Minggu, 20 Juni 2010

Indonesia pertiwi

Tetesan embun mengalir membasahi dedaunan
Ku sambut pagi yang cerah dalam balutan hangat mentari
Menghirup segarnya udara dibawah naungan langit biru lazuardi
Sambil ku dengar merdunya suara burung-burung bernyanyi
Indah alamku….
Indah semestaku….
Namun kini mengapa tak dapat kurasakan lagi?
Yang kusambut pagi hanya bau udara terpolusi
Burung-burung pun telah enggan berdendang menyambut pagi
Hijau pepohonan tiada sanggup berdiri menentang panasnya gerangan matahari
Mengapa ini bisa terjadi?
Pada bumi Indonesia pertiwi
Tak dapat kusangsikan lagi
Eloknya Indonesiaku hancur seakan tak berarti

Pantaiku Pangandaran

Oh Tuhan…
Sampai kapan cobaan ini
Terus melanda bumi pertiwi
Belum kering air mata kami
Menyaksikan keperihan saudara di Jogja
Yang diserang gempa
Hari ini 17-07-06
Kami pun harus menyaksikan
Cobaan lain yang menyakitkan
Di pantai pangandaran
Ratusan manusia menjadi korban
Ribuan tetes air mata berjatuhan
Kami mungkin bergelimangan dosa
Sehingga Kau pun menjadi murka
Kami mungkin memiliki berjuta kesalahan
Sehingga Kau pun memberikan banyak cobaan
Tapi hari ini kami bersimpuh luruh
Memohon pengampunanMu
Jangan kau buat bumi kami kembali hancur luluh
Agar kami bisa bertaubat padaMu
Berikanlah kekuatan pada mereka yang telah ditinggalkan
Agar bisa kembali berjuang untuk menata masa depan
Wahai saudara-saudaraku yang terkena bencana
Kami tahu hatimu hancur nestapa
Namun janganlah terus bermuram durja
Karena masa depan itu masih ada
Do’a kami untukmu, saudaraku

(Rangkasbitung, 17-07-06) mengenang bencana dibumi pangandaran

"Aku Cinta Padamu" dalam berbagai bahasa

Bulgaria : Obicham te
Cambodia : Bon sro tanh oon
Canada : French sh’teme
Netherlands : Dutch ik hou van jou
Philippine : Mahal ka ta
France : Je t’aime, Je t’adore
German : Ich libie Dich
Greek : S’ayapo, philo su
Hungarian : Szeretlek, Szeretlek te’ged
Iran : Mahn doostaht doh-rahm
Ireland : Taim I’ ngra leat
Italia : Ti amo, Ti voglio bene
Japan : Kimi o ai shiteru, Aishiteru
Romania : Te iu besc, Te Ador
Russia : Ya vas liubliu, Ya tebya liubliu
Serbia : Ijubim te
Spanish : Jag a”Iskar dig
Swiss : Ch’ha di ga”rn
Thailand : Khao Raak Thoe, Phom Rak Khun
Vietnam : Em ye`u anh, Toi yeu em
Yugoslavia : Ya te volim
Mandarin : Wo ai ni

Sumber : Aneka Yess! (entah terbitan kapan aku lupa coz artikel ini udah lama bangetz, klo ga salah waktu aku masih kelas 3 SMA)

Sepenggal Hati yang Tersisa

“Des, mau sampai kapan sih kamu buat Panji terus menunggu seperti ini?” Dina terlihat sudah jengkel dengan sikapku yang lagi-lagi menolak Panji.

Ini memang sudah ketiga kalinya Panji menyatakan cinta tapi lagi-lagi aku tolak. Lagian salah sendiri kenapa masih keukeuh aja bilang cinta padahal dari pertama kali Panji bilang cinta juga kan aku sudah bilang, “Panji, buat aku kamu ini nggak lebih dari sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi” eh, dia masih saja bilang cinta buat yang kedua dan sekarang ketiga kalinya. Emangnya aku sendiri nggak bosan dengarnya?

“Biarin aja, biar dia bosan sendiri.” Tukasku jengkel. Oh, pasti aku jengkel malah teramat sangat jengkel sekali. Aku saja rasanya sudah bosan dengar pernyataan cinta dari dia, tapi kenapa dia nggak bosan-bosan juga?

“Karena Roma lagi? Ngapain sih kamu masih aja mikirin dia?”
Tersentak aku mendengar Dina menyinggung nama itu lagi. Aku menatap sahabatku itu dengan perasaan tidak menentu. Kenapa kamu masih harus menyinggung Roma sih? Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan Roma, aku… aku hanya takut. Aku takut kalau aku jatuh cinta sama Panji, besok-lusa juga aku yakin aku pasti bakalan patah hati. Kalau bukan aku yang patah hati berarti Panji yang akan terluka karena aku nggak bisa membalas cintanya sesuai dengan yang dia harapkan. Daripada itu terjadi lagi mending nggak usah memulai kan?

“Kenapa kamu singgung-singgung soal Roma?” Mau nggak mau aku jadi ingat lagi kejadian yang pernah terjadi lebih dari setengah tahun yang lalu. Yah, dialah yang membuat aku seperti ini. Jatuh terpuruk karena luka. Aku sampai merasa tidak bisa bangkit lagi setelah Roma melukai hatiku. “Padahal aku udah nggak mau ingat-ingat dia lagi.” airmataku jatuh merembes.

“Ma… maaf, Des, aku nggak bermaksud bikin kamu sedih.” Dina merangkulku lalu membawa aku kedalam pelukannya. Sepertinya dia menyesal karena sudah membuat aku jadi sedih. Mengingat Roma memang menyakitkan dan hanya akan membuat aku meneteskan airmata saja.

Setahun aku jatuh bangun mengejar cinta Roma. Tapi bukan cinta yang aku terima malah luka yang nggak pernah ada habis-habisnya. Luka yang dengan seenaknya dia buat sampai aku meringkih kesakitan. Menangis semalaman. Aku jadi tidak percaya lagi pada cinta apalagi cinta pada pandangan pertama. Semua itu bullshit. Aku yang satu tahun mencintai Roma saja hanya berhasil menuai luka jadi mana ada yang namanya cinta pada pandangan pertama?

Kenapa aku harus dipertemukan dengan Roma? Selalu tanya itu yang mengganggu benakku. Kalau akhirnya dialah satu-satunya orang yang ingin kulupakan seumur hidupku. Mungkin ada sesuatu yang ingin Tuhan tunjukkan padaku sehingga Dia mempertemukan aku dengan laki-laki itu, diperbolehkan mencintainya.

Memang aku tidak seharusnya menyalahkan Roma, dia hanya bagian dari sepenggal masa laluku. Bukan salahnya kenapa aku jadi trauma jatuh cinta. Ah, tak seharusnya memang aku trauma seperti ini. Tapi aku selalu merasa takut jika aku dengar ada orang yang tertarik padaku. Ingin mengenalku lebih jauh. Atau bahkan ingin mendapatkan sebongkah dari hatiku. Aku takut terluka lagi. Aku tidak mau merasakan sakit itu untuk kesekian kalinya.

Roma memang bukan orang pertama yang pernah kucintai namun tak sanggup kugapai. Aku pernah mengalami luka yang sama. Dan aku adalah orang bodoh yang bisa jatuh ke lubang yang sama untuk yang kedua kalinya bahkan sebodoh-bodohnya keledai pun tidak ingin mengalami hal seperti itu tapi aku…?

Roma memang pernah mengatakan dia belum bisa membalas cintaku karena dia belum mau pacaran. Tapi kenapa cinta yang selama ini aku suguhkan selalu mendapatkan sambutan darinya? Untuk apa dia menyambutnya jika dia tidak ingin terperosok kembali kedalam cinta yang pernah memberikan luka padanya? Lantas karena itu semua malah memberikan luka yang baru dihatiku. Baru sekali dan masih sangat basah. Terlalu sakit untuk kukenang lagi kenyataan pahit itu.

