Sabtu, 31 Desember 2011

DN Angel

BAB 1

Dera dan Nicky dua sahabat dengan karakter yang bertolak belakang tapi mereka akrab, solid dan kompak. Dera anak yang cantik. Tubuhnya tinggi semampai. Memiliki sepasang mata yang indah dengan dua bola mata yang hitam dan bening laksana batu akik dan dihiasi alang-alang bulu mata yang lentik. Hidungnya mancung. Bibirnya kecil mungil berwarna merah murni. Kulitnya putih, mulus kontras dengan rambutnya yang panjang tergerai hitam.

Tapi Dera itu anaknya manja, cengeng, penakut dan selalu ingin menang sendiri. Maklumlah, anak tunggal seorang pengusaha kaya. Jadi, kedua orang tuanya teramat sangat memanjakan Dera, bisa dibilang saking dimanjanya luka sedikit aja langsung dibawa ke dokter. Apa aja mau Dera, pasti langsung dituruti, nggak ada yang pernah bikin Dera merasa bersedih karena hidupnya selalu menyenangkan, nggak ada beban pikiran.

Berbeda dengan Nicky, cewek yang satu ini justru kebalikannya dari Dera, pemberani dan cuek. Preman pasar aja berani di lawannya jadi nggak ada cowok iseng yang mau berbuat macam-macam sama dia. Nicky anak bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakaknya laki-laki, makanya Nicky agak tomboy. Selain jago karate, Nicky juga jago olahraga, ya atletik, basket, dia kuasai sampe-sampe Nicky pengen bisa main sepak bola.

Sebenarnya Nicky itu anak yang cantik tapi dia nggak pernah mau perduliin sama keadaan dirinya, mau item, mau kulitnya kasar itu nggak ada pengaruhnya kalau buat Dera ada jerawat nongol di mukanya satu aja dia udah uring-uringan kayak kebakaran jenggot. Dera rajin banget perawatan dari ujung ujung kaki ke ujung kepala pasti dirawatnya kalau Nicky dari pada disuruh perawatan di salon yang bakalan ngabisin waktu berjam-jam, dia sih lebih seneng ngabisin waktunya buat main basket atau sekedar main game dirumahnya.

Yang bisa bikin Dera dan Nicky deket itu karena Nicky ngelindungin Dera banget, bisa dibilang Nicky itu kayak kakaknya Dera, kalau ada apa-apa sama Dera, Nicky yang bakalan bertindak soalnya Dera itu tipe anak yang nggak bisa nyelesain masalahnya sendiri paling bisanya juga nangis jadi harus selalu ada yang ngebantu Dera. Dan cuma Nicky yang mau bela-belain apa aja buat Dera, apalagi karena emang ortu Nicky sama ortu Dera udah kenal lama.

Dera juga baik sama Nicky. Dera rajin bikin salinan catatan buat Nicky, kalau anak itu harus izin nggak masuk pelajaran karena harus latihan buat persiapan pertandingan olahraga, atau ikutan naik gunung bareng anak-anak pecinta alam.

Nicky emang kalah pintar dari Dera tapi Dera selalu sabar ngajarin Nicky sampai dia benar-benar ngerti. Tapi ada satu hal yang bikin Nicky nggak mau jauh dari Dera, soalnya Dera rajin banget ngebayarin dia makan, kadang-kadang kalau Dera beli baju, sandal atau sepatu, Dera juga suka beliin buat Nicky tapi harus model yang sama biar kembaran, Dera senang banget kalau ada mereka pake barang samaan.
***
“De!” Dera terkejut melihat Nicky yang tiba-tiba muncul didepannya. “Pagi-pagi udah ngelamun, ngelamunin apa sih?”

“Nicky, bikin kaget aja.” Dera yang tidak mengira hari ini Nicky akan datang ke sekolah, hanya menarik nafas panjang melepaskan rasa terkejutnya.

“Lagian pagi-pagi udah ngelamun. Tadi kok kamu ninggalin aku sih, De?”

“Kemarin bilangnya nggak mau sekolah, capek habis naik gunung.” Lagian biasanya juga kan begitu, kalau habis naik gunung besoknya Nicky pasti malas sekolah.

“Sekarang kan lain, De, minggu UTS.” Diletakkannya tas ranselnya diatas meja. Dia lalu menghempaskan bokongnya ke kursi sebelah Dera.

“Ky, tahu nggak sih, ada kabar nyebelin tentang kita loh.”

“Soal apa?” Nicky bertanya dengan santai padahal Dera sudah gelisah dengan kabar yang dia punya sekarang ini.

Kabar yang membuat Dera merinding mendengarnya.

“Katanya kita lesbian.” Dera berbisik.

“Siapa sih yang ngomong? Aku nggak pernah denger tuh?” Kali ini Nicky mulai serius menanggapi kabar yang dibawa Dera. Tentu saja dia tanggapi dengan serius karena kabar itu sudah membuatnya jadi marah sekarang.

“Beritanya nyebar waktu kamu naik gunung kemarin, Ky.”

“Siapa yang berani ngomong gitu?! Kasih tahu aku!!”

“Aku sih nggak tahu dari siapa? tapi aku dengernya dari Patra.”

Nicky menggebrak meja. Lalu dia pergi tanpa bicara apa-apa lagi.

Dera merasa cemas, dia segera mengikuti kemana perginya Nicky. Ternyata Nicky mendatangi kelas Patra, dia menghampiri Patra yang lagi ada didalam kelasnya tanpa permisi.

“Tra! Siapa yang nyebarin gosip kalau gue sama Dera lesbian?!”

Patra yang terkejut karena pagi-pagi sudah ditodong pertanyaan dengan suara keras, sampai tertegun sesaat, kemudian barulah dia menebah dadanya.

“Gue sih nggak tahu pasti, tapi katanya ….” Patra celingukan lalu dia berbisik.

“Donna.” Mata Nicky membelalak.

“Si biang keringet sialan! Dasar tuh anak! Dari dulu dendam dia ama gue, gara-gara kakaknya gue tolak!” Nicky segera pergi ke kelas Donna yang ada disebelah kelas Patra. “Heh! Mana Donna?!” tanya Nicky sama cowok-cowok yang ada dikelas itu.

“Di kantin tuh.” Seseorang menjawab.

Nicky segera pergi ke kantin. Dera sejak tadi terus mengikuti kemana Nicky pergi. Sebelum tiba di kantin Nicky bertemu Donna and the gang didepan lab bahasa, langsung aja Nicky melabrak Donna.

“Heh, Donald! Elu berani ngomong apa sama temen-temen gue?!”

“Ngomong apaan sih lu?! Nggak ada angin, nggak ada ujan, pagi-pagi udah kayak orang kebakaran bulu ketek aja.”

“Eh, jangan pake ngeles lu, ya?! elu ‘kan yang bilang gue sama Dera itu lesbian!”

“Aduh… husband-nya Dera marah-marah tuh.” Ujar Donna dengan gaya mengejek. “Emang iya, elu sama Dera lesbian ‘kan? buktinya sampe sekarang elu sama Dera nggak punya pacar.” Dengan geram Nicky menarik kerah baju Donna.

“Sembarangan elu ngomong ya! Gue ini normal! Awas lu kalau berani ngomong kayak gitu sekali lagi!”

“Elu mau apa? Lesbian.” Nicky yang udah mau pergi lalu berbalik. Didekatinya Donna lalu dengan sekuat tenaga dia injak kaki Donna dengan kencang.

“Aduh!” Donna berteriak kesakitan.

“Itu upah buat cewek ember kayak elu yang sukanya ngomongin orang!” setelah berkata begitu Nicky lalu pergi. Untung aja hari masih pagi jadi pertengkaran itu nggak harus ketahuan guru, kalau nggak mereka bisa-bisa dipanggil ke ruang BP.

Rabu, 07 Desember 2011

Kenangan

Ini adalah cerita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku. Cerita paling manis yang pernah aku alami. Semua ini bermula waktu hand phone kamera baru muncul dan lagi digandrung-gandrungi anak remaja. Termasuk aku tentu saja.

Siapa sih yang nggak senang bergaya di depan kamera? Apalagi kamera itu kecil, praktis, bisa dipake nelepon dan SMS juga. Gambar hasil jepretan bisa dipasang sebagai wallpaper atau dicetak. Kehadiran hape kamera waktu itu benar-benar menyenangkan, jadi bisa narsis dan eksis.

Tapi aku pakai hape kameraku bukan buat bergaya tapi buat memotret apapun yang ada didepan mataku. Sebenarnya hape itu bukan punya aku sih, itu punya Kakakku, dulu aku nggak punya hape sekeren itu. Maklum sih anak SMA, apalagi dulu buat beli pulsa sama nomor perdana aja mahalnya minta ampun, jadi ya... asal bisa bergaya dengan hape yang bisa dipake buat nelepon sama SMS aja udah keren.

Lalu di suatu minggu pagi yang indah. Teman sebangku sekaligus sahabat terdekatku, Ovi, mengajak aku jogging. Ah, sebenarnya aku paling nggak suka jogging, bangun pagi di hari minggu buatku sangat-sangat menyebalkan. Selama enam hari berturut-turut aku harus bangun pagi, eh… di hari liburku yang berharga, yang seharusnya aku bisa bangun agak siangan malah jadi harus bangun pagi, tapi demi memenuhi janji dengan sahabatku aku lakukan kegiatan menyebalkan itu.

Nggak enak juga sih berkali-kali Ovi ajak aku jogging tapi selalu aku tolak. Kali ini apa boleh buat, untuk menyenangkan hatinya kuikuti dia. Dari jam lima pagi aku dan Ovi sudah berada di alun-alun Rangkasbitung. Seperti biasanya hari minggu alun-alun sangat ramai, banyak orang menghabiskan pagi mereka dengan olahraga atau sekedar jalan-jalan sekaligus cuci mata.

Aku dan Ovi lalu lari mengitari alun-alun selama satu jam. Setelah lelah kami berdua istirahat sambil menikmati jajanan yang ada disekitar alun-alun. Aku membeli semangkuk bubur sementara Ovi menikmati pisang goreng. Ternyata bangun pagi lalu pergi jogging menyenangkan juga, bikin badan segar. Setelah selesai makan Ovi melakukan senam ringan sedangkan aku… cuci mata, (hahay!) itulah yang paling aku sukai, kebetulan tadi sempat kucuri hape Kakakku. Ups, jangan bilang-bilang ya, kalau dia tahu hapenya kuambil, bisa dijewer aku.

Aku lalu mencari objek yang bisa kupotret. Pertama aku memotret penjual bubur yang ramai dikerumuni pembeli. Lalu aku memotret orang-orang yang lagi beristirahat sambil makan. Kemudian kameraku mengarah pada cowok ganteng yang lagi ngobrol. Ya ampun, biji mataku hampir keluar melihatnya. Abis dia ganteng banget sih!

