?”

“Mana gue tahu, emang selain gue, yang elu curigain siapa?”

“Setiap kali gue nemu coklat ini, cowok yang gue lihat ada di kelas cuma elu.”

“Jefri…, Jefri, elu kok nggak mikir sih, kalau emang tuh cowok secret admirer elu, nggak mungkin lah dia muncul waktu elu nemu tuh coklat, dia pasti sembunyi.”

“Yang ngira coklat ini dari secret admirer gue itu kan Zaza.”

“Ya udah, hari ini pulang sekolah kita selidiki sama-sama, kalau nggak ada mungkin dia simpen coklatnya pagi-pagi, kita pergok aja pagi-pagi.”

Jeff mengangguk-angguk patuh.

“Kok elu mau bantuin gue, Ndra?” tanyanya kemudian setelah dia sadar, hari ini tumben Indra baik.

Indra bingung setengah mati. Nggak mungkin kan dia bilang sama Jeff kalau dia juga penasaran sama si secret admirer itu, Indra jealous. Sejak mereka kecil cuma dia yang menjadi penggemar Jeff dan selalu setia di samping Jeff, meskipun Jeff nggak perlu pengawal, kenapa tiba-tiba jadi muncul si secret admirer itu?
***
Dari arah kantin, Zaza lari menghampiri Jeff sambil berteriak-teriak heboh, seperti dia sudah mendapat undian seratus juta. Wajahnya sumringah, padahal tadi dia sempet ngambek gara-gara Jeff ogah diajak ke kantin. Hari ini uang sakunya sudah menipis, jadi dia lebih memilih puasa saat istirahat.

“Jeff, gue dapet kabar bagus buat lu.”

“Kabar bagus apa?” Dahi Jeff berkerut.

Ah, paling kabar bagus yang dimiliki Zaza hanya berita tentang toko yang sedang menggelar diskon.

“Gue udah tahu, siapa yang udah simpen coklat di kolong meja elu.”
Kali ini mata Jeff membelalak terkejut. Jadi, kabar berita yang super bagus ini yang dibawa Zaza.

“Siapa?”Berbinar wajah Jeff.

“Milo.”

Zaza membisikkan sebuah nama di telinganya.

Sekali lagi Jeff tertegun. Milo? Astaga. Apa nggak salah denger telinganya? Jadi selama ini yang umpetin coklat di kolong mejanya itu, Milo?

Tak terbayangkan olehnya Milo diam-diam menjadi penggemar rahasianya. Si bintang sekolah itu…, cowok ganteng yang sama-sama karateka, satu-satunya lawan yang nggak bisa Jeff kalahkan. Jeff tiba-tiba speechless.

Pantas belakangan sikap Milo agak beda padanya. Dulu dia selalu memandang rendah Jeff karena menganggap cewek nggak pantas bersaing dengan cowok, sekarang malah lebih manis. Jeff tersenyum tersipu malu.

“Eh, Jefri! Ngapain lu senyum-senyum kayak orang gila gitu.”

Terkejut Jeff mendengar suara Indra yang tiba-tiba mengusik gendang telinganya, dengan kejam disikutnya perut Indra, sampai cowok itu mengaduh kesakitan.

“Berenti napa lu, manggil gue Jefri!?”

“Iya elu punya nama kembarannya Jefri gitu, Jeffrina, mending gue panggil Jefri sekalian biar singkat. Jadi nggak nti siang kita intai orang yang udah ngasih elu coklat?”

“Nggak perlu! Gue udah tahu siapa orangnya.”

“Elu udah tahu, emang siapa?”

“Elu pasti bakalan kaget deh, cowok itu Milo.”

Kalau dibilang kaget, jelas Indra kaget setengah mati.

“Milo?” belalak mata Indra. “Gimana ceritanya?”

“O, iya, Za, gimana elu bisa tahu kalo yang nyimpen coklat di meja gue Milo?”