“Aku sama sekali tidak pernah merasa memberikan harapan sama kamu, mungkin ini salah persepsi kamu saja.”

Salah persepsi? Begitu menyakitkannya kata-kata Roma terdengar ditelingaku menusuk jantungku. Apa yang dia anggap salah persepsi itu? Bagaimana dia bisa menganggap aku salah persepsi kalau yang menganggap Roma juga sebenarnya mencintaiku tapi dia tidak bisa mengungkapkannya bukan cuma aku tapi teman-temanku yang lain? Shinta, Eka, Ina, Dina dan Panji bisa menjadi saksi bagaimana Roma pernah memberikan harapan palsu padaku.

Begitu tulus nampak terlihat Roma menyambut cintaku ketika itu. Membuatku terus berharap suatu hari nanti Roma akan membalas cintaku. Mungkin sebenarnya dia sudah mencintaiku hanya saja dia belum berani mengakuinya. Munafik. Tapi kenyataan yang mampir dalam hidupku hanya kata-kata pahit yang diucapkan Roma yang telah menganggap aku hanya salah persepsi.

Kenapa begitu? Apa dia terlalu sakit hati pada perempuan yang pernah meninggalkannya lantas membalaskannya padaku? Apa salahku? Aku tidak ada kaitannya ketika Roma bersama perempuan itu, kenapa dia membalas sakit itu padaku? Tapi kuanggap itu hanya salah persepsiku saja. aku tidak mau menuduh Roma sekejam itu. aku juga tidak menuntut balas dengan apa yang telah kuberikan padanya. Bukan hanya sepenggal hatiku tapi mungkin juga separuh jiwaku.

“Sudah saatnya sekarang kamu bener-bener lupain Roma dan mulailah kamu buka hati kamu buat kak Panji. Semua orang pernah terluka Deswita dan seharusnya itu jadi pembelajaran buat kamu bukan bikin kamu trauma seperti ini.”

“Kenapa kamu nggak belajar mencintai orang yang mencintai kamu, Des?”

“Aku pernah, Dina, kamu ingat kan sama Aziz? Dia yang mencintai aku, mendekati aku tapi hasilnya? Aku udah coba menerima Aziz tapi tetap aku nggak bisa, akhirnya malah aku bikin Aziz terluka, aku nggak mau kalau sampai kejadian begitu terulang lagi, aku nggak mau menyakiti Panji.”

“Kalau gitu yang harus kamu lakuin sekarang bukan cuma sekedar belajar mencintai orang yang mencintai kamu tapi kamu belajar untuk nggak melukai hati orang yang mencintai kamu.”
***
“Des, udahlah kamu lupain Roma, nggak perlu kamu ingat-ingat dia terus, nggak perlu kamu terus sedih begini, Roma emang brengsek! Cowok macam dia nggak pantes kamu tangisi. Masih ada aku, Des, aku yang bakal terus ada disamping kamu. Sebenarnya sudah lama aku cinta sama kamu, Deswita, tapi karena kamu mencintai Roma makanya aku nggak berani terus terang. Aku sayang kamu, Des.”
Tidak pernah bisa aku lupa kata-kata Panji waktu itu. Tapi aku malah merasa sedih mendengarnya. Kenapa Panji bisa mencintai aku? Orang yang begitu aku percaya dan sudah aku anggap sebagai sahabat terbaik. Dan waktu itu aku menolaknya dengan kata-kata yang pasti akan menyakitkan hati Panji.

“Panji, buat aku kamu ini nggak lebih dari sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi” kata-kata itu sama saja dengan menutup harapan untuk Panji. Tapi sampai sekarang Panji tetap nggak menyerah.
Panji memang terlalu baik. Biar aku sudah dua kali menolak dia tapi dia tetap ada buat aku. Kehadiran Panji bukan sekedar sebagai teman biasa. Dia seperti sahabat yang selalu setia dengar curhat aku. Seperti kakak yang selalu menasehati aku kalau aku sedang bimbang dan melindungi aku setiap waktu. Seperti adik dengan sikapnya yang kadang-kadang manja selalu minta di perhatikan, apalagi kalau sedang sakit manjanya setengah mati. Tapi dia juga memang seperti seorang kekasih yang setia.

Ketika aku bahagia dengan Roma, senyum Panji akan terukir menunjukkan kebahagiaan yang sama juga dia rasakan. Ketika aku sedih karena Roma, Panji lah orang pertama yang akan memberi pelajaran pada Roma agar dia jangan coba-coba membuat aku sedih lagi. Dan waktu pertama kali Panji mengungkapkan cintanya, dia bilang sudah lama mencintaiku. Tidak terbayangkan olehku bagaimana dia bisa menerima keadaanku yang terus-terusan mengejar Roma tanpa meliriknya. Padahal dia satu-satunya orang yang paling setia dan tidak pernah menyakiti hatiku.
***
Serentak aku beranjak dari tempat duduk lalu aku berlari keluar. Yang ada dalam fikiranku sekarang aku ingin mencari Panji. Aku ingin minta maaf. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Aku ingin… ah, pokoknya aku ingin bicara dengan dia.

“Kamu mau kemana?” suara Dina menghentikan langkahku tepat didepan pintu.

“Aku mau nyari Panji.”

“Deswita, gerimis.”

Sejenak aku terdiam diambang pintu memandangi hujan gerimis yang mulai membasahi bumi Serang. Biar. Biarin gerimis juga. Biar hujan gede atau hujan es sekalipun aku tetap ingin mencari Panji. Aku kembali lari menelusuri jalan perumahan kompleks Untirta ini.

Semua orang pernah terluka karena cinta. Karena luka adalah bagian dari cerita cinta. Kalau orang lain saja bisa bangkit dan menata kembali hati yang sudah terlanjur hancur berkeping, kenapa aku tidak bisa? Benar yang dikatakan Dina, luka ini bukannya membuat aku semakin terpuruk tapi seharusnya mendewasakan aku. Agar aku tidak salah lagi mengambil langkah. Mungkin aku terlanjur terluka karena Roma tapi pasti akan aku petik hikmah dibalik semua ini.

“Deswita, kamu mau kemana?” aku tersentak rasanya telingaku mendengar suara yang sudah lama aku kenal. Atau hanya perasaanku saja? mungkin telinga aku yang udah aku pakai hampir delapan belas tahun lebih ini sudah karatan makanya dia salah mengenali suara orang. Tapi aku yakin itu suara Panji. Karena penasaran aku lalu menegadah.

“Panji.”

“Hujan-hujan begini kamu mau kemana, Des?”

“Aku nyariin kamu, Panji, kenapa kamu ada disini?”

“Loh, aku baru mau kerumah kamu, ayo naik, nanti hujannya keburu gede.” Panji menyuruhku naik ke motornya.

“Nggak. Aku mau ngomong sekarang, aku nggak mau tunda lagi.”

“Ditunda cuma buat beberapa menit sampai kerumah kamu, Des, masa kita mau bicara dijalan begini?” aku menggeleng bersikeras.

“Pokoknya aku mau ngomong sekarang!” aku nggak mau tunda lagi biarpun cuma buat sedetik, aku khawatir nanti malah mulut aku keburu terkunci lagi. “Ya udah, mau bicara apa?” Panji lalu turun dari atas motornya.

“Apa… apa… apa…” Aku menggigit bibir bawah. Kenapa sih susah sekali kalimat itu meluncur dari mulutku ini? Aku bener-bener deg-degan sementara gerimis masih belum berhenti. “Apa pernyataan semalam masih berlaku?” Aah… aku menarik nafas lega, akhirnya keluar juga kata-kata itu.

“Pernyataan? Pernyataan yang mana?” Panji berfikir sambil mengerutkan dahi. Tapi aku tahu dia hanya pura-pura buat menggoda aku. Aku langsung cemberut. bikin jengkel saja aku kan serius.

“Panji. Aku serius.”

“Iya… iya… aku serius masih berlaku kok, untuk kamu berlaku seumur hidup”

“Apa boleh aku berharap?”