Kulitnya putih, ah… ga putih juga sih agak kecoklatan. Gaya rambut spike. Dia pakai celana selutut dan kaos coklat. OMG! Dibalik kaos coklatnya aku bisa melihat badan dia yang menawan, kurus tapi tetep seksi. Melihatnya saja aku jadi berdebar-debar. Senyumnya memesona dan ada lesung pipitnya. Aku lalu mengambil gambarnya beberapa kali.

“Na, pulang yuk.” Tiba-tiba Ovi mengejutkanku. Hampir aja hape itu jatuh saking kagetnya. “Lagi ngapain sih?” Ovi melotot.

“Biasa.” Aku hanya tersenyum.

“Kebiasaan yah, ngapain sih motret orang lain? Mending punya hape kamera tuh motret diri sendiri aja.” Lagi-lagi aku cuma bisa senyum. Semoga Ovi ga tahu objek yang baru saja kupotret.

Sejak hari itu aku jadi sering jogging di hari minggu. Tadinya kupikir dia jogging tiap hari ternyata dia hanya jogging hari minggu aja. Tapi untunglah aku jadi nggak perlu tiap hari bangun pagi buat jogging. Dan tanpa terasa gambar-gambar cowok itu jadi tersimpan banyak. Dan sepertinya Kakakku nggak pernah otak-atik hapenya jadi photo-photo sebelumnya masih tersimpan.
***
“A, minta uang dong.” A Ferry mendengus melihat kedatanganku yang tiba-tiba ke counter hapenya hanya untuk minta uang.

“Kamu tuh ya, datang kesini bukannya bantuin malah minta duit.”

“Males ah, aku mau ke Cilegon nih, mumpung hari minggu.”

“Nggak usah ke Cilegon, kamu disini aja bantuin Aa, si Agus lagi sakit.”

“Tapi temen-temen aku udah nunggu di stasiun, A.”

“Batalin.” A Ferry menyodorkan hapenya. “Kecuali kalau kamu mau Bapa tahu kamu jalan-jalan….”

Aku mendecak kesal. Kurampas hape dari tangan Kakakku. Yah, batal deh hang out sama temen-temen. Padahal aku mau nonton film terbaru. Ah, Aa nih bikin rencana orang berantakan aja. Kalau sampai Bapak tahu aku pergi diam-diam bisa gawat. Tadi juga sih seharusnya aku pergi diam-diam saja.

Setelah mengirim pesan singkat. Aku lalu mengambil tabloid hand phone yang tergeletak di lantai. Kubolak-balik handphone dengan perasaan sebal. Terbayang olehku pasti teman-temanku sudah berangkat ke Cilegon naik kereta lalu mereka nonton sementara aku disini ditinggalkan.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya Bantu?” A Ferry menyapa pembeli.

“Mau beli hape kamera, A, ada, yang bekas aja.”

Suara cowok yang kudengar tapi aku nggak menurunkan tabloid. Lalu terdengarlah suara tawar menawar harga. Counter Kakakku memang tempat jual-beli handphone bekas dan baru sekaligus service. Kakakku jago banget menyervis handphone.

“Loh Ger, kok ada photo elu sih disini, mana banyak lagi.”

Aku tersentak kaget. Jangan-jangan hand phone yang dijual abangku hapenya sendiri. Aku mengintip dari balik tabloid. OMG! Ternyata yang membeli hape adalah cowok yang setiap hari minggu kupotret di alun-alun, dan dia… kembar! Aku menelan ludah. Gawat, aku pasti dimarahi.

“Oke deh, aku beli hape ini.” Ujar cowok yang dipanggil Ger. Cowok itu lalu melirik kearahku, tapi aku pura-pura nggak bersalah. Biar aja deh, anggap aja pemilik hape sebelumnya yang udah potret dia. Hape itukan second, dia pasti mengira begitu.

Setelah transaksi terjadi, kedua cowok itu pergi dan otomatis aku langsung dimarahi. Untung saja Agus keburu muncul dengan mengenakan masker, sepertinya dia sedang batuk. Aku langsung menadahkan tangan meminta jatah upah menemani abangku selama lima belas menit disana.

Selembar uang lima puluh ribu kuterima dengan senang hati. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan tiga puluh, kereta baru berangkat pukul sepuluh berarti aku masih bisa ikut. Naik ojeg ke stasiun pasti cepat. Aku segera melangkah menuju tempat pangkal ojeg, tapi baru melewati sebuah gang kecil tiba-tiba seseorang menarik tanganku.

Mataku membelalak melihat cowok yang kupotret ternyata yang menarikku. Ah bukan, yang menarikku saudara kembarnya, seingatku cowok yang kupotret badannya kurus sedangkan ini lebih kekar. Lalu badanku langsung disandarkan ke tembok dan saat aku mau teriak memanggil Kakakku, dia membekap mulutku. Sontak aku langsung berontak.

“Jangan kurang ajar ya!” bentakku kesal.

“Gue kurang ajar? Tapi elu nggak sopan, diam-diam motret orang.”

“Sembarangan! Elu kira gue pelakunya? Jangan asal nuduh ya, cari bukti dulu dong! Siapa tahu aja pemilik sebelumnya yang udah motret saudara elu!” Aku masih berusaha mengelak. Semoga dia nggak tahu pemilik sebelumnya adalah Kakakku. Tapi kemudian kulihat dia tersenyum, senyum yang sama memesonanya dengan cowok yang selalu jadi objek isengku.

“Oya? Tapi kok elu bisa tahu yah kalau yang ada di photo itu bukan gue?”

“Ya jelas gue tahu, dilihat dari jauh juga kelihatan bedanya, biarpun muka kalian mirip tapi badan sodara elu lebih kurus dari elu, anak kecil juga tahu kalau yang di photo itu bukan elu tapi sodara lu.”

Dalam hati aku bersorak senang karena merasa menang. Tapi aku baru ingat sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang membuat keberanianku membela diri luntur total terlebih saat melihat senyum cowok itu malah jadi menyebalkan.

Ya, aku baru tersadar, seharusnya aku tidak perlu memberi penjelasan tentang photo itu, bukankah seharusnya aku tidak tahu soal photo itu? Tapi kenapa aku malah memberi penjelasan detail. Bukankah itu berarti membuktikan akulah sendiri pelakunya.

“Udah, Tom, kasihan, anak orang jangan dikerjain kayak gitu, ntar nangis.” Aku menoleh ke arah kembar satunya yang tersenyum padaku. Astaga! Senyum memikat yang lebih lembut dari senyum saudaranya. “Aku Gerry, siapa nama kamu?” Gerry mengulurkan tangannya.

“Hanna.” Aku membalas uluran tangan Gerry sambil tersenyum. Akhirnya aku bisa kenalan juga sama cowok ganteng yang selalu jadi objekku. Sudah lama aku ingin berkenalan tapi aku tidak punya keberanian.

“Nama yang cantik, kayak orangnya… oya, ini saudara kembarku, Thomas.”

“Gerry? Thomas? Tom and Jerry dong!” aku tersenyum geli, begitu juga Gerry tapi Thomas malah melotot. Huh, aku sebel ama Thomas dia galak banget, beda sama Gerry yang lebih ramah dan bersahabat.

Kemudian kami pun jadi bersahabat. Gerry dan Tom merupakan mahasiswa terbaik Universitas paling bergengsi di kotaku dan keduanya sangat populer. Tom karateka yang paling diandalkan dan Gerry peraih penghargaan ilmiah. Tom tipikal cowok serius dan dingin sama cewek sementara Gerry humoris dan agak jahil.

Disaat aku kesulitan dengan pelajaran, aku bisa menemui Gerry dan kalau aku pengen jago di bidang olahraga tinggal mendatangi Tom. Hampir semua olahraga dia kuasai, atletik, renang, baseball, basket, Tom emang gila olahraga, makanya badannya pun lebih kekar dari Gerry. Tapi selalu kebetulan yang aku temui di alun-alun hanya Gerry, padahal Tom yang rajin olahraga.

Dan kini Gerry dan Tom sudah menjadi bagian dari hidupku, rasanya sulit sekali berpisah dengan mereka. Beruntungnya aku bisa dekat dengan si kembar, mereka juga sangat memanjakanku. Teman-temanku juga sering merasa iri padaku, karena aku kemana-mana selalu dikawal dua cowok ganteng. Selain itu, aku memang sudah menyukai Gerry sejak lama dan rasanya cinta ini semakin tumbuh subur dihatiku seiring kedekatan kami.
***
“Hai Tom, Gerry mana kok sendirian aja, tumben.” Aku menyambut Tom di malam minggu seperti biasanya. Aku, Gerry dan Tom emang selalu malam mingguan bertiga. Kadang aku hanya ingin malam mingguan aja dengan Gerry tapi Tom sepertinya tidak bisa lepas dari Gerry, mereka seperti kembar siam saja. Rencananya pun hari ini kami mau pergi ke ultah Ovi bertiga.

“Dia lagi nggak enak badan katanya, karena aku udah janji mau nemenin kamu ke ultah Ovi makanya aku datang.”

“Gerry sakit? Sakit apa? Parah nggak, kita tengok Gerry aja yuk.” Aku sudah mau menyeret Tom kembali ke rumahnya, tapi karena badan Tom sangat besar, yang ada bukan aku yang menyeret dia tapi badanku yang tertarik kembali dan nyaris menabrak badannya.

“Gerry nggak apa-apa, Hanna, malah dia yang nyuruh aku nemenin kamu, jadi nggak ke ultah Ovi-nya?”

Aku terdiam. Disaat seperti ini mana mungkin aku having fun di pesta ulang tahun Ovi. Biarpun Tom bilang sakitnya nggak parah, tapi aku tetap saja ingin melihat Gerry. Kurasa Ovi pasti akan mengerti.

“Kamu pengen nengok Gerry? Ya udah, kita kesana.” Aku tersenyum. Tom emang baik, biarlah nanti kado untuk Ovi aku kasih di sekolah hari senin. Tanpa mengganti gaun yang sudah kukenakan aku langsung naik ke mobil Tom.

Setelah tiba di rumah si kembar, tanpa permisi lagi aku langsung naik ke lantai atas menuju kamar Gerry. Aku memang sudah terbiasa keluar masuk rumah ini, Tante Shinta pun sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri, karena Beliau juga sudah menganggap aku anaknya.

“Gerry!” tanpa mengetuk, aku langsung membuka pintu kamar. Kulihat Gerry yang sedang berbaring di tempat tidur sangat terkejut dengan kehadiranku. Aku lalu melompat ke tempat tidur Gerry.

“Hanna. Aku pikir kamu ke ultah Ovi?”

“Abis pengawal aku bolos sih, makanya aku kesini mau kasih hukuman.” Gerry tersenyum. Tapi senyum Gerry saat ini tidak seindah biasanya, dia seperti menyimpan sesuatu. Padahal biasanya dia sangat ceria. “Sakit apa sih, Ger?”

“Cuma capek kok, mungkin kelamaan di perpustakaan.”

“Makanya kalau punya otak biarpun pinter tapi tetep harus diistirahatin dong, komputer juga kalau nggak diistirahatin bisa ngehang.”

“Ini aku lagi istirahat tapi kamu malah datang ngeganggu.”