“Jadi gini ceritanya, Jeff, waktu gue di kantin, nggak sengaja gue duduk deket Milo ama Tono, Milo tanya ke Tono, ‘Ton, elu udah kasih coklat itu ke dia?’ trus kata Tono, ‘beres, Mil, gue udah simpen coklat itu di kolong meja dia’ Milo kaget, katanya, kenapa juga si Tono simpen coklat itu di kolong meja? Kenapa nggak langsung dikasihin aja? Trus jawab Tono tahu nggak apa?” Zaza menatap Jeff dan Indra bergantian. Dan seperti orang bodoh mereka menggeleng berbarengan. “Tono bilang, ‘gue sengaja simpen coklat itu di kolong meja biar jadi surprise waktu nti lu muncul didepan dia dengan bunga dan coklat itu, dan siaplah elu buat nembak dia’.”
So, sweet…., ternyata Milo sedang memikirkan cara romantis untuk menembaknya. Si kutu buku itu diam-diam punya cara seru juga yah buat ngebantuin temennya? Jeffrina tersenyum malu.
***
Indra uring-uringan. Dia tidak bisa terima kalau harus bersaing dengan Milo. Bukan berarti Milo tidak selevel yang pantas menjadi saingannya dalam memperebutkan hati Jeffrina, tapi level Milo malah yang terlalu tinggi untuk menjadi saingannya. Milo ganteng, pinter, jago karate pula. Sedangkan dia? Tampang, ada yang bilang lumayan aja masih syukur, otak pas-pasan, boro-boro jago karate, jago panjat pager klo kesiangan sih iya. Nggak ada harapan setipis apapun untuknya mendapatkan hati Jeff.

Sudah bisa dipastikan Jeff akan memilih Milo, mereka sama-sama pelatih karate. Obrolan pun pasti akan jauh lebih menyenangkan, sekarang pun hati Jeff tampaknya sedang terbuai asmara. Wajah Jeff terlihat lebih cerah dari biasanya, itukah wajah perempuan yang sedang jatuh cinta? Jeff dan Milo memang cocok.
Sepertinya waktu tidak bisa menjadi jaminan seseorang untuk jatuh cinta, jika dibandingkan dengan Milo yang baru dikenal Jeff di SMA ini, kebersamaannya dengan Indra sudah tidak terhitung lagi berapa lama.

Dengan perasaan kesal Indra menendang krikil kecil yang berada didekat kakinya, saat ini Jeff sedang sibuk dengan ekskulnya, dia jadi nggak bisa pulang dengan Jeff. Pasti Jeff bakal diantar Milo.

Indra lalu menggusur kakinya, dengan perasaan kecewa setengah mati, melewati kelasnya yang seharusnya sudah kosong. Tapi…, sejenak dia tertegun ketika melihat seseorang tengah duduk di kursi Jeff. Dahi Indra mengerut heran, orang itu sedang apa? Jangan-jangan…
***
“Jeff, udah makan?” Jeff terperanjat mendengar suara bass Milo menyapanya. Seperti maling yang ketangkap basah, Jeff sampai menjatuhkan baju karate yang sedang dia rapikan. Sontak dia berbalik tapi lagi-lagi dia terkejut saat tubuhnya hampir menabrak tubuh menjulang Milo. “Sorry, aku ngagetin kamu yah?”

“Ah, eee… nggak…” Jeff jadi salah tingkah sendiri.

“Kamu udah makan?” Milo menatapnya lembut. Jeff sampai tertegun lalu dia hanya mengangguk. “Nih, aku bawa bekal, kamu makan aja, tapi pasti udah dingin.” Jeff masih bengong. Milo bawa bekal? Anak cowok bawa bekal? “Siang tadi aku sempat pulang, adik aku baru bisa masak dan dia pengen aku bawa ke sekolah, aku nggak bisa nolak.”

“Emm… makasih ya.” Ujarnya seraya menerima kotak makan itu. “Tapi aku kaget loh, Milo yang biasanya jutek, kok belakangan ini baik banget yah… ada apa sih?” Jeff mencoba memancing. Hatinya tak sabar menunggu Milo mengatakan ‘Cause I Love U’

“Jangan-jangan kamu lagi jatuh cinta ya….” Jeff mengulur tali pancing makin dalam berharap dia mendapat jawaban iya dari Milo.