“Berharap? Kenapa sekedar berharap?”

“Buat aku kamu itu beda dari cowok-cowok lain karena kamu hadir setelah aku mengalami yang namanya mencintai, dicintai, menyakiti dan disakiti, aku nggak mau semua itu terulang sama kamu, Panji, aku sayang kamu makanya aku nggak mau sakitin kamu dan aku mau belajar mencintai kamu tapi kalau sekarang aku baru ngasih sepuluh persen dari hati aku nggak apa-apa?” Panji tersenyum. Senyumnya begitu tulus dan hangat. Senyum yang selalu membuat aku merasa terlindungi.

“Jangankan sepuluh persen, biar cuma satu persen sekalipun aku tetap bakal simpan disini.” Panji menunjuk dadanya sendiri. “Dan akan aku simpan dengan baik lalu aku akan mengambil sembilan puluh sembilan persen sisanya, selama ini aku selalu menunggu dan kalau sekarang aku masih harus menunggu sampai cinta itu seratus persen kamu kasih ke aku, aku rasa, aku masih sanggup.” Aku tercengang mendengarnya sampai-sampai aku merasa speechless. Yang bisa aku lakukan hanya tersenyum.

Tuhan… kenapa hati ini rasanya bahagia sekali. Tak sadar airmataku mengalir pelan membasahi pipiku. Entah mengapa aku menangis? Tapi airmata ini bukanlah airmata kesedihan karena aku belum bisa memberikan seluruh hatiku untuknya tapi airmata kebahagiaan karena janji Panji yang akan merebut sembilan puluh sembilan persen sisanya. Aku akan belajar, Panji, mulai hari ini aku akan belajar mencintai kamu. Akan aku buang semua kenangan tentang Roma dan luka itu agar di hatiku hanya ada Panji seorang.

Panji lalu merangkul bahuku dan mendendangkan lagu yang dinyanyikan Ungu.

“Tahu kah kau apa yang kau lakukan itu? Tahukah kau siksa diriku. Bertahun kunantikan jawaban dirimu. Bertahun-tahun ku menunggu. Kau sangka aku akan menyerah. Kau sangka aku akan pasrah. Dirimu tak perdulikan aku walau cinta hanya untukmu. Walau kasih hanya untukmu. Walau sayang hanya untukmu.”

Aku tertawa mendengar bait lagu itu. Dasar. Panji memang sudah gila. Cinta Panji memang cinta gila. Tapi aku bahagia melihat Panji tetap setia seperti ini. Malah hujan yang tadinya gerimis sampai tidak terasa jadi bertambah besar. Buru-buru kita kembali kerumahku dengan menaiki motor Panji. Aku dan Panji kembali tertawa ketika kami sampai dirumah membuat Dina terbengong-bengong heran melihat kami.

“Ada apa sih ini, ada apa?” Dina bertanya-tanya heran tapi aku tidak buru-buru menjawab. Aku hanya bersandar manja ke badan Panji yang tangannya langsung merangkul bahuku. Lalu tanpa sempat aku menghindar Panji mencium keningku. Aku kaget. Tapi lalu tersenyum. Begitu juga dengan Dina yang mulai mengerti dan ikut-ikutan tersenyum bahagia.
(cerpen ini pernah tergabung dalam kumpulan cerpen gilalova 2 terbitan Gong Publishing 2010 dg judul yg sama)

Cerita baru di Rumah Dunia

Selalu, setiap kali aku datang ke Rumah Dunia pasti ada cerita yang menakjubkan, amazing. Tak pernah aku salah mengatakan bahwa Rumah Dunia adalah rumah kita bersama, rumah untuk berbagai segala-galanya. Tua-muda, berbaur menjadi satu. Yang berpengalaman membagikan kisahnya pada para pemula... ah, entahlah aku tidak dapat mengatakan apa-apa lagi, aku benar-benar dibuatnya speechless, terlalu banyak kata-kata untuk menggambarkan kehangatan Rumah Dunia.

Bertemu lagi dengan penulis lain, Mas Daniel Mahendra, si kostum hitam-hitam (qo seperti sedang berduka yah), membeli bukunya berjudul Epitaph "tulisan di batu nisan", belum sempat aku baca, mendengar komentar orang yang sudah membacanya saja sudah ngeri tapi kata Mbak Tias, bukan ngeri tapi penuh misteri. Baru pegang bukunya aja aku udah tegang, apalagi kalau udah bacanya tambah deg-degan, mau dihindari malah penasaran, nggak dihindari... qo rasanya gimana gitu.... (speechless, sulit diungkapkan). Bercanda dan tertawa bersama Swiestien, my best friend, setelah sebulan lebih nggak ketemu, kangen berat.

Beli buku gilalova "segila-gilanya cinta" gila karena jatuh cinta atau jatuh pada cinta gila? besoknya aku lihat diskusi buku gilalova, disuruh sebarin selebaran di mall, malu tapi pengalaman juga sih. Gondok banget kalo selebarannya di tolak, apa salahnya diambil aja, nggak lihat juga nggak apa-apa kok, sah-sah aja, nggak bakalan dosa juga tapi lebih bagus sih kalau lihat, sok pake ditolak-tolak segala, sebel...! tapi biarlah namanya juga pengalaman. Seru... seru abis! Belajar membuat setting tempat, dan aku sudah bermimpi, akan menjadi seperti mereka dan itu bukan mimpi tapi suatu hari pasti akan menjadi kenyataan.

Aku punya idola baru, mas Endang Rukmana tapi maaf ya, mas, aku belum pernah baca novelmu tapi aku bakalan beli kok, sekarang sih lagi ngumpulin uang buat beli Balada si Roy dulu, masih belum terkumpul nih, tapi nanti kalau aku udah beli buku Balada si Roy baru ngumpulin uang lagi buat beli novelnya mas Endang Rukmana, eh, tapi aku belum tahu sih judulnya apa aja, gampang ah... bisa dicari itu sih.

Perjalananku masih panjang, cerita-cerita yang akan aku lalui masih terlalu banyak, impian-impianku baru akan dimulai menuju perjalanan nyata hidupku dan aku bersyukur pada Tuhan, ternyata aku berjodoh juga dengan Rumah Dunia, setelah sempat kufikir gagal tapi Tuhan punya jalan berbeda dan itu aku rasakan pelan-pelan dan karena aku percaya pasti Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang indah untukku yang mungkin tidak akan pernah aku duga. Tidak ada kata terlambat untuk belajar dan lebih baik memulai sekarang daripada tidak sama sekali

Thanks for all

Kamis, 17 Juni 2010

Hari ini tanpamu

Selamat Jalan Kekasih
Ku harap suatu hari nanti
Kita kan bertemu kembali
Disana, di Alam Surgawi
Di tempat manusia-manusia kan hidup abadi
Hari ini tanpamu
Kukan tetap mencoba menggapai asa dan mimpi
Hari ini tanpamu
Ku kan tetap mencoba tersenyum sehangat mentari
Walau berat hati ini melepasmu
Walau hampa hidup ini tiada dirimu
Namun cinta yang abadi kan tetap memahkotai hati
Senandung rindu kan selalu mengalun dalam relung sanubari

Cinta tak pernah salah

Keisha memejamkan mata sejenak sambil menghela nafas berat ketika satu kalimat yang sesungguhnya tak ingin diucapkan hari ini benar-benar harus diucapkannya. Andai dia punya kuasa akan waktu, Keisha tak ingin hari ini hadir dalam hidupnya. Hari yang tak sanggup dilaluinya. Hari yang membuatnya harus menelan pil pahit kehidupan. Sebenarnya pil pahit itu telah dia telan sejak setahun yang lalu namun hari ini telah menjadi puncak dari segala-galanya.

Tapi dia bukanlah Tuhan, dia hanya manusia biasa. Dia tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan waktu atau mengalihkan hari ini menjadi hari milik orang lain. Dan Tuhan pulalah yang telah mengatur takdir cintanya. Cinta yang tidak akan mungkin sanggup untuk diraihnya.