“Oh, jadi aku ini pengganggu yah, ya udah aku pulang.” Ujarku merajuk. Lalu Gerry kembali tersenyum, masih dengan senyum yang sama. Senyum orang yang sedih dan letih.

“Aku becanda, Hanna, jangan ngambek gitu ah, jelek tahu.” Seperti biasa saat aku ngambek Gerry mencubit pipiku. Dia emang paling senang mencubit pipiku yang cubby.

Kemudian Tom datang membawakan makanan ringan, minuman dan monopoli. Aku menyambut gembira. Saat seperti ini memang menyenangkan main monopoli. Biasanya Ovi juga ikutan tapi kali ini dia pasti sedang bahagia dengan hari jadinya. Maaf ya, V, aku nggak datang. Aku bukannya sahabat yang jahat nggak datang ke ultah sahabat sendiri tapi saat ini aku ingin bersama-sama dengan Gerry. Rasanya aku tidak ingin kehilangan momen seperti ini. Bercanda, tertawa bersama.

“Oke, udah hampir jam sepuluh, Nona Hanna harus pulang.” Tom menyudahi permainan. Aku melirik jam dinding dan memang sudah hampir jam sepuluh.

“Uuh… Tom ngerusak kesenangan orang aja.”

“Kamu harus pulang, Cantik, dan aku juga harus istirahat.”

“Aku nginep aja ya.”

“Enak aja… kamu nggak boleh nginep, Mama lagi nggak ada, nanti apa kata orang… sebentar aku keluarin mobil dulu ya, nanti kamu aku panggil.”

Aku mengangkat bahu. Yang lama juga nggak apa-apa kok. Aku senang akhirnya Tom pergi juga biarpun hanya beberapa menit, tapi berduaan sama Gerry Sangat menyenangkan buatku. Tom memang hanya mengganggu saja, dia seperti nggak mau membiarkan aku hanya berdua dengan Gerry.

“Na, Tom udah nembak kamu?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan Gerry. Kenapa disaat seperti ini dia malah menyebut nama Tom, dan apa katanya tadi, Tom nembak aku? “Tom? Nggak tuh.”

“Huh, dia selalu gitu giliran disuruh nembak cewek susah, tapi kalau ngejatuhin cowok di pertandingan karate aja jago. Padahal Tom cinta banget sama kamu loh, apa kamu nggak bisa ngerasain sinyal cinta yang udah dikasih Tom buat kamu, aku senang kalau kamu sama Tom bisa jadian.”

Hatiku mati rasa mendengar kata-kata yang diucapkan Gerry, jadi dia senang kalau aku jadian sama Tom berarti selama ini dia sama sekali nggak cinta sama aku, jangan-jangan dia cuma anggap aku adiknya aja. “Aku sama Tom nggak mungkin jadian, karena aku… karena aku sayang kamu, Gerry.”

Aku mendengar Gerry mendengus lalu dia mengucapkan kata-kata yang mengerikan, “Ternyata benar dugaan Tom, pantas dia masih belum nembak kamu, sebaiknya kamu jangan mencintai aku, aku nggak sebaik yang kamu kira, aku ini cowok brengsek yang nggak pantes dicintai cewek sebaik kamu,

kamu paling benci kan sama cowok yang nggak pernah menghargai kehormatan cewek, perlu kamu tahu aku cowok yang seperti itu, aku sudah tiga kali menghamili cewek, tapi karena aku nggak mau kawin muda makanya aku suruh mereka menggugurkan kandungan, tadinya aku mau jadiin kamu sasaran aku berikutnya apalagi aku tahu kamu cinta sama aku, paling gampang buat aku ngerayu cewek seperti kamu, tapi karena Tom mencintai kamu makanya aku nggak lakuin semua itu, kalau kamu nggak percaya kamu mau buktiin sekarang?”

Tiba-tiba Gerry menarikku ke dalam pelukannya. Lalu dia mengubah posisi, merebahkan aku dengan keras ke atas tempat tidurnya dan menghalangi badanku dengan badannya. Dengan hanya bertelakan ke siku, Gerry menurunkan tali bahu gaunku dan hampir menciumku. Sontak aku memberontak.

“Lepasin aku, Gerry.” Aku berjuang melepaskan diri dari Gerry, setelah berhasil aku langsung melompat turun dari tempat tidurnya. “Kamu nggak mungkin kaya gitu, Gerry, kita emang baru tiga tahun berteman tapi aku tahu kamu.”

Tapi senyum Gerry tiba-tiba berubah mengerikan. Sebentuk seringai yang menjijikan. Dari senyum itu seolah Gerry ingin bilang, “kasihan kamu Hanna, karena sudah tertipu dengan topengku, kalau bukan karena Tom mungkin sekarang kamu sedang menangis meratapi apa yang telah terjadi diantara kita.” Karena aku nggak mau mendengar kata-kata Gerry lagi dan nggak mau melihat senyum mengerikan itu, aku langsung lari keluar meski Tom belum memanggilku.

Aku dan Tom berpapasan di tangga. Dia terkejut melihatku, kurasa wajahku memucat sekarang dan air mata sudah jatuh merembes membasahi pipiku.

“Kamu kenapa, Hanna?”

“Gerry, Tom… Gerry….”

“Gerry kenapa! Dia kolaps lagi?” Tom sudah hampir berlari naik tapi aku menariknya, lalu aku membenamkan wajah ke pelukannya.

“Gerry jahat, Tom… dia… dia…” Aku sama sekali nggak bisa meneruskan kata-kataku, aku hanya ingin menangis.

“Ya udah kita pulang aja, nanti cerita di rumah ya.”

Tapi bagaimana aku bisa cerita sama Tom. Cerita yang menurutku menjijikan ini. Apa Tom tahu tentang pergaulan bebas yang biasa dilakukan Gerry? Gerry ternyata cowok brengsek, aku paling benci sama cowok yang nggak menghargai kehormatan perempuan dan dia ternyata seperti itu.

Seakan telah membuka topeng yang dia kenakan selama ini, tiba-tiba Gerry berubah. Dia tidak lagi lucu dan tidak pernah lagi menjahiliku. Gerry yang kutemui setelah pengakuannya berubah menjadi Gerry yang menjijikan.

Tiba-tiba dia jadi sering memelukku, menciumku, memandangiku seperti dia hendak melahapku. Meski aku sering memarahinya dan bahkan menamparnya tapi Gerry seperti tidak perduli. Dia berubah menjadi serigala lapar dihadapanku.

Tapi entah mengapa meski Gerry bersikap demikian aku tetap tidak bisa membencinya. Hati ini terus berusaha memberontak dari kenyataan yang selalu ditunjukkan Gerry. Walau mataku melihat perubahannya tetapi hatiku tetap berkata itu hanyalah omong kosong.

Apakah itu berarti karena cinta? Apa mataku buta karena cinta? Serigala didepanku telah kuanggap kucing lucu berbulu lembut. Iblis dihadapanku malah tampak seperti malaikat cinta. Inikah pengaruh cinta? Aku dilema. Sampai Tom datang menemuiku dan membawa berita yang membuatku merana.

Kedua orang tuanya rujuk kembali. Aku memang bahagia mendengarnya, tapi Tom dan Gerry harus kembali ke Jakarta. Apa boleh buat, kami harus berpisah. Jakarta memang tidak berada diujung dunia tapi tetap saja aku merasa sedih harus berpisah dengan mereka. Hari-hari menyenangkan yang selama ini membuat hidupku lebih hidup menjadi kosong.
***
“Hanna, ada Tom diluar.”

Aku terkejut ketika mendengar suara Mama yang mengatakan Tom datang berkunjung. Ya Tuhan…! Sudah empat tahun kami tidak bertemu, sekarang tiba-tiba Tom datang. Dengan rasa tak sabar aku bergegas turun.

Seperti apa Tom sekarang, aku sudah kangen sekali. Sejak kami berpisah, tidak pernah kami bertemu lagi. Si kembar seperti menghilang tidak ada rimbanya. Aku sudah pernah menghubungi nomor handphone mereka tapi tidak pernah bisa terhubung, e-mail mereka pun sudah diblokir. Aku sempat bingung dan sedih, mengapa mereka seperti sengaja memutuskan hubungan denganku.

“Thomas.” Senyumku terkembang ketika melihat Thomas duduk manis di ruang tamu. Dia masih tetap seganteng dulu, senyumnya pun masih memikat. Ketika dia tersenyum, matanya pun ikut tersenyum.

“Hallo Hanna, kamu sudah besar.” Tom membelai helai rambut yang jatuh didahiku.

“Iyalah, aku kan sekarang sudah jadi sarjana.”

“Oya, aku sampai nggak sadar kalau kita sudah lama berpisah, sudah empat tahun.”

“Kalian kemana aja sih, masa pindah ke Jakarta aja sampai nggak komunikasi lagi, kayak hilang ditelan bumi, nggak mau temenan ama aku lagi? Nggak mau jadi Kakak aku lagi? By the way… Gerry mana, kok kamu sendirian sih?”

“Aku ingin bicara sama kamu, kita ke Carita?”

“Ke Carita?” mendadak begini. Sudah hampir tengah hari lagi. “Oke deh, tunggu aku ganti baju dulu ya.”
***
Karena berangkat dari rumah siang hari, waktu hampir menjelang sore ketika kami tiba. Suasana pantai pun sudah sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang masih betah dan pedagang. Tapi suasana seperti ini yang menyenangkan buatku. Kami lalu duduk diatas pasir beralaskan tikar yang dapat disewa dari bocah-bocah kecil yang menjajakannya.

“Happy birthday.” Aku tertegun sejenak sambil kutatap kado yang disodorkan Tom. Ya ampun…! Aku sendiri lupa dengan hari ulang tahunku tapi Tom jauh-jauh datang hanya untuk memberikanku sebuah kado.

“Thank’s apa ini, Tom? Boleh aku buka.”

“Buka aja.”

Dengan rasa tidak sabar, aku membuka kado dari Tom, tapi kemudian aku terkejut saat melihat isinya hand phone kamera milik Gerry yang pernah dia beli di konter hape Kakakku tujuh tahun yang lalu. Tiba-tiba kenangan pertemuanku dengan si kembar muncul ke permukaan, tapi apa maksud Tom memberi kado ini?

“Itu dari Gerry, sebenarnya aku nggak ingin memberi hape itu sekarang tapi kurasa lebih cepat kamu tahu akan lebih baik. Gerry sudah meninggal.”

Aku tersentak kaget mendengar berita yang dibawa oleh Tom. “Gerry meninggal, kamu bercanda kan Tom?”

“Apa kamu pikir aku akan bercanda dengan hal seserius ini?” Tom menatapku lekat-lekat. “Gerry selama ini tidak pernah perduli dengan penyakitnya, ketika dokter memeriksanya ternyata dia terkena kanker, makanya kami pindah ke Jakarta untuk menyembuhkan penyakitnya, setelah satu tahun di Jakarta kami pindah ke Singapore dengan harapan disana Gerry akan mendapat pengobatan lebih baik, tapi Tuhan berkehendak lain, Na, dia meninggal setelah empat tahun berjuang dengan penyakitnya.”