Dan ternyata cowok berbadan atletis itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu-malu. Jeff merasa jantungnya melompat ke tenggorokan. Ternyata Milo bisa malu juga, wajah Milo yang seperti ini yang membuat Jeff jadi tertarik. Oh, Tuhan… tinggal selangkah lagi dia akan mendengar, “Kamulah orang yang telah membuat aku jatuh cinta, maukah kamu jadi pacarku….”

“Jefri!” Jeff tersentak dan lamunannya pun membuyar.

Kenapa di gedung olahraga yang seharusnya hanya ada mereka berdua, malah ada suara gambreng yang sudah tidak asing ditelinganya?

Jeff lalu menoleh. Dan benar, Indra berdiri tidak jauh darinya. Jeff hanya bisa mendecak kesal, pengganggu satu ini emang menyebalkan. Kalau bukan karena sahabat dari kecil, Jeff merasa tangannya gatal ingin memukul Indra sampai terbang ke perairan Somalia, biar dia ditawan perompak Somalia.
“Lu harus ikut gue.” Tanpa menunggu jawaban, Indra sudah menggusur Jeff membawanya keluar dari gedung olah raga.

“Indra, apaan sih lu, gangguin gue aja!” Jeff merasa gondok. Bukannya dia mendengar pernyataan cinta Milo, malah digusur-gusur manusia nggak beradab ini.

“Kalau elu nggak cepet-cepet, orang itu bisa keburu pergi.”

“Orang itu siapa?”

“Secret Admirer elu itu bukan Milo, tapi orang lain dan sekarang dia lagi nunggu kita di kelas bareng Zaza.”

Nggak mungkin! Zaza masa ngasih informasi yang salah? Lalu emangnya siapa cowok yang sudah diam-diam menyembunyikan coklat itu untuknya. Jeff sama sekali tidak punya gambaran cowok yang kira-kira menjadi secret admirer-nya selain Milo, Indra sendiri nggak ngaku.

Jeff mengerutkan dahi saat mereka tiba dikelas, katanya si secret admirer itu menunggunya dikelas, tapi Jeff tidak melihat siapa-siapa selain Zaza dan seorang cewek yang tidak dikenalnya.

“Ndra, elu bilang tadi mau kenalin kita ama secret admirer Jeff, mana?” tagih Zaza.

“Ya itu, yang duduk di sebelah elu.”

Zaza dan Jeff membelalak kaget. Ditatapnya cewek manis berambut ekor kuda, yang sedang tertunduk menyembunyikan wajah pucatnya.

“Elu siapa yah?”

“Aku Arini, kak, aku murid baru di kelas satu.”

“Elu disuruh orang buat simpen coklat di kolong meja gue?”
Arini menggeleng pelan. “Aku yang udah simpen coklat-coklat itu disana, maaf kak, selama ini aku kira kakak cowok.”

Jeff semakin tidak mengerti dengan pengakuan Arini.

“Kok elu bisa ngira gue cowok?”

“Aku anak cewek yang kakak pernah selametin dari berandalan sekitar sebulan yang lalu, waktu itu aku kira kakak cowok yang punya muka cantik kayak tokoh di komik-komik, sejak itu aku suka sama kakak, trus seminggu yang lalu aku masuk sekolah ini dan lihat kakak lagi makan coklat di gedung olahraga, aku nggak nyangka bakal ketemu kakak lagi, aku seneng banget dan aku ingin berterima-kasih dengan memberi coklat itu.”

Jeffrina menarik nafas panjang.

Dia baru ingat dengan bocah perempuan yang pernah diselamatkannya sebulan yang lalu dari keisengan cowok-cowok berandalan. Jeff yang kesehariannya terbiasa memakai pakaian cowok, terlihat seperti cowok cantik oleh Arini. Ditambah lagi sebagian besar teman-temannya memang sudah tidak menganggapnya sebagai anak cewek lagi.

“Nama gue Jeffrina, dan gue cewek tulen.” Ujarnya seraya pergi.

“Jefri, elu mau kemana?”