“Kita berpisah sampai disini?”

“Iya, kita harus berpisah, perjalanan ini sudah tidak bisa kita lanjutkan lagi.” Aldy turut menghela nafas panjang.

Kembali Keisha memejamkan matanya, kali ini dilakukannya untuk menahan bulir-bulir Kristal bening yang hampir jatuh meleleh membasahi pipinya. Keisha tidak ingin menangis didepan Aldy, dia ingin nampak tegar didepan laki-laki yang dicintainya menjelang detik-detik perpisahannya.

“Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya, salahkah cinta yang hadir dihatiku ini?” Aldy terdiam. Ditatapnya Keisha dalam-dalam. Wajahnya begitu muram, semuram langit siang ini yang berhasil melenyapkan matahari yang beberapa saat tadi masih bertahta dengan angkuhnya menyinari bumi dengan sinarnya yang terik.

Cintakah gadis ini padanya? Dengan kesungguhan hatinya? Bukan karena harta dan tahta yang dimilikinya? Memang selama ini Aldy pun dapat merasakan cinta itu, kehadirannya begitu hangat menyelimuti hatinya, begitu murni. Tapi dia selalu berusaha menghindarinya dengan menganggap itu hanya sebuah kepalsuan, yang diinginkan Keisha bukanlah dirinya tapi kesuksesan yang telah dimilikinya. Perempuan mana yang mau mencintai laki-laki buruk rupa sepertinya kalau bukan karena harta yang dimilikinya, apalagi laki-laki yang dicintai Keisha bukan pria single tapi laki-laki yang telah beristri dan memiliki dua orang anak.

“Cinta memang tidak pernah salah, Kei, tapi kamu telah salah memilih orang yang kamu cintai mungkin karena cinta itu buta. Sekarang aku yang bertanya, apa yang kamu inginkan dari laki-laki buruk rupa sepertiku? Aku juga bukan pria single, aku sudah memiliki istri dan dua orang anak tapi kenapa kamu masih juga menyimpan cinta itu untukku?” Keisha menghela nafas panjang.

Lagi-lagi pertanyaan itu yang mampir ditelinganya. “Apa yang kamu harapkan dari laki-laki beristri itu? harta?” Aldy memang bukan pria tampan, tapi dia seorang pengusaha sukses. Perempuan mana yang tidak akan tergiur dengan kesuksesan yang dimilikinya. Dari Aldy yang hanya seorang penjual gorengan dan semua orang memandangnya sebelah mata kini dia telah bermetamorfosa menjadi seorang pengusaha kulit yang telah memiliki sebuah pabrik kulit yang – memproduksi barang jadi berbahan dasar kulit sapi – terkenal hingga keluar negeri.

Tapi meski Aldy seorang pengusaha kaya yang terbilang masih muda tapi yang diinginkan Keisha bukan harta dan tahta melainkan kemulian hati yang sulit dia temukan pada pria manapun. Aldy bukan laki-laki munafik, dia terbuka, jujur dan apa adanya, hal itulah yang membuat Keisha jatuh hati. Memang salah, karena Aldy sudah beristri dan memiliki dua orang anak, tapi Keisha tidak pernah dapat mendustai hatinya. Meski logikanya sering berontak tapi perasaan itu terus mengikatnya dengan kuat. Menyelimutinya dengan hangat.

“Didunia ini masih banyak laki-laki yang lebih pantas kamu cintai, Kei, yang juga dapat membalas cintamu dengan tulus. Aku yakin, orang itu akan menjadi orang yang paling beruntung karena dapat memilikmu seutuhnya. Kalau aku katakan aku tidak ingin berarti aku bohong tapi yang lebih tidak ingin kulakukan adalah menduakan kalian, karena jika kulakukan semua itu sama saja aku telah menyakiti perasaan ibuku.”

“Terima kasih, Mas, Mas sudah mengingatkan aku akan perasaan ibu dan membesarkan hatiku, aku juga tidak ingin menyakiti hati istri Mas Aldy, karena dia perempuan yang sangat baik, dia sudah aku anggap seperti kakakku sendiri, aku juga sangat menyayangi ibu, Ina dan Fani. Mereka sudah aku anggap seperti keluargaku. Satu hal yang ingin aku katakan, bukan Mas Aldy yang tidak pantas untukku tapi aku yang tidak pantas untuk Mas, karena aku hanya perempuan bodoh yang telah lancang memasuki kehidupan orang lain dan mengharapkan cinta yang tak seharusnya aku harapkan. Dari awal aku sudah tahu Mas Aldy laki-laki beristri seharusnya dari sejak itu juga aku melenyapkan cinta itu tapi aku malah bersikap kurang ajar dengan membiarkan perasaan itu tumbuh dihatiku. Aku harap Mas mau memaafkan aku.”

“Jangan berpendapat seperti itu, Kei, kamu tidak salah, takdir cinta seperti takdir kehidupan ataupun kematian, kita tidak pernah tahu kapan dia akan datang? Pada siapa cinta itu akan menyapa? Dan dihati mana dia akan bersemayam. Cinta datang dan pergi sesuka hatinya, jadi jangan pernah kamu salahkan dirimu. Ini hanya masalah waktu, cepat atau lambat kamu juga akan menghilangkan perasaan dan mengalihkannya pada laki-laki lain.”

Keisha berusaha mengukir senyum dibibirnya, meski sulit tapi dia tetap ingin melakukannya. Karena dia ingin memberikan kenangan sebuah senyum yang indah sebelum dia benar-benar meninggalkan pria ini, dia tidak ingin wajah terakhir yang dilihat Aldy hanya wajah yang penuh dengan uraian airmata. Perpisahan ini bukan akhir dari perjalanan hidupnya dan dia tidak ingin penyesalan memenuhi ruang hatinya.
***
“Kei, kamu sudah lebih baik?” Ibu Keisha menatap putri bungsunya yang nampak sudah lebih bisa menghadapi kenyataan yang mampir dalam hidupnya. Kemarin ini Keisha memang masih terlihat murung, semangat hidupnya seakan telah hilang seiring dengan perpisahannya dengan Aldy tapi sekarang Keisha terlihat sudah bisa bangkit lagi.

“Sudah, ma, mama tenang saja. Keisha akan menjadi perempuan yang tegar.” Ibu Keisha tersenyum. Akhirnya setelah seminggu senyum itu lenyap dari bibir putrinya, pagi ini beliau dapat melihatnya sekali lagi.

Ibu Keisha memang tidak pernah melarang Keisha berhubungan dengan Aldy, karena sepanjang pantauannya hubungan yang terjalin diantara mereka masih sebatas karyawan dengan atasan, walaupun beliau tahu ada cinta yang mengendap dihati Keisha. Tapi ibu Keisha tidak pernah melarang cinta itu, beliau hanya memberikan gambaran kenyataan yang akan dihadapinya jika dia tetap menumbuh-kembangkan cintanya.

Dan Keisha, putrinya, telah memilih apa yang seharusnya dia pilih. Ibu Keisha merasa lega meski beliau harus melihat putrinya menderita karena cinta. Karena beliau yakin penderitaan itu tidak akan berkepanjangan dan suatu hari nanti akan ada cinta baru yang kembali menyapa putrinya. Karena bunga yang mengembang paling akhir adalah bunga yang paling indah.

Minggu, 13 Juni 2010

Kepak Sayap Sang Dewi

2005
Matahari yang hangat menyapaku di pagi yang cerah ini. Karena hari ini guru-guru sedang mengadakan rapat, jadi sekolah diliburkan. Benar-benar hari yang menyenangkan, bisa bebas dirumah bersantai-santai. Hari libur biasanya aku paling malas mandi pagi. Kulihat mama juga lagi sibuk membujuk adikku agar mau bersekolah.