Aku merasa mati rasa saat mendengar berita yang dibawa Tom. Kenapa sebentar sekali waktu kebersamaanku dengan Gerry, Tuhan? Dan kenapa aku tidak diberi kesempatan berada disampingnya saat dia menghembuskan nafas terakhirnya.

“Sebenarnya aku ingin memberitahumu tapi Gerry melarang, dia tidak ingin kamu bersedih, dia ingin saat meninggal hanya wajah tersenyummu lah yang diingatnya, Gerry itu sangat mencintai kamu, Hanna, tapi karena aku juga menyayangimu Gerry sengaja mengarang cerita tentang dia yang brengsek agar kamu menjauhinya. Kenyataannya sampai terakhir melihatmu ketika berpisah, aku masih melihat cinta untuk Gerry dimatamu, bahkan hari ini pun aku tahu dihatimu hanya ada Gerry.”

Air mataku jatuh merembes membasahi pipiku. Aku sudah tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Aku mencintainya bahkan hari ini rasa itupun belum hilang dari hatiku, bagaimana aku bisa mengalihkan cinta itu pada orang lain. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Tuhan?

“Selama empat tahun ini, Gerry terus hidup dengan kenangannya bersamamu, dia menyimpan baik hape itu, merawat bunga mawar yang kamu sukai, bermain halma seorang diri, sampai akhir hayatnya dia masih mencintaimu.”

Aku lalu menyalakan hape kamera milik Gerry, ternyata hape itu masih hidup tapi pemiliknya sudah tiada. Hatiku terasa miris. Gerry merawat hape ini dengan baik. Sakit sekali rasanya ketika aku membuka photo-photo yang menyimpan gambar hasil jepretanku. Dan semua itu sekarang hanya tinggal kenangan.

Kemelut Hati Dara

Dara duduk mematung sambil memandangi dirinya dari balik cermin. Kebaya warna jingga dan songket senada telah membalut tubuhnya, wajah ayunya telah dipoles dengan kosmetik oleh penata rias. Rambut panjangnya telah disanggul dan diberi hiasan beberapa kuntum bunga melati. Dara yang biasa tampil dengan balutan sederhana telah menjelma menjadi bidadari yang dari kahyangan.

Orang-orang yang melihat Dara, berdecak kagum dan merasa pangling dengan penampilannya. Bahkan Dara sendiri sempat tidak mengenali dirinya saat dia berkaca, Benarkah ini aku? Gumam Dara.

Betapa hebatnya efek dari perangkat kecantikan, benda yang beragam jenisnya itu mampu menyulap seorang wanita menjadi sangat cantik rupawan. Dia mampu menutupi noda jerawat yang menghitam, dan sempat meresahkan Dara, dengan sempurna.

Hari ini memang hari istimewa untuk Dara, di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh enam, keluarga Damar akan datang untuk melamarnya, sekaligus mereka akan bertunangan. Di hari ini juga, tanggal pernikahan akan ditentukan oleh dua keluarga.
Perempuan mana yang tidak akan merasa bahagia, ketika seorang pria menyatakan diri siap meminangnya? Setelah dua tahun menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, Damar memantapkan hatinya untuk menjadikan Dara sebagai pendamping hidupnya, ibu bagi anak-anaknya kelak.

Karena Dara merupakan anak terakhir, bahkan untuk acara pertunangan pun disiapkan semaksimal mungkin. Ayahnya ingin melepaskan putri bungsunya dengan rangkaian acara yang mewah dan sakral. Beliau ingin pesta untuk putri kesayangannya berjalan dengan sempurna.

Handai taulan sekarang tengah berbahagia dengan berita menggembirakan ini, tetapi hati sang bidadari malah tengah muram. Dara gamang. Dia merasa belum siap menghadapi hari ini.

Damar memang laki-laki yang sangat baik, dia berasal dari keluarga terhormat. Bibit, bobot dan bebetnya jelas sudah tidak diragukan lagi. Selama menjadi kekasih Damar pun, Dara selalu dijaganya dengan baik. Damar memang sangat menghormati perempuan, baginya, kekasihnya sama seperti ibunya, yang harus dilindungi dan bukan untuk disakiti.

Dara merasa tersanjung dengan sikap Damar, zaman sekarang mencari pemuda seperti Damar tidaklah mudah. Tapi bagi Dara, Damar justru terlalu sempurna. Malah sering kali Dara merasa Damar sangat menyilaukan, Damar layaknya matahari dan Dara merasa tak pantas mendapatkan keindahan kemilaunya. Setelah apa yang terjadi pada dirinya.
***
“Kamu minta aku bertanggung jawab? Kamu nggak hamil kan?” tanya Galang enteng tanpa terbebani dosa secuilpun.

Seolah dia hanya menggores tangan Dara dengan luka kecil.

Apakah jika sudah terlanjur bersemayam janin di rahim Dara saja, Galang mau bertanggung jawab, lantas bagaimana dengan apa yang telah terjadi diantara mereka selama ini? Apa semua tidak berarti sama sekali.

“Aku memang tidak hamil, Lang, tapi….” Dara merasa tidak bisa mengungkapkan isi hatinya. Kekecewaannya. Kegundahannya.

“Aku sudah mengatakannya dari awal, diantara kita tidak pernah ada hubungan apa-apa, kita hanya teman dan kamu sudah menyepakati itu semua, lantas kenapa tiba-tiba kamu menuntut pertanggung-jawaban dariku?”

Memang benar, sejak awal Galang sudah pernah mengatakannya dengan jelas. Galang hanya mau hubungan diantara mereka sebatas pertemanan, dia tidak mau terbebani dengan komitmen apapun. Hubungan mereka memang berjalan dengan baik, Dara berusaha sebisa mungkin menekan perasaannya dan menganggap Galang hanya sebagai teman, meski hatinya memberontak dan mengharapkan Galang dapat dimiliki seutuhnya.

Semua berjalan dengan sempurna, Galang dapat menghapuskan dahaga yang selama ini mengeringkan hatinya. Galang hadir seperti oase dalam hidupnya. Dia bahkan dapat memberikan apapun, lebih dari yang bisa diberikan seorang teman.

Namun hanya dalam sekejap mata saja, semua hancur luluh lantak. Kehadiran seorang perempuan bernama Nadia, telah membuat Galang berpaling darinya. Nadia adalah mantan kekasih Galang, cintanya telah dia persembahkan seutuhnya untuk Nadia. Dan ketika perempuan itu kembali padanya, meski dia sudah tidak seperti dulu lagi, Galang tetap menerimanya.

“Setelah apa yang terjadi diantara kita, lantas sekarang kamu mau meninggalkan aku begitu saja?” Air mata mengambang dipelupuk mata Dara.

“Lalu apa maumu, Beib, kamu ingin kita menikah? Itu tidak mungkin. Kurasa kita sudah sama-sama dewasa, apa yang telah kita lakukan waktu itu atas dasar suka sama suka, lagipula aku juga tidak memaksa memintanya, kamu menyerahkannya dengan suka rela, jadi jangan salahkan aku, seharusnya salahkan dirimu sendiri.”

Butiran kristal bening itupun jatuh bergulir membasahi pipi Dara.

Serendah itukah Galang menghargai kehormatan seorang wanita? Dara benar-benar merasa terhina dengan ucapan Galang, bahkan lebih hina dari pelacur. Tapi Galang tidak salah, sebagai seorang wanita seharusnya Dara bisa menjaga kehormatannya, bukan menyerahkannya begitu saja atas nama cinta.

Cinta telah membutakan mata hatinya, mematahkan prinsip yang selama ini selalu dipegangnya. Demi cinta yang selalu diagung-agungkannya, dia berani menerobos garis batas.

Sekarang setelah cinta tidak dapat digapainya, Dara hanya dapat menyesali perbuatannya bodohnya. Menangis pun sudah tidak berguna lagi, toh tidak akan pernah mengubah pendirian Galang. Laki-laki itu tetap meninggalkan Dara yang telah tenggelam dalam Lumpur penyesalan yang melebur dengan kenistaan.

Dan Damar tidak pernah tahu, sampai sejauh mana hubungannya dengan Galang. Yang dia tahu, Dara patah hati oleh Galang. Lalu dia hadir menata kembali hati Dara yang sudah terlanjur berubah menjadi kepingan. Perlahan namun pasti, Damar mampu membuat Dara yang telah jatuh terpuruk, kembali bangkit.

Tapi selama ini Dara selalu merasa bersalah pada Damar, seperti kosmetik yang mampu menutupi noda jerawat di wajah Dara, dia telah menutupi kecacatan pada dirinya dengan topeng kesederhanaannya. Kini laki-laki yang telah berhasil ditipunya, akan melamarnya. Dara merasa tak sanggup untuk menerimanya, seumur hidup rasa bersalah itu akan menggelayuti hatinya jika dia tidak berterus-terang.
***
“Dara, kamu sudah siap, nak? Keluarga Damar sudah menunggu.” Tepukan halus dari tangan seorang ibu menyentakkan Dara, dan membuyarkan lamunannya. “Kamu cantik sekali, Sayang, Damar pasti akan semakin cinta padamu.”
Dara tidak menyahut. Kata-kata ibunya malah semakin membuatnya galau.

“Bu, boleh Dara bertemu mas Damar sebentar?”

“Loh, acara sudah akan dimulai, kalau kamu ingin bicara dengan Damar, nanti saja setelah acara selesai.”

“Tapi pembicaraan ini memang harus dilakukan sebelum acara dimulai, Bu, ini penting, Dara mohon, tolong Ibu panggilkan mas Damar.”

“Memangnya ada apa? Apa Ibu tidak boleh tahu?”

“Sekali lagi Dara memohon pada Ibu.”

Melihat wajah putrinya yang bersungguh-sungguh, Ibu Dara tidak dapat lagi menolak. Kemudian beliau keluar untuk memanggil Damar.

Dia harus segera berterus-terang sebelum semuanya terlambat. Jika memang hubungannya dengan Damar harus berakhir sampai disini, biarkanlah semuanya berakhir meski hati kecilnya tak ingin Dara kehilangan Damar.

Dari sekian laki-laki yang mendekatinya setelah perpisahannya dengan Galang, hanya Damar yang mampu membuatnya jatuh cinta kembali. Dunianya yang dulu kelam berubah berpelangi.

“Ada apa kamu memanggil mas kemari, Dara?” hanya selang dua menit, Damar muncul.

“Acara sudah akan dimulai, mereka semua sudah menunggu, memangnya apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Ini penting, Mas, Dara mohon, Mas dengarkan Dara baik-baik.” Dara menyilahkan Damar duduk di kursi yang ada didepan kekasihnya.

Sejenak Dara menarik nafas panjang sebelum dia memulai pembicaraannya.

“Sebelum Dara mengatakan siap menerima lamaran Mas Damar, Dara ingin bertanya, apakah mas Damar bersedia menerima Dara apa-adanya?”

“Tentu saja Mas bersedia menerima kamu apa adanya, Dara, kamu meragukan ketulusan cinta Mas padamu?”