“Gue udah bilang berapa kali, jangan panggil gue Jefri, nama gue JEFRINA!!!”
Rasa kecewa dan kesalnya berbaur menjadi satu, baru saja dia merasa senang punya secret admirer yang disangkanya cowok sekaliber Milo, ternyata orang itu cewek!

Sekuntum Melati, Secercah Cahaya Bintang

Langit cerah biru lazuardi menghiasi indahnya suasana pantai Carita siang ini. Suara debur ombak terdengar begitu lembut dan hangat. Ketenangan seperti ini biasanya melahirkan inspirasi bagi penulis fiksi seperti Bintang, tapi saat ini kehadiran sepasang insan yang terhubung dalam suatu ikatan tali asmara bukan untuk mencari inspirasi melainkan untuk memikirkan masa depan hubungan mereka.

Melati tidak mengerti kenapa ayahnya masih ingin menjodohkannya dengan seorang pegawai negeri bertitel dengan golongan esselon 3 padahal beliau tahu, Melati sangat mencintai Bintang. Laki-laki yang memilih menjadi penulis fiksi sebagai pekerjaannya, tanpa titel ataupun jaminan memiliki pensiun di masa tua nanti. Tapi Bintang bukan penulis biasa, dia sudah menerbitkan dua puluh lima buku, sepuluh diantaranya best seller dan dia juga di percaya sebagai redaktur di sebuah majalah.

Tapi apalah arti dua puluh lima buku bagi ayah Melati bila dibandingkan dengan titel dan golongan kerja yang dianggap menjadi jaminan masa depan putri sulungnya. Memang tetangga sekitar pun pasti akan lebih memuji Damar, S.E., S.Sos., MM, DLL, DSB yang merupakan seorang pegawai negeri esselon 3 jika dibandingkan dengan pemilik dua puluh lima buku. Tanpa pangkat. Tanpa titel. Karena mereka menganggap menjadi penulis tidak memiliki masa depan yang cerah.

Damar memang hebat, masih muda tapi dia sudah memiliki pangkat yang tinggi dengan sederet gelar yang dimilikinya. Tapi bagi Melati, Bintang istimewa. Bukan karena dia sudah menerbitkan dua puluh lima buku tapi Bintang, satu-satunya lelaki yang dapat memahami Melati. Itu sudah cukup membuat Melati mampu bertahan dengan Bintang selama hampir tiga tahun ini.

Tapi sekali lagi, Bintang tidak bertitel dan tidak berpangkat. Hal itulah yang menjadi hambatan bagi hubungannya dengan kekasih hatinya ini. Melati ingin bisa menikah dengan Bintang tapi ayah Melati, tidak pernah menyetujui hubungan mereka. Mungkin ayahnya berpikir, buat apa susah-susah disekolahkannya anak sulungnya hingga mendapat gelar S.Pd, jika akhirnya hanya berjodoh dengan penulis.

“Bawa aku pergi, Bintang. Bawa aku pergi kemanapun, asal dengan kamu, aku rela meski harus hidup di dalam rumah kardus sekalipun.” Air mata Melati meleleh membasahi pipinya.

“Aku nggak bisa, Melati, aku nggak mungkin bawa kamu pergi tanpa restu ayahmu.”

“Tapi sampai kapan kita harus menunggu, Bintang? Mengharapkan Ayah merestui hubungan kita sama saja dengan menyuruh matahari tidak terbit esok pagi.” Suara Melati sudah berbaur dengan isak tangisnya.

“Kamu jangan bicara seperti itu, Melati, kita tunggu ya, sebentar lagi, aku yakin ayah pasti akan berubah pikiran.” Bintang membawa tubuh kekasihnya ke dalam pelukannya.

Dia juga ingin membawa pergi Melati tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Bukankah itu sama saja dengan memberi minyak pada api? Ayah Melati sudah tidak menyetujui hubungan mereka lantas Bintang memilih bersikap egois dengan membawa kabur putri sulung pak Burhan. Bukan tidak mungkin pak Burhan akan semakin membenci Bintang dan mungkin rasa bencinya akan semakin meresap ke sumsum tulangnya. Apalagi jika mereka menikah, Melati membutuhkan wali nikah.