Lagi-lagi dia ngambek tidak mau pergi ke sekolah lantaran papa belum pulang dari luar kota. Setiap hari memang selalu papa yang mengantarkan kami ke sekolah tapi itukan kalau papa sedang tidak dinas diluar kota. Dan adikku yang manja itu sulit sekali diberi pengertian, dia hanya ingin pergi ke sekolah dengan papa. Kalau papa tidak ada, dia tidak mau sekolah.

“Kak May juga nggak sekolah.” Rengeknya sambil memperhatikan aku yang masih mengenakan piyama.

“Kak May kan lagi libur, sayang…. jadi kak May nggak pergi ke sekolah.”

“Sekarang kan bukan tanggal merah masa kak May libur? Kalau gitu adek juga pengen libur.”

Dia masih ngotot dengan keinginannya. Kulihat mama juga sudah bingung memberi pengertian.
Terserahlah, dia mau sekolah atau tidak, itu bukan urusanku. Aku memang tidak pernah memperdulikan adikku mau melakukan apa. Mengasuhnya juga aku sebenarnya tidak mau kalau bukan karena terpaksa. Dengan ancaman aku tidak akan diberi uang saku kalau tidak mau mengasuhnya membuatku benar-benar ‘terpaksa’ mengasuhnya.

Bosan memperhatikan mama yang sedang membujuk adikku, aku lalu pergi ke dapur membuat secangkir cappuccino. Santai di depan sambil menikmati secangkir cappuccino pasti sedap sekali. Terbayang di benakku kehangatan cappuccino yang akan mengaliri tenggorokanku. Sambil bersantai membaca majalah, wah…wah… hari yang damai.

Selesai membuat cappuccino, aku lalu membawa cappuccino itu keluar sambil menenteng sebuah majalah. Baru saja aku duduk di kursi plastik yang memang sudah disediakan di teras rumah, Loper Koran langganan memberikan sebuah tabloid Nova padaku. Hem, baru kuingat ternyata sekarang sudah hari kamis. Tabloid kesayangan mama sudah terbit. Aku lalu masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan loper Koran dan tabloid kesayangan mama yang sudah ada di tanganku. Mama memberikan beberapa lembar uang seribuan padaku yang langsung kuberikan pada loper Koran yang masih menunggu diluar.

“Simpan aja dulu di meja, May.” Ujar mama yang sudah bersiap akan membawa adikku ke sekolahnya. “Mama mau antar adikmu ke sekolah.” Akhirnya dia mau sekolah juga.

Mama lalu pergi mengantarkan Dino ke sekolah yang berjarak sekitar lima kilometer dari rumah. Aku menyimpan tabloid itu diatas meja. Tapi kemudian aku mengambilnya kembali. Penasaran juga ingin melihat seperti apa sih isinya? Boleh dong aku sekali-kali baca majalah ibu-ibu? Baca majalah remaja melulu bosan juga. Kubawa tabloid itu kembali keluar.
Sambil duduk di teras, aku lalu melembari tabloid kesayangan mama itu. Isinya buatku membosankan, habis artikelnya tentang ibu-ibu semua.

Iyalah, emang itu buat ibu-ibu kok, aku baca juga percuma tetap saja aku tertarik. Tapi ketika aku melembari halaman berikutnya aku membaca berita tentang Rumah Dunia yang didirikan oleh seorang penulis ternama Gola Gong. Aku penasaran, dimana memang Rumah Dunia itu? Kukira tempatnya pasti berada di Jakarta dan sekitarnya. Tapi saat aku baca alamatnya ternyata di Serang, aku makin terkejut. Memangnya ada tempat seperti ini di Serang? Karena penasaran, aku baca juga artikel itu.
***
“Pa, aku mau ke Serang ya? Boleh kan.” pintaku pada papa yang malam itu sedang bersantai di ruang tengah.

Sudah lama aku ingin menyampaikan keinginanku ini pada papa. Tapi aku takut papa marah kalau aku pergi ke Serang. Aku juga harus menjaga mood papa dulu agar papa tidak langsung marah saat aku mengutarakan keinginanku.

“Pergi ke Serang, ngapain?”

“May, pengen ke Rumah Dunia, Pa.”

“Rumah Dunia? Apa itu?”

Aku lalu menceritakan apa itu Rumah Dunia dan kenapa aku sampai tertarik ingin mengunjunginya.

Sudah lama memang aku punya hobi menulis. Menulis puisi dan cerpen. Kata teman-temanku sih puisi dan cerpen karyaku bagus. Mereka, yang sudah membaca cerpen-cerpenku, memujiku. Aku jadi ingin menjadi penulis cerita fiksi. Dan saat aku membaca artikel Rumah Dunia, aku jadi tertarik. Apalagi karena didirikan oleh seorang penulis ternama.

“Buat apa sih ke Rumah Dunia?”

“May penasaran, Pa, May pengen tahu Rumah Dunia itu apa? Kali aja May bisa belajar menulis disana?”

“Kamu mau pergi sama siapa? Papa kan nggak bisa mengantar kamu minggu-minggu ini, papa sibuk.”

What’s pergi sama papa? Ya nggak dong. Masa sih mau pergi diantar papa? Malu-maluin aja. Aku kan udah gede.

“Pergi sendiri, pa.”

“Pergi sendiri? Jangan! Kamu kan nggak pernah keluar kota sendirian, ajak temanmu, minimal dua orang. Kalau kamu bawa temanmu, baru papa kasih izin.”

Aku memberengut kecewa. Uuh… kenapa sih papa nggak kasih izin aku pergi sendiri? Aku kan udah gede. Udah kelas dua SMP. Tapi Ok deh kalau aku bisa bawa teman berarti papa kasih izin. Gampang sih kalau itu. Lagian cuma dua orang kan?
***
“Rumah Dunia? Apa itu?” pertanyaan yang sama dilontarkan teman-temanku ketika aku mengajak mereka berkunjung kerumah dunia.

Dengan semangat aku lalu menceritakan seperti apa Rumah Dunia seolah aku sudah berkunjung kesana padahal aku baru tahu ceritanya di Koran. Tapi berkali-kali aku harus menelan kekecewaan karena mereka ternyata tidak berminat dengan tulis-menulis. Bahkan yang paling parah mereka tidak tahu Gola Gong siapa? Aku memang biasanya baca novel remaja dan belum pernah juga baca novel Gola Gong tapi aku tahu siapa Gola Gong, jauh sebelum aku baca artikelnya di tabloid Nova.

“Males, ah! ngapain lagi ke tempat begitu, kalau kamu ngajak aku jalan-jalan ke blok M baru aku mau.”

“Ngapain ke Blok M kalau nggak punya duit? Ntar ngiler lagi. Bisa-bisa Blok M banjir sama iler kamu.”

“Yah… nggak belanja juga cuci mata atuh.”

Iih… cuci mata lagi. Buat apa sih cuci mata pake ke Blok M segala? Cuci mata sih di kamar mandi aja, nggak usah ke Blok M!

Tapi meski sulit mengajak teman-temanku, aku tetap tidak menyerah sampai akhirnya Vera dan Desi berhasil kubujuk untuk mau ikut ke Serang bersamaku. Sebenarnya sambil memaksa juga sih sampai aku harus rela mengeluarkan uang untuk mengongkosi kedua temanku itu. Kebetulan kakak Desi tinggal di Serang jadi dia tahu lebih banyak daerah Serang.

Dengan berbekal izin dari papa dan uang saku, aku berangkat ke Serang bersama kedua temanku itu. Desi bilang sih paling enak kalau pergi ke Serang naik kereta, ongkosnya murah, selain itu naik kereta lebih cepat daripada naik bis. Sebenarnya ini pertama kalinya buatku naik kereta, agak takut juga tapi biarlah anggap saja sebagai pengalaman. Desi juga bilang kalau naik kereta jangan seperti orang kampung yang belum pernah naik kereta nanti jadi sasaran kejahatan. Aku dan Vera pun berpura-pura seolah kita terbiasa naik kereta.
***
Rumah Dunia, Ciloang
Dari stasiun Serang, kami naik angkutan umum menuju Ciloang. Sebenarnya Desi hanya tahu Ciloang saja, dia tidak tahu Rumah Dunia berada dimana. Tapi aku tetap nekat sampai bilang sama papa kalau Desi tuh tahu Rumah Dunia dimana, jadi papa nggak usah khawatir. Kalau tidak begitu papa tidak akan memberi izin. Kalau nggak tahu tanya aja sama orang. Pasti nggak bakalan nyasar, kalau sampai nyasar juga tinggal balik lagi pulang kerumah, susah amat!