“Sekalipun Dara katakan pada Mas, bahwa Dara sesungguhnya sudah tidak perawan lagi, dan Dara telah menyerahkan kehormatan Dara tanpa paksaan sedikitpun.

Maafkan Dara, Mas, selama ini Dara tidak pernah jujur pada Mas, Dara sangat mencintai Mas Damar dan Dara takut kehilangan Mas Damar, tapi melihat ketulusan cinta Mas Damar dan bagaimana Mas Damar melindungi Dara sebagai perempuan yang Mas anggap masih suci, Dara merasa bersalah jika tidak segera berterus-terang.

Dara sangat berterima kasih jika Mas bersedia menerima Dara apa adanya dan seumur hidup Dara akan mengabdikan diri pada Mas, Dara akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Mas, akan tetapi jika Mas Damar ingin meninggalkan Dara, silahkan, Mas, Mas tahu jalan keluarnya dan pintu masih terbuka.”

Damar memejamkan mata sekejap, kemudian dia menarik nafas panjang.

“Mas sudah tahu, Dara.”

Dara yang semula mengira Damar akan terkejut dengan keterus-terangannya, malah berbalik dia yang terkejut dengan ucapan Damar. Seketika wajah Dara memucat, bibirnya pun menggeletar menahan malu.

“Mas sudah tahu?”

“Sekitar setengah tahun yang lalu, Galang pernah datang menemui Mas, dia menceritakan tentang hubunganmu dengannya yang pernah terjalin dulu, bahkan dia juga menceritakan tentang kesucianmu yang telah kau serahkan atas nama cinta, dan meminta Mas untuk memikirkan kembali rencana Mas yang ingin menikahimu, saat itu Mas sangat terkejut, Mas bingung dan ingin sekali menanyakan kebenarannya padamu.

Tetapi kemudian Mas urung menanyakannya karena Mas percaya kamu, dan meski kamu memang benar-benar melakukannya, dulu Mas pernah mengatakan padamu, Mas mencintaimu apa-adanya, dan itu bukan hanya ucapan di mulut belaka, itu tulus keluar dari hati Mas Damar. Mas mengerti mengapa dulu kamu melakukannya, cinta memang membungkam logika. Mas mengerti, karena Mas juga pernah merasakannya, Mas pernah tenggelam karena cinta, sebelum Mas bertemu kamu, Mas juga pernah jatuh cinta pada seorang perempuan, begitu memujanya Mas pada perempuan itu lantaran cinta, Mas sampai bunuh diri setelah ditinggalkan olehnya.

Meski akhirnya selamat dan seseorang menyadarkan Mas bahwa cinta tidak akan berakhir sampai disitu saja. Jika memang dia tidak bisa Mas miliki berarti dia bukan jodoh Mas, tapi sekarang Mas bersyukur telah berpisah dengannya, karena ternyata perempuan itu tidak sebaik yang Mas kira dan karena berpisah darinya membuat Mas bertemu denganmu.”

Bulir kristal bening mengaliri pipi Dara, rasa haru menyelimuti hatinya mendengar kesungguhan laki-laki ini. Damar bukan hanya laki-laki baik, tapi dia tak ubahnya seperti malaikat. Bahkan setelah Damar tahu mengenai kecacatan kekasihnya, dia tetap memperlakukan Dara sesuci bidadari.

“Kita semua punya masa lalu, Dara, tetapi alangkah lebih baik jika kita mengubur masa lalu itu, biarkanlah semua menjadi sejarah, karena yang berada di depan menanti kita adalah masa depan yang harus kita songsong.”

Dara menyulam senyum di bibirnya. Ketika Damar mengulurkan tangan, tak ragu lagi kini Dara menyambut uluran itu. Didalam hati Dara pun berjanji akan menjaga kesucian cinta Damar dan akan mengabdikan dirinya pada Damar sebagai istri yang berbakti.


(Cat: cerita ini dibuat bukan untuk mendorong orang melakukan pergaulan bebas, tetapi hanya sekedar untuk mengingatkan bahwa cinta yang dilandaskan karena seks bebas itu hanya semu dan tidak akan pernah berakhir baik, kubuat cerita ini happy ending karena aku suka akhir yang bahagia)

Sang Defender

Sambil menenteng bola sepaknya, sehabis dia latihan Ari menghampiri Ina yang sedang memperhatikan pengumuman di madding mengenai class meeting yang sudah di selenggarakan selama dua minggu ini. Kelas Administrasi Perkantoran 1 bersaing ketat untuk meraih kemenangan melawan kelas Akutansi 3.

Score yang diraih anak kelas satu dan dua di akumulasikan berdasarkan jurusan untuk menentukan juara umum di SMK negeri 1 ini. Pengumuman siapa juara umumnya akan dilakukan setelah pertandingan paling akhir. Secara kebetulan saat ini sepak bola dari AP 1 yang diwakili oleh kelas sebelas dan AK 3 yang juga diwakili oleh kelas sebelas bertemu di final. Final sepak bola lah yang akan menjadi penentu juara umumnya.

“Wah… pertandingan final sepak bola kali ini menjadi penentu siapa juara umumnya.” Ina menoleh kearah Ari.

“Ini juga berkat Ina, kan?”

“Emangnya aku udah ngelakuin apa?” Ina mengangkat alisnya.

“Tahu nggak? Tahun kemarin kelas AP satu yang jadi juara umum di sekolah kita, sedangkan kelas kita score-nya jauh di belakang kelas AP satu. Tapi karena tahun ini Ina dapetin dua kejuaraan, score kita jadi menyusul kelas AP satu.”

Ina yang baru pindah kelas dua ini memang tidak tahu seperti apa pertandingan tahun lalu. Tapi saat dia jadi perwakilan untuk dua pertandingan acara class meeting, lomba renang dan debat bahasa Jepang dia berhasil menyabet juara pertama. Sehingga score AK 3 sekarang bersaing ketat dengan kelas AP 1, sang juara umum tahun lalu.

“Tapi aku dengar, sepak bola kelas AK tiga itu diandelin banget kan?”

“Iya sih, empat pemain dari kelas AK tiga jadi pemain inti andalan sekolah kita.”

“Dan sekolah kita jadi selalu memenangkan pertandingan sepak bola se-kabupaten, itu kan namanya prestasi besar.” Ari hanya tersenyum.

Memang membanggakan karena Ari merupakan pemain inti di SMK negeri 1 ini sebagai defender. Empat pemain inti lainnya juga berasal dari kelas 11 AK 3, Oktaf sang striker, Eki sang kipper dan Robby berdiri di posisi gelandang tengah. Anak-anak kelas SMK 1 ini juga sudah bisa menebak siapa yang akan menjadi juara umum kali ini.

Ketika mereka tengah asik mengobrol muncul Oktaf dan Eki yang diiringi segerombolan cewek-cewek. Memang bukan hal yang aneh di sekolah ini jika mereka berada dalam kerumunan cewek-cewek seperti gula yang dikerumuni semut karena mereka sangat populer. Mereka juga baru selesai latihan seperti halnya Ari dan cewek-cewek itu sehabis nonton Oktaf dan Eki latihan.

“Wuih… Oktaf sama Eki banyak penggemarnya yah?”

Oktaf dan Eki memang seperti IrNa Bachdim dan Markus Horison, atlet sepak bola yang namanya mulai terkenal setelah pertandingan hebat mereka di piala AFF. Guru-guru sampai menjuluki mereka Oktaf Bachdim dan Eki Horison.

“Namanya juga striker dan kipper andalan, pasti terkenal dan disukai cewek-cewek. Tapi yang kayak begitu itu bikin berisik tahu, setiap kali latihan mereka pasti heboh, apalagi kalau giliran Oktaf yang mendrible bola, pasti mereka pada screamer, Oktaf! Oktaf!” Ina tertawa melihat Ari menirukan teriakan cewek-cewek dan gaya mereka bersorak-sorai bak Cheerleader.

“Tapi mereka nggak tahu kalau defender juga nggak kalah hebatnya.”

“Defender itu jarang jadi sorotan, Na, namanya juga orang belakang, mana ada orang yang mau melirik ke belakang, semua orang itu pasti lihatnya ke depan.”

“Ah, itu cuma perasaan Ari aja, buktinya Paolo Maldini kan defender, dia terkenal sama lagi jadi kapten kayak Ari. Ari juga pasti bakalan kayak Paolo Maldini.” Ari tersenyum mendengar pujian itu. “Ari mau nggak janji sama aku, besok Ari bakalan menang?”

“Pasti.” Diacungkanya ibu jarinya.

“Kalau menang, mau aku kasih hadiah apa?”

“Emm… apa yah?” Ari menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Tapi lalu saat dia melihat bolanya, dia tersenyum. “Apa aja yang penting ada bolanya.” Ujarnya sambil menyorongkan bola ke hadapan Ina.

Ina mengangkat alis. Dasar Ari, maunya serba yang berbau bola.

Ina mengenal Ari pertama kali saat dia baru saja pindah rumah dari Bandung, Ina dan keluarganya menempati rumah kosong di blok C yang berjarak lima rumah dari rumah Ari. Saat bertemu di sekolah ternyata mereka sekelas dan wali kelasnya menempatkan Ina duduk disamping Ari.

Dari cerita teman-temannya dan cerita Ari sendiri, dia ini defender yang gila bola. Ina pernah main ke rumahnya ternyata di kamarnya banyak aksesoris serba bola. Dari mulai gantungan kunci berbentuk bola, poster pemain sepak bola idolanya sampai kaos bola. Pokoknya kamar Ari semuanya serba bola. Entah itu bergambar bola atau gambar lambang tim kesayangannya Real Madrid dan Milan.

Ari menggidolakan team sepak bola Real Madrid dari Spanyol, pemain yang paling diidolakannya sang kipper Iker Cassilas. Tapi selain itu, dia juga mengidolakan pemain-pemain lain dari tim sepak bola yang lain. Hampir semua pertandingan sepak bola selalu dia tonton sekalipun waktunya tengah malam.

Dari Ari lah, Ina jadi banyak tahu tentang sepak bola. Pemain andalan dari berbagai negara, negara yang pernah menjadi juara di ajang piala dunia, sampai mascot piala dunianya aja Ari hafal. Main game bolanya juga jago, kalau sudah main game bola pasti Ari lupa waktu. Dan karena Ari lah terkadang Ina iseng membaca Koran yang memuat artikel tentang bola. Kalau sudah bicara tentang bola, Ari pasti semangat makanya Ina sengaja membaca berita tentang bola agar bisa menyambung saat mengobrol dengan Ari.
***
“Ina, besok pertandingan final sepak bola yah? Kamu mau datang.” Nia mensejajarkan langkahnya dengan Ina yang sudah berjalan lebih dulu bersama dengan Kiki.

“Iya dong, Ina datang kan buat dukung aku.” Tiba-tiba Oktaf muncul diantara mereka. “Iya kan, Na, besok kamu mau datang?”

“Pasti… besok kan sekalian pengumuman kelas mana yang bakal jadi juara umum tahun ini.”