“Bintang, aku tahu caranya biar Ayah merestui kita.” Tiba-tiba Melati menjauhkan tubuhnya dari pelukan Bintang. Laki-laki itu mengangkat alis. “Anak.”

“Maksud kamu?” kali ini Bintang mengerenyitkan alisnya. Meski secara samar dia dapat menangkap maksud dari kata terakhir yang diucapkan oleh kekasihnya tapi pertanyaannya hanya untuk menegaskan, benarkah kekasihnya yang bicara seperti itu.

“Kalau aku hamil, pasti Ayah mau nggak mau akan merestui hubungan kita.”

“Melati!” tukas Bintang. “Aku tidak menyangka kamu bisa berpikir seperti itu. Aku bukan laki-laki seperti itu, Melati.”

“Tapi nggak ada jalan lain, Bintang, kalau kita kasih ayah seorang cucu, pasti ayah juga tidak akan menolaknya.”

“Aku tahu kamu bingung, Melati, aku juga merasakan hal yang sama, tapi diantara rasa bingung aku, tidak pernah aku berpikir akan menghamili kamu agar mendapatkan restu – secara terpaksa – dari ayah, bukankah itu sama saja dengan kamu mengajak aku untuk kawin lari? Kalau memang ingin aku lakukan, sudah kulakukan dari dulu.”

“Tiga hari lagi Damar dan keluarganya akan datang, Bintang, dia akan melamarku, kamu tahu? Dan saat itu mereka akan menentukan tanggal pernikahan yang tidak pernah aku inginkan.” Air mata semakin membanjiri pipi Melati membuat wajah gadis itu sembab dan matanya memerah.

Bintang benar-benar kehabisan akal. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mempertahankan kekasihnya. Hanya bermodalkan cinta apakah mungkin hubungan mereka akan bisa terus berlanjut hingga ke jenjang pernikahan? Tapi apakah hanya cinta yang menjadi modal Bintang sekarang. Hanya karena dia tidak bertitel dan tidak berpangkat lantas cintanya harus pupus ditengah jalan.

Bintang dengan Melati sudah merancang masa depan yang indah. Dari royalti novel-nya Bintang bukan hanya membeli sepeda motor Honda Tiger, laptop ataupun handphone saja tapi dia juga sudah mencicil sebuah rumah untuk mereka tempati berdua bersama dengan anak-anak suatu hari kelak. Dia juga sudah menabung untuk masa depan mereka. Tapi semua mimpi itu hanya menjadi impian belaka, Melati, calon istrinya, akan dijodohkan dengan pria lain hanya karena alasan titel dan pangkat.

Andai saja waktu itu Bintang memutuskan untuk kuliah dan tidak memutuskan menjadi seorang penulis mungkin tidak akan seperti ini persoalan cintanya. Restu akan didapatkannya dengan mudah. Asalkan dia memiliki gelar dan berpangkat. Gelar apapun akan diraihnya, sekalipun dia tidak berminat kuliah, kalau memang itu bisa memuaskan hati Ayah Melati.

Tapi kalau Bintang tidak memutuskan menjadi penulis, mungkinkah mereka akan bertemu? Guru muda ini menyukai Bintang dari karya-karyanya. Dengan bangga dia menobatkan dirinya sebagai penggemar Bintang nomor satu yang telah mengoleksi seluruh novel Bintang sejak SMA, yang mungkin akan membuat penggemar lainnya memprotes, “Memang Cuma kamu penggemar Bintang!”. Dari tulisan itulah mereka bertemu.
***
Mendapatkan restu dari Ayah Melati memang tidak mudah. Sejak pertemuan pertama Bintang dan kedua orang tua Melati tiga tahun lalu, hanya ibu Melati yang menaruh respek sedangkan ayahnya menatap sebelah mata padanya pun tidak!

“Ayah. Ibu. Kenalkan teman Melati, namanya Bintang.” Dengan perasaan berdebar-debar Melati memperkenalkan Bintang pada kedua orang tuanya.