“Bang, Rumah Dunia dimana ya?” tanyaku pada tukang ojeg. Di angkutan umum tadi kita hanya ditunjukkan daerah Ciloangnya saja. Supir angkotnya juga tidak tahu dimana Rumah Dunia.

“Oh, kalau Rumah Dunia mah masuk lagi kedalem neng, jauh… mending naik ojeg, lima ribu aja.” Jawab si tukang ojeg. Tapi aku fikir, kalau kita naik ojeg pasti harus seorang satu ojeg. Pasti mahal lagi ongkosnya. Karena disana juga ada tukang becak, aku lalu memilih naik becak. Tumpung tiga. Mana biggest semua.

Aku tidak mengira ternyata Rumah Dunia jauh ke dalam lagi dari tempat pemberhentian angkutan umum. Mana jalannya aduhai jelek sekali. Kalau hujan pasti becek. Aku jadi tidak tega pada abang becak, pasti berat bawa kami bertiga sampai ketempat tujuan.

Dari rumah aku sudah membayangkan kira-kira apa yang akan aku lakukan nantinya. Menurut tabloid Nova, kalau kita datang kerumah dunia kemungkinan bisa bertemu dengan Gola Gong. Aih, aku jadi tidak sabar ingin bertemu dengan Gola Gong. Sebenarnya aku juga tidak tahu novel-novel karya Gola Gong itu seperti apa soalnya aku belum pernah membacanya. Tapi sebelum berangkat ke Serang aku bela-belain beli buku, kumpulan cerpen, karya Gola Gong dan Biru Laut yang judulnya “Subuh itu Biru, Chika!” lumayan kan bukunya bisa ditanda-tangani oleh Gola Gong.

Tapi saat aku tiba, aku sempat terkejut. Didepan pintu masuk ada bebegig sawah yang bertugas sebagai satpam pintu masuk. Sontak aku tertawa terbahak-bahak. Lucu sekali.
Aku bertemu dengan beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai relawan yang mengajar di Rumah Dunia. Kami mengobrol sebentar dengan para relawan itu, menanyakan tentang apa sih sebenarnya Rumah Dunia itu. Lalu aku bertanya,

“Gola Gong-nya ada nggak?”

“Oh, kebetulan mas Gong ada. Mau ketemu?” Aku mengangguk. “Nah, itu dia.” Aku menoleh ke belakang.

Deg. Jantungku serasa berhenti saat melihat pria berambut gondrong yang berjalan kearah kami. Jadi ini sang penulis terkenal itu? penampilannya biasa dan bisa dibilang sederhana. Aku fikir penulis terkenal itu seperti artis-artis yang sering muncul di televisi berpenampilan flamboyan. Tapi aku pun teringat cerita seorang temanku yang pernah mengatakan “Penulis itu tidak seperti artis yang tampil komersil, biasanya mereka justru cuek.” Benar juga yah…

Aku lalu diajak mengobrol di depan perpustakaan Rumah Dunia. Aku benar-benar gugup saat berhadapan langsung dengan seorang penulis terkenal. Ya Tuhan… tiba-tiba saja semua pertanyaan yang sudah disusun di kepalaku langsung bubar entah kemana? Mana kedua temanku tidak mau menemani aku lagi, mereka lagi asik melihat buku-buku di perpustakaan. Kebetulan saat aku datang, ada seorang anak laki-laki seumurku yang juga datang berkunjung kesana. Aku lalu mempersilahkan dia duluan yang bertanya.

Setelah anak itu selesai bertanya, mas Gong lalu mempersilahkan aku untuk bertanya. Tapi ya Tuhan… aku gugup setengah mati. Aku bingung mau bertanya apa. Habis kepalaku benar-benar sudah kosong, pada lari kemana sih pertanyaan yang sudah aku susun sebanyak mungkin itu? kok nggak bersisa satupun. Aku malah seperti sedang bertemu dengan cowok yang diam-diam aku sukai saja. Ya Tuhan… aku malu!

“Neng ini memangnya darimana?”

“Dari Rangkasbitung.”

“Oh, dari Rangkasbitung, kesini naik apa?”

“Naik kereta.”

“Naik kereta? Turun di stasiun yah?”

“Iya.” Iyalah dimana lagi? Masa di terminal? Mas Gong ini gimana sih?

“Kalau naik kereta mah turun aja di depan, kereta lewat depan kan?” Aku mengangguk. Memang sebelum ke stasiun, jalur kereta api melewati Ciloang dulu.

“Turunnya dimana?” aku malah bertanya bingung.

“Bilang aja sama masinisnya suruh berhenti kereta terus loncat aja.”
Mataku membelalak.

Nggak salah mas Gong bilang begitu? Aku dan teman-temanku kan perempuan masa kami disuruh lompat dari atas kereta sih? Yang benar saja. Tapi kemudian kulihat mas Gong hanya tersenyum.
***
Karena terlalu nervous, aku jadi bertanya seadanya saja. Malah yang rencananya aku ingin memperlihatkan kumpulan cerpenku jadi batal. Aku bingung bagaimana caranya memberikan kumpulan cerpen itu pada mas Gong. Aku ingin penulis seperti mas Gong menilainya, agar aku tahu apa aku punya potensi menjadi penulis? Aku tidak mau mengingat-ingat peristiwa memalukan seperti ini lagi.

Akhirnya kami pulang usai melihat-lihat lagi Rumah Dunia. Kami harus mengejar kereta yang berangkat jam tiga sore. Aku merasa senang sudah bisa bertemu dengan seorang penulis terkenal membuatku semakin ingin menjadi seorang penulis. Aku ingin belajar disana. Di kelas menulis yang diselenggarakan setiap hari minggu. Aku ingin bisa jadi penulis.

Agak kecewa juga sih karena tujuan utamaku tidak tercapai tapi aku tetap senang karena sudah dapat tanda-tangan sang penulis. Iih… asik!
***
“Gimana Rumah Dunianya, May?” Tanya papa saat kami sekeluarga mengobrol di ruang tengah. Kegiatan yang sering kami lakukan hampir setiap malam. Mengobrol sambil menonton. Biasanya mama akan mengecek PR aku dan Dino, apa sudah dikerjakan atau belum sambil menanyakan apa saja yang sudah aku dan Dino pelajari di sekolah.

“Senang, pa.”

“Tempatnya bagus?”

Aku lalu menceritakan halaman rumah mas Gong yang dijadikan tempat untuk belajar. Menurutku tempatnya asik. Seru sekali bisa belajar di alam terbuka. Nggak seperti belajar di sekolah, membosankan. Habis pola belajarnya monoton bikin tambah bosan saja.

“Pa, May mau belajar menulis disana ya? Ada kelas menulis setiap hari minggu.”

“Belajar disana, buat apa, May?”

“May pengen jadi penulis, pa?”

“Penulis? Cita-cita macam apa itu? papa nggak akan pernah izinin kamu jadi penulis!” bentak papa keras. Sontak aku terkejut melihat papa yang tiba-tiba marah setelah aku mengutarakan keinginanku jadi penulis. “Kamu harus tahu, jadi penulis itu nggak ada gunanya, nggak menghasilkan apa-apa! Kalau mau punya cita-cita itu yang bener, bukannya jadi penulis.”

Aku tersinggung sekali mendengar ucapan papa. Kenapa papa berfikir seperti itu? jadi penulis itu bukannya nggak ada gunanya. Bukannya nggak menghasilkan apa-apa. Jadi penulis itu malah punya wawasan lebih luas dari orang-orang biasa karena jadi penulis yang baik itu harus rajin membaca. Harus tahu berita paling up to date. Memangnya jadi penulis bukan cita-cita yang benar? Apa salahnya sih jadi penulis?