“Pasti kelas AK tiga dong… kan di kelas dua AK tiga ada striker nomor satu.” Oktaf menepuk dadanya dengan sombong.

“Jangan lupa, AK tiga dapat score tinggi kayak sekarang juga bukan karena sepak bolanya aja kan, tahun kemarin sekalipun kelas AK tiga juara sepak bolanya tetep aja kita nggak jadi juara umum.” Ujar Kiki.

Dia kesal sekali melihat sikap sombong Oktaf yang merasa dirinya sebagai striker nomor satu. Padahal sepak bola itukan dimainkan oleh sebelas orang jadi selain Oktaf masih banyak pemain-pemain lain yang hebat.

“Iya… iya… maaf deh. Na, aku janji besok aku bakal cetak hatrik buat kamu.”

“Buat aku? Kenapa?”

“Tunggu aja besok.” Oktaf lalu berlari menyusul teman-temannya yang lain untuk bersiap latihan kembali.

“Kamu nggak tahu, Na, Oktaf itu kan naksir kamu.”

“Ah, masa sih… itu cuma perasaan kalian aja kali.”

“Aduh, Nia, lihat temen kita ini, masa sih udah gede begini dia nggak bisa lihat sinyal cinta yang dikasih sama cowok sih?”

Ina bukannya nggak tahu dengan sinyal cinta yang diperlihatkan Oktaf padanya. Bagaimana dia sampai tidak tahu jika Oktaf memperlihatkan sinyal cintanya dengan terang-terangan. Padahal Ina udah lama suka sama Ari tapi si maniak bola itu kayaknya nggak pernah tahu perasaannya.

Bagaimana Ari bakalan menyadarinya jika di otak Ari yang ada cuma bola dan bola? Sepertinya selain bola nggak ada lagi deh yang dipikirkan oleh Ari. Ina sendiri tidak tahu, sejak kapan rasa sukanya pada Ari mulai muncul. Apa karena mereka sering bersama-sama makanya rasa suka itu pun akhirnya muncul? Kata pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta datang karena sering bertemu.

Sudah setahun ini Ina dan Ari bertetangga sekaligus teman sekelas. Setiap pagi Ari rutin menjemput Ina untuk ke sekolah bersama-sama. Dan kadang mereka pun pulang sama-sama. Saat Ari terkadang harus meninggalkan pelajaran karena latihan sepak bola untuk mewakili sekolahnya, catatan Ina lah yang menjadi andalannya. Catatan Ina rinci sehingga memudahkan Ari mempelajarinya. Mama Ina malah sudah menitipkan putri bungsunya ini pada Ari.
***
Lapangan sepak bola di SMKN 1 telah dipenuhi banyak penonton dan para pemain sudah bersiap akan bertanding. Dengan formasi 4-3-1-2 yang menjadi andalan kelas AK 3 dalam mempertahankan gawang agar tidak mudah kebobolan.

Ketika Ina datang, dia hampir saja tidak kebagian tempat kalau saja adik Ari tidak segera memberikan kursi untuk untuknya. Ternyata Nia dan Kiki juga sudah berada disana. Langit sore pun sepertinya mendukung pertandingan final kali ini. Warnanya nampak cerah biru lazuardi, angin sepoi-sepoi sesekali bertiup menembah kesejukan.
Kedatangan Ina bukan hanya untuk menonton pertandingan sepak bola tapi dia juga ingin memberikan hadiah pada Ari yang selalu menjadi juara. Bukan hanya menjadi juara sepak bola tapi juga selalu menjadi juara di hatinya. Ina sudah menyiapkan sekotak coklat yang dia buat sendiri dengan di bungkus alumunium foil sehingga bentuknya mirip bola-bola kecil.

“Kak Ina, aku dengar katanya kakak pacaran sama kak Oktaf ya?” Anya bertanya saat wasit sudah mulai membunyikan peluit tanda pertandingan di mulai.

“Ah, kata siapa? Gosip itu sih….” Ina mengibaskan tangannya. Gara-gara dia terkadang suka jalan sama Oktaf, gosipnya jadi menyebar kemana-mana. Tapi sebenarnya bukan hanya karena Ina suka jalan sama Oktaf tapi lebih karena sikap terang-terangan Oktaf dalam mendekati incarannya.

“Ina sih sukanya sama cowok bodoh yang maniak sama bola, An.” Sahut Nia.

“Emang siapa cowok bodoh itu? Pasti dia nggak nyadar ya, kakak suka sama dia? Duh… cowok bodoh gitu sih ngapain disukai.” Nia, Ina dan Kiki ketawa mendengar komentar Anya yang polos. Tidak sadarkah dia kalau yang dimaksud adalah kakaknya.
***
Pertandingan sudah hampir mendekati babak akhir. Oktaf menepati janjinya pada mencetak hatrick untuk Ina, sampai-sampai saat dia mencetak golnya yang ketiga, dia mengacungkan ibu jarinya pada Ina sebagai tanda bahwa dia telah menepati janjinya pada Ina.

Ina hanya tersenyum meski hatinya bingung sekarang. Dia tahu Oktaf menyukainya tapi yang dia sukai Ari, apa yang harus dikatakannya pada Oktaf? Tadi pagi dia mendapat telepon dari Eki yang memberitahukan sehabis pertandingan nanti Oktaf akan menyatakan cintanya dan menyuruh Ina bersiap-siap tapi biarpun sudah tahu Oktaf akan menyatakan cintanya, Ina tetap saja deg-degan.

“Waktunya sebentar lagi, kelas AK 3 pasti bakalan menang kayak biasanya.” Nia bersorak-sorak.

“Wah… si Eki jadi nih di nobatin sebagai kipper yang gawangnya nggak pernah kebobolan di pertandingan ini, gila Eki emang hebat.” Kiki menambahi.

“Eh, tunggu dulu… lihat… lihat bola ada di kaki lawan!” Ina berteriak.
Bola memang ada di kaki penyerang tim lawan, penyerang itu terlihat akan menendang dari arah kiri, Eki dengan cepat melesat lompat ke arah kiri dan berhasil dihalau Eki tapi bola yang masih hidup itu langsung disundul pemain lain dari arah berlawan. Bola meluncur, penonton pun menahan nafas, mungkinkah Eki sempat berdiri? Diluar dugaan ditahan kaki sang defender dan langsung di tendang keluar sebelum sempat menggetarkan gawang. Dan sang pahlawan itu siapa lagi kalau bukan Ari. Pendukung AK 3 langsung menarik nafas lega dan teriakan pun membahana.

“Ari emang defender yang hebat, kalau dia nggak ada belum tentu Eki bakalan jadi kipper yang nggak pernah kebobolan.” Ujar pelatih.
Peluit tanda pertandingan berakhir berbunyi. Pertandingan dimenangkan oleh kelas AK 3 dengan score 4-0. Pendukung AK 3 langsung bersorak-sorai merayakan kemenangan mereka. Ada yang berjoget-joget, menumpahkan air kekepala, dan bermacam lagi. Dengan begini sudah pasti AK 3 jadi juara umum class meeting kali ini dengan selisih score empat.

Setelah pertandingan usai dan para pemain keluar lapangan anak-anak cewek langsung mengerumuni si pencetak hatrick dan kipper. Tapi hanya beberapa saat Oktaf berada diantara mereka, setelah menerima ucapan selamat, Oktaf langsung menghampiri Ina and the gank yang sedang bersama Ari dan Anya.

“Ari, pinjam Ina-nya sebentar ya, aku pengen ngomong.”

“Oh, iya…” Ari menyahut kaku. Habis, Ina kan bukan miliknya jadi buat apa izin minjem Ina segala, dia kan bukan barang!

Dibawanya Ina ke tempat yang lebih sepi dari kerumunan orang-orang.

“Ina lihatkan, aku udah tepatin janji buat kamu.”

“Terima kasih, aku senang lihat kamu bertanding hebat banget hari ini.”

“Yang mau aku omongin ini sebenarnya kamu udah tahu, dari Eki, aku yang nyuruh Eki telepon kamu, aku emang suka sama kamu, Na, aku cinta sama kamu tapi aku tahu yang kamu suka itu Ari kan? Makanya aku sengaja nyuruh Eki nelepon biar kamu siapin jawabannya sekarang juga.”

Oktaf memang tahu siapa yang disukai oleh Ina, tetapi dia ingin Ina tahu bahwa cintanya pada Ina asli dan tulus.

“Maafin aku ya, aku nggak bermaksud nyakitin kamu tapi aku nggak bisa balas cinta kamu, Oktaf kan banyak penggemarnya pasti bisa temuin cewek yang lebih baik dari aku.”

“Iya aku tahu… nanti kalau aku punya pacar, cewek-cewek itu nggak mau deketin aku lagi.” Oktaf berusaha menghibur diri. Dia pura-pura tertawa padahal Ina tahu Oktaf sedih. Kemenangannya tidak bisa diiringi dengan kemenangan mendapat cinta. “Tapi si bodoh itu udah tahu kamu suka sama dia dan sebenarnya dia juga suka sama kamu tapi dia masih nggak berani bilang aja dan bisanya cuma sembunyi, nguping pembicaraan orang.” Ina terkejut mendengar ucapan Oktaf dan saat dia melihat kearah lain ternyata benar Ari keluar dari persembunyiannya. “Dia kayaknya nggak mau kehilangan kamu.”

“Kok elu tahu gue ngikutin sih, Ok?”

“Bau busuk lu tuh kecium dari puncak menara Eiffel sekalipun, udah sana cepet tembak Ina, aah… seneng lu ya, udah menang bisa dapetin Ina lagi, sirik gua! Hiks…hiks…” Ari hanya tertawa. Oktaf lalu pergi.

“Na, kenapa Oktaf kamu tolak? Dia kan ganteng, terkenal, apa lagi yang kurang?”

“Ya abis, dia kan bukan defender jadi aku nggak suka, kamu tuh nggak tahu apa dari dulu aku sukanya itu sama defender bukan striker kalau striker banyak penggemarnya aku nggak suka, tapi aku kok bodoh banget sih ya suka sama cowok bodoh yang belaga pilon dan masih nanya ‘kenapa kamu nggak suka Oktaf padahal dia ganteng, terkenal, apanya yang kurang?’ Nih hadiah buat kamu, udah ya dadah…” Diberikannya sekotak coklat yang sudah dibuatnya.

“Eh, tunggu…! Aku bukan cuma mau coklat dari Ina aja tapi mau hati Ina juga, mau yah jadi pacar sang defender bukan sang pujangga, defender nggak bisa loh bikin puisi, bikin suasana jadi romantis dengan kata-kata indah, tapi mendribble bola sih bisa, kalau dribble bola bisa bikin suasana romantis, aku mau lakuin buat Ina.”

“Bukan bikin suasana jadi romantis tapi bikin hati aku seneng.”

“Iya, apapun bakal aku lakuin asal Ina bahagia.” Ina tersenyum lalu dipeluknya Ari dengan bahagia.

“Aku mau jadi pacarnya defender.”

“Na, jangan di peluk dong… aku bau nih, kan tadi kata Oktaf, aku bau busuk.”