Meski Melati mengatakan Bintang adalah temannya tetapi Ayah dan Ibu Melati sudah dapat mengira siapa gerangan laki-laki yang dibawa oleh putrinya. Bintang mencium tangan calon mertuanya dengan khidmad lalu Ibu Melati menyambutnya dengan senyum namun Ayah Melati masih tetap memasang wajah keras.

“Bintang ini novelis merangkap redaktur majalah, dia sudah menerbitkan dua puluh buku, sebagian besar best seller.” Promo Melati. Dengan harapan, lewat promonya kedua orang tuanya dapat melihat betapa hebatnya Bintang.

Sebenarnya masih banyak yang ingin Melati pamerkan tentang prestasi Bintang selama ini yang tentunya sangat membanggakan bila kemudian nantinya kedua orang tuanya ikut memuji, tapi biarlah nanti kedua orang tuanya tahu dengan sendirinya. Apalagi Bintang tipe orang yang tidak suka pamer, dia lebih suka orang melihat apa adanya dirinya.

“Wah…, hebat sekali! Masih muda sudah berprestasi.” Mata Melati langsung berbinar diserang kebahagiaan saat dia melihat kekaguman terpancar jelas di wajah ibunya. Melati yakin sekali, dia memang tidak salah memilih.

“Penulis?” ayahnya menyahut dingin. “Memang berapa biasanya royalti penulis itu?” Melati terkejut saat mendengar pertanyaan ayahnya yang langsung pada intinya tanpa ada basa-basi.

“Ayah.” Ibu menegur halus sambil mengusap lengannya.

“Loh, kenapa? Memangnya ayah salah bicara? Wajar toh ayah bertanya begitu, karena ayah ingin tahu berapa biasanya royalti penulis?” tapi Bintang hanya tersenyum saat calon mertuanya menanyakan hal itu.

“Bisa lebih dari sepuluh juta.”

“Tapi itu tidak tetap kan? Memang berapa kali dalam setahun kamu menerbitkan novel?” Melati memejamkan matanya saat mendengar pertanyaan-pertanyaan ayahnya yang memberi kesan menyepelekan.

Terlebih ketika ayahnya menanyakan dari universitas mana Bintang berasal dan dia menjabat sebagai apa di tempat kerjanya. Tentu Bintang akan menjawab apa adanya, dia hanya lulusan SMA dan tidak memiliki jabatan penting apa-apa di tempat kerjanya. Tidak mungkin Bintang berbohong. Untuk apa dia berbohong? Hanya ingin mendapat pujian dari calon mertuanya?

Memandangi wajah Ayah yang tampak tidak menaruh respek pada Bintang, Melati seperti sudah menelan biji durian, bukan durian montong yang bijinya seukuran kelingking bayi tapi durian lokal yang bijinya besar bukan kepalang. Menyesakkan. Meski dia melihat reaksi yang diperlihatkan Ibu menyenangkan tapi Melati merasa hubungannya dengan Bintang tidak akan mendapat restu.

Dan ternyata kegelisahan Melati terjawab, meski sudah tiga tahun mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih tetapi restu dari ayahnya tetap tidak keluar. Melati benar-benar putus asa. Dia ingin bisa hidup bahagia dengan Bintang, tetapi Melati tetap ingin berbakti pada kedua orang tuanya.

“Memangnya kamu sudah diapakan oleh si Bintang itu.” Tukas Ayahnya ketika Melati bersikeras mengatakan ingin menikah dengan Bintang.
Melati mengerutkan dahi bingung mendapat pertanyaan itu.

“Apa maksud Ayah?”

“Maksud Ayah, apa kamu sudah menyerahkan tubuhmu pada si Bintang sampai kamu bersikeras ingin menikah dengannya.”

“Ayah!” pekik Melati gusar. Dia tidak mengira Ayahnya akan mengira demikian. “Melati masih suci.” Desis Melati menahan marah. “Lagipula Bintang tidak pernah melakukan perbuatan tidak senonoh padaku, kami tidak serendah itu, hubungan kami sehat dan kami menjalaninya atas nama cinta.”

“Heh. Cinta? Mau makan apa kamu jika terus menomor satukan cinta!”
Melati hanya bisa diam tertunduk. Kalimat yang dilontarkan Ayahnya sungguh menusuk relung hatinya. Sepicik itukah Ayahnya memandang Bintang.