Tapi papa nggak pernah bisa dibantah. Jika papa sudah berkata seperti itu, maka selamanya tidak akan pernah bisa berubah. Aku menangis mendengar penolakan papa yang tegas dan menyakitkan hatiku itu. Kalau memang papa melarang kenapa harus berkata seperti itu? langsung saja sih papa bilang “tidak boleh” kenapa papa harus menyakiti hatiku dengan mengatakan menjadi penulis itu tidak berguna, tidak menghasilkan apa-apa.
***
Aku tetap bersikeras ingin menjadi penulis dan papa tetap pada pendiriannya melarang aku jadi penulis. Aku sedih sekali. Kenapa papa tidak bisa mengerti aku? Tidak bisa memahami keinginan anak sulungnya? Pa, aku punya cita-cita. Banyak yang bilang aku punya potensi, kenapa papa malah melarang aku?

Untuk menghilangkan kesedihanku, aku jadi sering berlama-lama mengurung diri di kamar sambil bermain komputer. Tentu saja bukan sekedar bermain. Aku menuangkan segala unek-unekku kedalam komputer. Dari menulis diary, cerpen dan puisi. Tapi karena komputer dirumah cuma ada satu, aku terpaksa harus berebut dengan Dino. Aku benar-benar kesal karena Dino memonopoli komputer sampai berjam-jam cuma buat main game. Masih mending dipakai untuk belajar, aku mau saja berbagi tapi ini buat main game. Kenapa nggak pakai laptop papa aja sih kalau cuma mau main game. Setiap kali aku protes pasti papa ataupun mama akan membela Dino. Aku jadi memusuhi adik semata wayangku itu mati-matian.

Aku kecewa setengah mati sampai aku tidak mau bicara dengan papa berhari-hari. Aku tidak mau memaafkan kata-kata papa. Terpaksa aku harus pergi ke rental kalau aku mau membuat cerpen. Meski belum pernah dimuat tapi aku tetap terus bersemangat. Sekalipun harus mengencangkan ikat pinggang tapi keinginanku tidak pernah padam. Sampai akhirnya akupun menyerah pada kenyataan, lama-kelamaan kalau aku terus mengetik di tempat rental, aku tekor juga. Ditambah lagi kata-kata yang melemahkan keinginanku menjadi penulis bukan keluar dari mulut papa saja tapi dari beberapa temanku yang – entah mungkin mereka sirik pada bakatku – menyepelekan aku.

“Maya… Maya… kamu mimpi mau jadi penulis? Ngaca dulu dong, May, kamu tuh asalnya darimana? Cuma punya ortu guru aja gayanya pengen jadi penulis, jangan mimpi terlalu tinggi, May, nanti jatuhnya bisa sakit.”

Tidak akan pernah aku lupakan kata-kata Mariana ketika dia mendengar aku ingin jadi penulis. Sakit sekali hatiku mendengar kata-kata itu dari Mariana, sepupuku sendiri. Aku tidak tahu niat hati Mariana mengucapkan kata-kata itu untuk menghinaku atau mengingatkan aku agar jangan terlalu banyak bermimpi. Tapi mimpi ini bukan sekedar penghias tidur belaka, mimpi ini sudah mendarah-daging dalam tubuhku. Aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku jadi ingat semangat Agnes Monica, yang tertawa belakangan adalah pemenangnya. Gol A Gong saja berasal dari keluarga berlatar belakang pendidikan.

Meski akhirnya semangat itupun tiba-tiba berpendar dari hatiku. Mungkin karena aku telah terlalu bosan dengan keadaan yang belum juga berubah. Papa tetap pada pendiriannya, Dino yang terus-terusan menggangguku dan Mariana-Mariana lain yang menganggap aku tidak akan mampu jadi penulis. Aku pun terpaksa mengubur keinginanku menjadi penulis dan berbaikan dengan papa dan Dino. Aku memang ingin menjadi penulis tapi untuk terus-terusan menyapa papa dan adikku tetap saja rasanya tidak enak.
***
January, 2010
Inikah yang namanya jodoh? Sejak 2009, aku memang sudah kuliah di sebuah kampus komputer di Serang. Sebenarnya aku sudah tidak ingat lagi dengan Rumah Dunia dan cita-citaku. Sudah lama aku tidak pernah menulis lagi. Sejak aku mengubur cita-citaku, aku jadi lebih fokus pada sekolah dan sekarang kuliah. Tapi temanku Mia mengajakku ke Rumah Dunia.
Di siang bolong ketika matahari sudah berada diatas kepala, Mia tiba-tiba meneleponku saat aku sedang berada di mall Ramayana Serang. Dia menceritakan tentang Rumah Dunia, aku tidak terlalu mengerti apa maksud dari pembicaraannya karena dia memang tidak terlalu jelas menceritakan ada apa di Rumah Dunia apalagi suara mall yang bising semakin membuat aku sulit memperhatikan pembicaraannya lebih seksama hanya saja di telepon dia menyuruhku datang ke acara technical meeting di Rumah Dunia dengan membawa cerpen, berita, puisi dan pendapat tentang Rumah Dunia. Tapi aku juga tidak tahu technical meeting untuk apa?
Kalau puisi dan cerpen mungkin aku punya, masih disimpan dalam flash disk. Tapi untuk berita? Seperti apa sih berita itu? bagaimana cara menulis berita? Aku benar-benar tidak tahu. Tadinya aku ingin membatalkan ikut technical meeting apalagi aku mendapat berita temanku di Rangkasbitung kecelakaan jadi aku ingin pulang untuk menjenguknya. Tapi Rini tetap memaksaku.

“Ikut aja sih, May, kamu pasti seneng, kalau soal tugas yang harus dibawa katanya bisa menyusul.” Aku jadi penasaran juga lalu aku pun ikut ke Rumah Dunia.

Kangen juga aku ke Rumah Dunia. Walaupun baru sekali aku datang kesana tapi entah mengapa aku merasa sudah lama tidak pulang ke Rumah. Aku lalu menceritakan pada Mia situasi di Rumah Dunia saat aku kesana tahun 2005 lalu yang masih melekat erat di ingatanku.

Aku lalu mengikuti technical meeting kelas menulis. Sempat aku terpana melihat perbedaan yang besar sekali dari Rumah Dunia yang dulu. Aku jadi merasa asing sekali berada disana, seperti belum pernah kesana sama sekali. Tapi saat melihat perpustakaan dan panggung yang ada disana, aku terkenang kembali kenangan pada tahun 2005.

Aku lalu memutuskan untuk mengikuti kelas menulis sampai membuat berita dadakan dalam semalam. Dari membaca di berbagai Koran tentang perkembangan berita yang ingin aku tuangkan kedalam tulisan lalu aku jadikan sebuah berita yang asli kubuat sendiri. Aku juga tidak terlalu berharap berita itu dinilai bagus karena aku membuatnya dadakan, aku malah ingin cerpenku yang dipuji. Lucunya, malah berita itu yang dipuji oleh mas Gong. Katanya feature-nya sudah bagus. Malah cerpenku yang masih kurang. Loh kok?

Aku juga tidak langsung bilang pada papa soal aku masuk kelas menulis. Biarlah papa tahunya nanti saja kalau aku sudah agak lama belajar disana baru aku beritahu. Lagi pula aku kan sekarang tinggal nge-kost di Serang jadi aku nggak perlu pulang-pergi Serang-Rangkasbitung. Paling-paling hari minggu aku jadi nggak bisa pulang. Mama pasti mencari aku dan penasaran kenapa aku tidak pulang yang biasanya pulang tiap sabtu sore.

Dan benar saja setelah minggu ketiga aku tidak juga pulang, mama merasa penasaran, kenapa aku tidak mau pulang? mungkin mama berfikir, kok tumben aku betah berakhir pekan di tempat kost. Aku lalu memberitahukan mengapa aku tidak mau pulang. Aku juga meminta papa membuka website rumahdunia.net. Kebetulan puisiku dimuat disana.