“Biarin.” Kemudian Nia, Anya dan Kiki muncul. Ari tidak tahu saat dia membuntuti Ina dan Oktaf tadi, ketiga cewek itu juga membuntutinya.

“Cieee… yang baru jadian.” Mereka bersorak. Buru-buru Ina melepaskan pelukannya karena malu.

“Hadiahnya apa sih kak, sini aku lihat.” Anya merebut kotak itu dari tangan abangnya. “Wuiihh… bola coklat, asik… aku mau dong!” Anya mengambilnya sebutir.

“Jangan! Nggak boleh.” Ari merebut kembali kotak beserta sebutir coklat yang sudah mau dikupas dari tangan Anya. “Coklat dari pacarku nggak boleh dimakan siapa-siapa, mau aku pajang di kamar.”

“Mau di pajang di kamar, biar nanti kamarmu habis dikerubungi semut.” Tukas Anya pura-pura sebal.

“Biarin.” Ari memajukan bibirnya gemas sambil tangannya merangkul pacar barunya.


(cat: cerita ini gue bikin waktu masih di SMA dulu, waktu gue masih belum belajar cara2 menulis cerpen, cerita jadul banget nih, tapi gue bikin sedikit perubahan dari cerita yg asli)

Jumat, 02 Desember 2011

Catatan So sweet.....

Sekitar tiga hari yang lalu, waktu gue lagi ngebimbing murid gue buat ujian praktek, tiba-tiba aja seorang bilang gini sama gue, "Bu, Ibu orang terkenal yah?" gue heran kan, "Maksudnya terkenal gimana?" Temen saya pernah bilang "Dewi Sartika sih penulis terkenal." wow! amin... gue sampe dibilang orang terkenal.

Gue ga nyangka kalo di dunia literasi, gue mulai dikenal banyak orang. Meski gue ngerasa, cerpen yang gue bikin belum ada apa-apanya, tapi ada juga yang menyukainya. Gue bakal terus berusaha, untuk mencapai sesuatu memang butuh perjuangan dan itu ga mudah. Ada kalanya kita jatuh dulu baru bisa mencapai apa yang kita inginkan.

Awalnya gue ngerasa juga ga bakalan bisa jadi cerpenis or novelis seperti impian gue selama ini, karena sering kali tulisan-tulisan gue selalu ditolak. Tapi setelah gue tahu rumus-rumusnya buat menulis cerpen, akhirnya tulisan gue diterima dan disukai masyarakat juga.

Emang sih gue ga serajin penulis-penulis lain yang punya segudang ide bikin cerita fiksi. (Kayaknya bikin cerita fiksi itu semudah bikin pisang goreng) Otak gue sih masih mentok bikin fiksi gimana mood aja. Tapi sekalinya ide ada emang luancar bukan main, kadang sampe ga bisa tidur dan satu cerpen (tanpa edit) bisa gue selesain dalam semalam. Walau seringnya gue mentok sama judul.

Gue berharap tulisan-tulisan gue di blog ini ada yang mau baca dan terima apalagi sampe suka dan memberi komentar.

Rio VS Nina

Wajah Nina memucat ketika dia tidak menemukan buku PR didalam tasnya, padahal dia yakin sekali telah memasukkan buku penting itu semalam setelah dia menyelesaikan tugas kimianya. Gawat, kalau sampai buku itu tidak juga ditemukan, bisa-bisa dia bakalan kena hukuman pak Sobirin. Apa jadinya kalau sampai dia kena hukuman pak Sobirin, memalukan sekali seorang sekretaris osis dihukum gara-gara tidak mengerjakan PR.

Sementara Nina terus mencari bukunya yang hilang dengan mengeluarkan seluruh perbendaharaan tasnya, dari arah luar terdengar suara sepatu yang menuju kearah kelasnya. Anak-anak kelas sebelas IPA langsung berhamburan kembali kedalam kelas setelah mengetahui pak Sobirin masuk. Wajah Nina semakin memucat karena bukunya tak kunjung dia temukan.

“Nin, lu kenapa?” Maya yang menyadari kepanikan teman sebangkunya jadi heran.

“Buku PR gue ilang.” Bisiknya setengah terisak. Dia takut posisi duduknya yang ada didepan malah membuat pak Sobirin menyadari kepanikannya.

“Waduh, gawat! Cepat cari lagi.”

Laki-laki paruh baya bertubuh tambun itu lalu duduk diatas singgasananya usai mengucapkan salam, kemudian perintahnya, “Anak-anak, cepat kumpulkan PR minggu kemarin.” Suara pak Sobirin yang tidak terlalu kencang namun tegas dan berwibawa membuat tubuh Nina kian gemetaran.

Haruskah dia mengatakan buku PR-nya hilang? Mungkinkah pak Sobirin akan memercayainya dan tidak memberikan hukuman padanya? Tidak mungkin. Pak Sobirin tidak akan berbelas kasihan pada anak yang punya seribu satu macam alasan, hanya karena dia tidak mengerjakan PR, tapi Nina sudah menyelesaikanya hanya saja buku itu sekarang raib dari tasnya.

“Kerdil, Lu butuh ini kan?” sebuah tangan menyodorkan buku PR milik Nina. Sontak Nina terkejut saat mengetahui ternyata buku PR-nya ada. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan lega, ternyata Rio yang berhasil menemukannya dan dia berbaik hati mau mengembalikannya. Tumben sekali.

“Yo, makasih udah nemuin buku gue.” Nina sudah terlanjur kegirangan tapi saat dia hendak meraih buku itu dari tangan Rio. Rio malah berkelit.

“Eit, tunggu dulu, ini nggak gratis loh.” Menganga mulut kecil Nina mendengarnya.

“Istirahat ini lu harus nraktir gue, kebetulan uang bulanan gue udah abis buat ngambil motor gue di bengkel, gimana lu mau nggak? Kalau nggak, jangan harap deh buku ini balik ke tangan lu, dan selamat menikmati hukuman.”

Menraktir Rio? Ya Tuhan… tidak salahkah dia mendengar? Menraktir Rio seorang itu kan sama dengan menraktir tiga orang, makannya rakus setengah mati. Tapi apa boleh buat, dia terpaksa harus merelakan uangnya daripada kena hukuman dari pak Sobirin.

“Ok, istirahat ini gue traktir elu.” Dengan berat hati Nina menyetujui permintaan Rio. Cowok berpotongan rambut harajuku itu tersenyum menang. Dikembalikannya buku PR itu pada pemiliknya.
***
Teman satu kelas Nina merasa terkejut ketika dia melihat sang sekretaris osis sedang jalan berdua dengan Rio menuju kantin. Bukankah mereka musuh bebuyutan atau keduanya sedang melakukan gencatan senjata?

Kapan terakhir mereka melihat Nina dan Rio jalan akur seperti sekarang ini? mereka sendiri sudah lupa. Seingat mereka, kalau keduanya bertemu pasti keributan yang akan terjadi. Tapi sekalipun mereka sering bertengkar sepertinya Nina memang tidak bisa jauh-jauh dari Rio.

Nina dan Rio sudah saling mengenal sejak masuk SMP, kebetulan keduanya bertetangga dan apakah itu yang dinamakan dengan jodoh? Selama lima tahun ini Rio selalu sekelas dengan Nina. Setiap hari mereka berangkat dan pulang sekolah bersama, Rio rajin sekali menjemput Nina dengan motor sport-nya. Dan sebenarnya keduanya saling melengkapi.

Rio yang paling malas mengerjakan PR Matematika selalu meminta bantuan Nina untuk mengajarinya dan Nina yang sekretaris osis selalu butuh catatan Rio jika dia harus meninggalkan kelas gara-gara urusan osis. Kadang-kadang Nina juga meminta bantuan membuatkan pidato jika dia diminta ketua osis membuat pidato.

Tapi Rio sering sekali menjahili Nina, dan kejahilannya itu memang diluar batas kewajaran. Ada saja perbuatan iseng yang dilakukan Rio, yang membuat Nina sering naik darah.

“Dil, elu nggak makan?” Rio memperhatikan Nina yang kembali ke meja dengan hanya membawa segelas Avocado juice.

“Lihat lu aja gue udah kenyang.” Nina menelan ludah melihat Rio sibuk dengan makanannya.

Dihadapannya sudah terhidang sepiring nasi plus lauknya, sebuah pisang ambon, avocado juice dan risoles sebagai cemilannya.

“Gue nggak sempet sarapan tadi pagi.”

“Nggak sempet sarapan? Kok bisa? Tadi pagi elu jemput jam biasa kan.”

“Yah, gue kan nggak mau elu sampe telat, elu kan sekretaris osis, malu-maluin amat kalau sampe elu datang telat.” Nina merasa terharu.

Jadi sebenarnya tadi Rio telat bangun tapi dia bela-belaan nggak sarapan cuma biar temannya nggak sampai telat karena nggak mau sampai sekretaris osis bikin malu almamater sekolah. Ternyata Rio punya sisi baik juga. Dia masih memikirkan kepentingan temannya, diatas kepentingannya sendiri.

“Aduh… sorry, Yo, elu sampe sengaja bela-belaan begini buat gue, gue jadi terharu dengernya, padahal nggak perlu segitunya kali, kalau emang elu telat, biar gue berangkat sendiri aja.”

“Makanya tadi gue sengaja umpetin buku PR lu biar istirahat ini elu traktir gue, anggap aja sebagai hukumannya.” Aku Rio tanpa dosa.

“Jadi elu yang ngumpetin buku gue?” belalak mata Nina. Dan dengan tenangnya Rio hanya mengangguk. “Elu tahu nggak sih, gimana gue takutnya tadi dimarahin pak Sobirin gara-gara buku gue ilang?!”

“Tapi elu nggak sampe dimarahin kan? Dan gue juga pasti nggak bakalan sampe setega itu ngebiarin elu dimarahin pak Sobirin.”

“Tetep aja, jantung gue udah hampir copot tadi, tahu! Nyesel gue udah minta maaf sama elu! Gue tarik omongan gue tadi!” Dihentakkannya kaki lalu dia pergi meninggalkan kantin. Dia benar-benar marah kali ini.

Bagaimana Nina tidak akan merasa jengkel, Rio tidak sarapan kan bukan kesalahannya dan anak itu sudah seenaknya saja membuatnya sport jantung dan menguras uang sakunya. Padahal bulan ini uang sakunya sudah mulai menipis.

Kalau saja tadi Rio tidak memaksakan diri menjemput tepat waktu sampai nggak sarapan, dia kan bisa berangkat sendiri dengan angkutan umum.

“Dil, jangan marah gitu dong, Dil… Gue kan tadi cuma becanda.” Dikejarnya Nina yang sudah hampir mencapai pintu. “Iya deh, gue minta maaf udah bikin elu sport jantung.” Tanpa rasa berdosa Rio masih mengulum senyum dibibirnya.

“Nggak ada maaf buat elu! Mulai hari ini elu nggak perlu anter jemput gue lagi ke sekolah, mending gue pergi sendiri naik angkot! Dan satu lagi, jangan pernah panggil gue kerdil! Nama gue Cantika Ninaia Ariesta, jadi panggil gue Nina.” Ditinggalkannya Rio yang masih berdiri mematung.