Ayahnya memang terlalu percaya pada ramalan para ustadz, dan mereka mengatakan jika Melati dan Bintang menikah. Mereka tidak akan pernah bahagia. Hidupnya akan selalu dikelilingi masalah. Selain itu Bintang dan Melati akan terus hidup miskin. Tapi Melati tidak pernah percaya itu, meski yang mengatakannya kiayi sekalipun.

Yang dia percayai, sesulit apapun Tuhan memberikannya ujian pasti akan ada jalan keluarnya. Serumit apapun masalah yang akan dihadipinya pasti akan dapat dipecahkan. Tuhan tidak akan memberikan penyakit yang tidak ada obatnya, semua penyakit pasti ada obatnya kalau dikatakan tidak ada itu karena belum ditemukan. Begitu juga dengan kesulitan.
***
“Neng, sudah ditunggu di bawah, tamunya sudah datang.” Melati menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat ketika Bi Inah memanggilnya.

“Iya, Bi, sebentar lagi saya turun.” Sahutnya dari dalam.

Hari yang tidak diinginkan akhirnya tiba juga. Dan mau tidak mau dia harus menghadapi hari ini. Andai dia punya kekuatan memindahkan waktu, Melati ingin sekali agar hari ini menjadi milik orang lain.

Usaha seperti apapun yang telah dilakukan Melati untuk mempertahankan cintanya pada Bintang, hanya menjadi sia-sia belaka. Meski Ibunya, yang biasa menurut pada ayahnya, pernah melakukan pertentangan atas rencana suaminya, tapi tetap tak mengubah keputusan mutlak sang Ayah.

Sedari pagi tadi langit mendung menggantung menaungi bumi seolah ikut berduka bersama Melati. Melati melangkah ke jendela sebelum dia memutuskan untuk keluar. Terlebih dahulu di pandanginya suasana sekitar kompleks perumahan yang tampak sepi.

“Selamat tinggal, Bintang, seperti apapun diriku nantinya, aku akan selalu mencintaimu.” Bisiknya.

Keluarga besar Damar telah menanti ketika dia tiba di ruang tamu. Senyum Damar tampak cerah menghiasi wajah tampannya. Sebenarnya apa yang kurang dari Damar, dia tampan dan mapan. Anaknya berbakti dan sangat menyayangi Ibunya. Calon menantu dambaan setiap orang tua.

Tetapi Melati tidak dapat mencintai Damar seistimewa apapun Damar di mata orang lain, karena cintanya sepenuhnya telah dia berikan pada Bintang. Andai saja bunuh diri tidak dosa, mungkin saat ini dia akan lebih memilih bunuh diri. Karena Melati merasa jiwanya telah mati.
***
Acara pertunangan berjalan dengan lancar. Tanggal pernikahan pun telah ditetapkan. Rencananya pada akhir tahun nanti bertepatan dengan hari ulang tahun Melati yang ke dua puluh empat tahun. Damar memang sengaja ingin memberikan kado istimewa di hari ulang tahun istrinya.

Telepon berdering ketika para tamu tengah menikmati hidangan. Melati melihat bi Inah yang tergopoh-gopoh menghampiri meja kecil untuk mengangkat telepon. Tak lama kemudian bi Inah memberi kode pada Melati karena telepon itu ditujukan untuknya.

“Ya, hallo…” Melati menyapa si penelepon. “Hei, Indra, ada apa?” tumben Indra meneleponnya bukankah dia kemarin pergi mendaki gunung. “Oh, sorry hapeku ada diatas.” Ujar Melati setelah Indra mengomelinya karena hapenya tidak diangkat.
Tapi kemudian Melati terkejut menerima berita yang disampaikan Indra melalui telepon. Tubuh Melati langsung mengejang. Dengan tangan bergetar Melati meletakkan kembali gagang telepon ke tempat semula, lalu tanpa pikir panjang lagi Melati lari keluar.