Papa tersenyum setelah melihat puisi buatanku dimuat di rumahdunia.net, tertera nama penaku Sang Dewi disana yang sudah dikenal papa. Dan sepertinya kali ini kegigihanku berbuah hasil yang baik.

“Kamu pantang menyerah ya, May, ya inilah kelebihan anak papa yang paling papa banggakan, papa sudah lama tahu kamu ikut kelas menulis di Rumah Dunia, karena kamu jarang pulang, mama jadi khawatir lalu papa tanya pada temanmu satu kost dan ibu kost ternyata kamu ikut kelas menulis setiap hari minggu makanya jarang pulang, kalau sudah begitu papa mau bicara apa lagi? Kamu pemenangnya, sayang…..”

Ya Tuhan… ini hadiah besar untukku! Aku merasa sangat terharu. Dengan papa mengizinkan aku mengejar cita-citaku saja, aku sudah sangat bersyukur dan berterima-kasih. Tapi papa juga memberikan aku hadiah untuk sebuah puisi yang dimuat di website Rumah Dunia. Dino dan mama memandangiku sambil tersenyum bangga. Aku merasa mataku jadi basah. Aku kelilipan apa sih, kenapa airmataku terus mengalir? Papa lalu memelukku penuh haru sambil berkata,

“Papa akan mendukung apapun yang kamu ingin lakukan, asal itu semua baik untukmu. Papa nggak akan melarang kamu lagi. Tidak ada salahnya kok punya cita-cita jadi penulis.” Aku merasa bahagia mendengarnya.

Papa terima kasih… aku sayang papa!

Aku kembali memeluk papa dan kali ini mama juga Dino ikut-ikutan memeluk kami.

“Kak Maya, maaf ya selama ini Dino selalu bikin kak Maya jengkel tapi kak Maya, kakak yang paling baik kok.”

“Kak Maya juga minta maaf karena sering memusuhi Dino.”

Tapi perjalananku masih panjang. Aku tidak akan berbangga diri hanya sebatas ini saja hingga saatnya tiba aku bisa menjadi orang yang lebih membanggakan keluarga.
(30% dari cerita ini adalah asli kisah gue, gue emang pengen banget ngegambarin awal2 masuk rumah dunia, dulu nama pena gue Sang Dewi, tapi karena kakak gue protes karena ngerasa dia yg bikin nama buat gue jadi gue balik ke nama asli gue sendiri)

Berbagi Cerita dengan Rumah Dunia

Hari ini aku kembali datang ke Rumah Dunia untuk mengikuti kelas menulis "be a writer", kusebut Rumah Dunia (RD) sebagai rumah tempat siapapun bisa berteduh, berbagi cerita, berbagi tawa, berbagi canda, berbagi ilmu, berbagi pengalaman, terlalu banyak sebutan untuk Rumah Dunia tapi yang pasti RD adalah rumah kita bersama. Entahlah, mengapa aku bisa sampai betah berada disana? singgah di RD seolah kita telah melihat dunia tulis-menulis lewat kacamata penulis-penulis yang telah atau mungkin akan menjadi penulis besar.

Aku fikir, aku tidak akan lagi bisa datang kesana setelah kunjunganku pada tahun 2005 lalu. Keinginanku, aku ingin menjadi salah satu diantara mereka, menjadi seorang penulis yang bisa menerbitkan novel, membuat puisi atau sekedar corat-coret membuat cerpen.

Kutahu RD dari Tabloid Nova yang memuat artikel tentang seorang penulis bernama Gol A Gong, aku sempat terkejut, seorang penulis besar tinggal di Kota Serang? tanda-tanya besar itu memenuhi ruang fikiranku. biasanya orang-orang besar itu ya tinggal di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya tapi penulis besar satu ini tinggal di kota yang sedang berkembang, yang sebelas tahun ini baru menjadi ibukota provinsi.

Setelah membaca artikel itu, aku langsung berfikir ingin kesana, kebetulan seorang dosenku pak Iman tahu tentang RD dan pernah belajar disana, aku lalu bertanya-tanya tentang RD padanya, sedikit wawancara setidaknya akan membuatku bisa lebih tahu lagi tentang RD. Akhirnya dengan modal nekat aku datang kesana bersama kedua sahabatku Verawati dan Desi Sulistiawati.

Dari Rangkasbitung aku berangkat dengan Vera dan bertemu dengan Desi di Serang, kebetulan dia sudah lama tinggal di Serang dan tahu seluk-beluk kota Serang. Aku lalu memberikan alamatnya dan Desi tahu alamat itu meski dia sendiri belum hafal persis lokasi RD. Ketika tiba disana, mataku disuguhi pemandangan yang menyejukkan dengan halaman yang dihiasi beberapa pohon nan rindang, panggung dan perpustakaan. Suasana kekeluargaan terasa kental, mereka menyambut kedatangan kami bersahabat lalu aku bertemu dengan Gol A Gong. Astaga! aku sampai speechless... (aku juga menyisipkan pengalaman pertamaku ke RD dalam cerpen dengan judul "Cintaku dan Rumah Dunia")

Aku lalu diberitahu tentang kelas menulis, aku ingin belajar disana, tapi kendalaku waktu itu, aku kuliah tepat bersamaan dengan hari kegiatan kelas menulis yaitu hari minggu, tentu saja ayahku melarang apalagi jarak Rangkasbitung - Serang ketika itu kurasa masih cukup jauh (mungkin karena aku tidak terbiasa) harus seminggu sekali datang kesana bisa-bisa mengganggu kegiatan kuliahku.

Yah, akupun akhirnya pasrah, mungkin bukan jodoh dan mungkin kufikir bukan jalanku kesana tapi ternyata lima tahun kemudian pada bulan january 2010 aku kembali lagi kesana, aku jadi berfikir mungkinkah ini jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan padaku? aku jadi tambah bersemangat lagi untuk bisa jadi penulis.

Dan hari ini aku datang ke RD lagi-lagi pulang dengan membawa ilmu baru, tadi aku juga bertemu lagi penulis ternama lain yaitu mas Endang Rukmana penulis novel angkatan I kelas menulis yang mendapatkan UNICEF Award for Indonesian young writer 2004, tadinya aku nggak ngeh kalau itu tuh mas Endang yang photo-nya aku lihat di rumahdunia.net, pas sekali lagi photo itu aku lihat barulah aku sadar, ya ampyun... jadi tadi aku ketemu penulis best seller? duh, bodohnya aku sampai nggak menyadarinya.

Setelah sebelumnya aku bertemu Rg. Kedung Kaban, Langlang Rhandawa, penulis cerpen Swistien Kustantyana, Hilal Ahmad, sekarang bertemu mas Endang Rukmana, ah... senang sekali rasanya. Bukan hanya itu, tadi aku juga bertemu dengan vokalis band dan aku yakin suatu hari band itu akan menjadi band kelas papan atas seperti layaknya Padi, Dewa, Letto dan yang lainnya.

Dengan adanya RD ini aku jadi berfikir, para musisi papan atas mungkin kebanyakan dari kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Jogjakarta tapi suatu hari nanti dan akan dimulai dari sekarang, para penulis-penulis ternama berasal dari Banten

Sabtu, 12 Juni 2010

"Cintaku"

Dalam Sebuah Peristiwa tercipta kenangan
Dalam sebuah kenangan tercipta rasa cinta
Dalam sebuah cinta ada dirimu dihatiku

Haruskah aku mendustai hati
bahwa sesungguhnya aku mencintaimu?

seperti layaknya matahari yang mencintai makhluk hidupnya
Dia kan setia menyinari bumi ini
Seperti layaknya bulan yang mencintai alam semesta
Dia kan setia menerangi malam yang gelap
Begitu pula cintaku padamu yang kan setia menemanimu
kapanpun, dimanapun hingga ujung nafasku