Tidak dihiraukannya panggilan orang-orang yang heran dan bertanya-tanya melihat Melati meluncur lari. Dia langsung melarikan motor matic milik tamu yang di parkir di halaman, dan tamu ceroboh itu telah membiarkan kuncinya tergantung di motor.

Indra tadi mengabarkan berita yang mengejutkan. Dia tidak mengira Bintang akan ikut ke acara pendakian yang diselenggarakan Indra dan kawan-kawannya. Selama ini Bintang tidak pernah mendaki gunung, padahal Indra sudah melarang karena medan yang akan mereka tempuh bukan diperuntukkan pemula tapi dia tidak menggubris.

Dan akhirnya ditengah jalan Bintang menghilang. Beberapa jam yang lalu mereka memang berhasil menemukan Bintang tetapi dia sudah tidak bernyawa lagi, tubuhnya penuh luka memar dan benturan di kepalanya yang telah membuat Bintang meninggal dunia. Ironisnya didalam tas Bintang tidak ditemukan makanan, karena yang dibawanya selain satu liter air ternyata hanya buku-buku karyanya, photo-photo dia dan kekasihnya juga beberapa barang pemberian Melati.

Astaga! apakah itu artinya Bintang memang berniat bunuh diri di gunung dengan membawa kenangan mereka.

Melati memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dia ingin segera tiba di rumah sakit tempat jenazah Bintang berada. Tapi dia sama sekali tidak menyadari bahaya datang menghadang dalam perjalanannya, dari arah berlawanan tiba-tiba saja sebuah mobil yang menyalip beberapa mobil didepannya datang menghampiri.

Karena jalan yang dilalui Melati masih satu jalur, motor Melati tidak punya cukup ruang untuk menghindar. Dengan keadaan panik Melati menurunkan motornya ke tanah tapi karena tanahnya licin motor Melati tergelincir, dia tidak bisa mengendalikannya hingga tubuh mungil Melati terhempas.
***
“Maafkan kami, Pak, putri Bapak telah menghembuskan nafas terakhirnya saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, kepalanya yang tidak terlindungi helm telah membentur batu besar.” Ujar seorang dokter pada pak Burhan.

Tangis istrinya langsung pecah mendengar putri semata wayangnya telah tiada. Dipeluknya tubuh istrinya. Baru saja didengarnya dari Indra alasan Melati tiba-tiba pergi dari rumah. Tidak pernah disangkanya Melati dan Bintang akan meninggal di hari yang sama, cinta mereka benar-benar abadi hingga mati.

Pak Burhan hanya bisa melihat Ibu Bintang menangis meraung-raung menangisi tulang punggung keluarganya yang telah tiada.

“Oom, ini buku harian Melati yang ada di tas Bintang.” Ujar Indra sambil menyerahkan sebuah buku harian. “Didalamnya banyak cerita cinta antara Melati dan Bintang, Melati sengaja menyerahkan diary ini pada Bintang saat dia akan bertunangan.”

Pak Burhan menerima buku harian itu dengan tangan gemetar. Dilembarinya catatan putri semata wayangnya itu. Setiap kata-kata terangkai dengan indah, perjalanan cinta mereka yang begitu manis penuh canda dan tawa. Saat itu Pak Burhan baru merasakan ketulusan cinta keduanya.

Cinta mereka bukan terlahir dari kata “Karena” tetapi “Walaupun”. Walaupun Bintang hanya seorang penulis dengan penghasilan pas-pasan tetapi Melati tetap mencintainya. Walaupun mata sebelah kiri Melati cacat tapi Bintang tetap mencintai Melati. Walaupun cinta mereka penuh rintangan tetapi cinta itu tetap akan hidup abadi dalam hati mereka.

Bintang, dihari pertunanganku nanti itu berarti Melati yang sebenarnya telah mati, karena hari ini pun hati dan jiwaku telah mati.

Melati, aku rela menggadaikan nyawaku pada alam jika memang cinta kita tidak akan pernah bersatu.

Air mata Pak Burhan jatuh meleleh setelah membaca halaman terakhir yang dituliskan oleh sepasang insan yang memiliki cinta abadi itu. Setangkai bunga Raflesia Arnoldy menjadi pembatas di halaman terakhir.