“Dil.” Suara Rio terdengar memelas memanggil sahabatnya. “Kerdil, maafin gue.” Nina sama sekali ogah menoleh. “Nina.” Sudah berapa tahun tak pernah Nina mendengar Rio memanggilnya dengan wajar dan saat panggilan itu terdengar dari suara Rio, mau tidak mau Nina ingin tertawa juga. Tapi karena gengsi dia tetap tidak menggubris Rio.
***
“Berantem lagi sama Rio?” Maya berbisik sambil melirik ke arah meja Rio yang berada dua baris di belakang mereka.

Dari jam istirahat tadi sampai satu jam lagi kelas hampir bubar, Rio dan Nina memang belum baikan. Di jam terakhir ini, guru biologi mereka nggak masuk dan guru piket menyuruh siswa-siswi belajar sendiri di kelas. Biasanya disaat seperti ini aksi Rio mengerjai Nina pasti akan muncul lagi tapi sedari tadi cowok ganteng – kata anak perempuan lain kecuali Nina – itu masih duduk anteng di kursinya.

“Nggak usah nanya.” Nina menyahut pendek.

“Ada apa lagi sih?”

“Gue males bahasnya.”

Maya hanya mengangkat bahu. Yah, begitulah Rio dan Nina. Tak pernah berhenti-berhentinya bertengkar. Rio memang selalu jahil spesialisasi untuk Nina, dia masih bersikap wajar pada teman perempuan lainnya malah cenderung romantis dan agak gombal. Teman-temannya menganggap kejahilan Rio bukanlah karena dia iseng tapi karena sebenarnya dia menyukai Nina, tapi tak bisa mengungkapkannya.

Persahabatan perempuan dan laki-laki jarang ada yang abadi malah bisa dibilang tidak pernah ada yang abadi. Pasti ujung-ujungnya diakhiri dengan percintaan. Karena pepatah jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino memang tidak salah. Tapi mungkin untuk Nina dan Rio semua itu belum berlaku.

“Emang elu nggak bisa maafin Rio?”

“Maafin dia?” suara Nina meninggi membuat Rio mau tidak mau menoleh ke mejanya. “Tunggu sampai satu dollar harganya seribu rupiah!”

Astaga! memangnya kapan satu dollar bisa seharga seribu rupiah? Waktu zaman orde baru aja satu dolar harganya dua ribuan.

“Dosa loh, nggak maafin temen sendiri.”

“Maya, udah deh…, elu tuh sebenernya ada di pihak siapa sih? Elu kan temen gue, kok malah berpihak sama dakocan itu?”

“Gue ngerasa sayang aja kalau elu sama dia sampai berantem.”

“Sayang?” dahi Nina berkerut heran. “Apa yang perlu disayangin?”

“Semua cewek tuh pengen bisa deket sama Rio, elu yang udah segitu deketnya malah berantem terus, sayang kan? Mereka tuh sirik sama elu, Nin.”

Mata Nina membelalak.

Cewek-cewek ingin deket dengan Rio? Apa nggak salah denger dia. Emang apa sih hebatnya Rio? Dia nggak ganteng-ganteng amat, pinter juga nggak, cuma lantaran jago basket, terus mereka pengen deket sama Rio? Nina aja merasa bosan terus bersama dengan sahabatnya itu.

“Wah, gue mesti ngomong nih sama anak-anak cewek di sekolah ini, kalau perlu bakal gue umumin lewat speaker masjid, gue bakalan bilang sama mereka kalau Rio itu bukan cowok nyenengin buat dideketin, gue aja bosen sampe pengen muntah rasanya, hoek!” Nina berpura-pura mual sambil menekan perutnya dengan sebelah tangan.

“Itu kan menurut lu, yang udah dari kecil bareng dia terus.”

Kalau dipikir-pikir, jika Nina berada di posisi mereka, pasti Nina juga akan merasakan hal yang sama. Meski wajahnya nggak ganteng-ganteng amat, yah, satu tingkat lebih ganteng dari Afgan lah, tapi Rio memang pujaan banyak cewek. Maklum, dia kan bintang basket. Sekalipun otaknya mentok di IQ rata-rata, tapi sewaktu mendrible bola lalu menembakkannya ke keranjang, Rio memang memesona. Aksinya selalu membuat cewek-cewek histeris, untung nggak sampe pingsan juga.

Nina lalu menatap Rio, diperhatikannya lebih seksama wajah Rio. Entah apa yang menarik dari seorang Rio, selain saat Rio bermain basket Nina tak melihat ada yang istimewa. Apa mungkin karena dia sudah terlalu lama bersama dengan Rio jadi baginya Rio biasa-biasa saja. Sebenarnya apa yang dikagumi cewek-cewek itu dari Rio?

Nina tersentak kaget saat dia tersadar telah terlalu lama memperhatikan laki-laki itu. Rio yang menangkap basah dirinya telah menatapnya dengan sorot penasaran, melemparkan senyum yang terasa begitu berbeda. Menawan. Langsung menusuk hatinya membuat Nina tiba-tiba merasa berdebar.

Teeet….teeet….teeett

Bel akhir pelajaran pun berbunyi. Anak-anak yang telah jemu selama dua jam pelajaran berada di kelas, langsung bersorak dan berhamburan keluar. Rio yang sejak tadi sibuk di kursinya pun ikut beranjak lalu dia melangkah mendekati Nina.

“Cinta, maafin aku yah.” Bisik Rio lembut membuat Nina tertegun bengong. “Kamu mau kan maafin aku?” bisiknya sekali lagi sambil menyodorkan sebuah kotak kecil ke tangan Nina. Kontan kelakuan Rio membuat kelas jadi geger.

Mata Nina menyipit. Dia curiga.

Tumben sekali Rio bicara dengan tutur kata yang halus. Pakai ngasih kado segala. Jadi ini yang membuatnya dari tadi sibuk di kursinya. Tapi Nina tidak langsung percaya dengan kata-kata manisnya meski diterimanya juga kado itu.

“Yo, nggak perlu pake minta maaf gini lah, gue tahu, gue yang berlebihan sama elu, So, gue udah maafin elu kok.” Nina menyinggungkan senyum. “Gue terima itikad baik elu, tapi kayaknya mending gue minta tolong Kiki aja yah buat bukain kado ini?” diserahkannya kado itu pada cowok agak keayuan disebelah Nina.

Rio ingin mencegah Nina memberikannya pada Kiki, tapi dia tidak bisa membuka mulutnya. Dibiarkannya juga Kiki membuka kado itu yang kemudian….

“Aaaaahhhh!” Kiki cowok yang paling takut ama kodok, lalu kocar-kacir menggebah seekor kodok yang berhasil hinggap di dadanya. Terjadilah kehebohan karena kodok itu melompat kesana-kemari.

“Lu pikir, gue baru kenal elu kemarin sore, gue tahu yang ada di kepala lu selain ketombe isinya cuma niat busuk buat ngerjain gue!” Semprot Nina kesal. Rio hanya garuk-garuk kepala merasa telah gagal mengerjai Nina. “Gue benci sama elu, Yo! Gue berharap seumur hidup gue nggak pernah kenal sama cowok macam elu!”

“Na. Nina. Iya, gue minta maaf.” Segera Rio mengejar Nina yang melangkah dengan cepat. Ditariknya tangan Nina saat gadis itu tidak memerdulikannya, tapi Nina malah menepis tangan Rio kencang.
***
Di kelas Nina kedatangan murid baru. Cewek cantik nan anggun bernama Sri. Dia duduk semeja dengan Rio, karena hanya tinggal di meja Rio saja ada bangku kosong. Ada barang baru, tentu anak-anak cowok langsung mengerumuni Sri, kebetulan mata pelajaran berikutnya gurunya tidak bisa masuk.

Beruntung Rio yang duduk disebelahnya bisa berkenalan langsung. Dan hari ini Nina bisa berdamai karena pada jam kosong Rio tidak menganggunya, dia bisa membaca buku dengan tenang.

Nina berharap hari-hari seperti ini bisa dia rasakan setiap hari. Tanpa gangguan Rio sungguh menyenangkan, dia bisa membaca buku dengan berkonsentrasi, bisa menghabiskan jajanan di kantinnya tanpa ada yang merampas. Tidak perlu merasa cemas barang-barangnya yang hilang atau rusak karena ulah Rio. Hidup memang indah jika semua berjalan normal dan damai. Dan selama ini Nina telah menganggap hidupnya tidak damai.

Harapan Nina terkabul, Rio benar-benar tidak pernah mengganggunya sama sekali. Dia selalu bersama Sri, gadis berdarah jawa dengan kulit hitam manis itu telah di monopoli oleh Rio. Anak cowok yang lain menggerutu kesal karena merasa hak-haknya untuk menarik perhatian Sri telah dirampas oleh Rio. Rio sudah seperti pengawal pribadi putri dari negeri antah berantah saja, setiap waktu selalu berada di samping Sri.

Sri dan Rio tampak sangat akrab, padahal Sri baru genap sepuluh hari menjadi murid baru. Tapi mereka seperti sudah mengenal lama saja, padahal teman sejak kecil Rio kan hanya Nina. Sri yang tiba-tiba muncul diantara mereka mengapa jadi akrab sama si dakocan menyebalkan itu? Apa jangan-jangan Rio naksir Sri?

Nina memang merasakan kedamaian karena Rio sudah tidak pernah menganggunya lagi, tapi kenapa dia merasa hampa. Rio memang masih suka mengantar-jemputnya, tapi sepanjang perjalanan tetap saja merasa hampa, Rio melakukan tugas itu hanya semata karena rumah mereka tidak terlalu jauh. Nina merasa sebal.
***
“Nina, pensil elu jatoh.” Nina menerima pensil dari tangan Rio dengan hati kecewa. Padahal dia sudah sengaja menjatuhkan pensilnya, berharap Rio kembali menjahilinya lagi dengan mematahkan pensilnya dan berpura-pura pensil itu patah karena terinjak olehnya. Tapi Nina malah lagi-lagi melihat keakraban Rio dan Sri.

Rio malah berlalu pergi setelah mengembalikan pensil Nina, dan mereka bercanda-canda dengan gembira. Nina jadi merasa dongkol melihatnya. Rasanya Nina ingin mengeluarkan penghapus lalu menghapus gambar Rio dan Sri dari hadapannya.

“Rio!” dengan kesal Nina berjalan menghampiri Rio yang berhenti mendengar panggilannya.

“Ada apa, Nin, gue nggak matahin pensil elu kan?”

“Kenapa sih elu nggak gangguin gue lagi!” Rio menatap Nina dengan heran. Kemarin-kemarin Nina nggak mau diganggu olehnya lagi, sekarang Nina malah bertanya kenapa dia nggak mengganggunya.

“Kan elu sendiri yang benci sama gue dan berharap gue nggak ganggu elu lagi, yah gue rasa emang sebaiknya nggak perlu ganggu elu lagi, gue juga ngerasa bersalah selama ini selalu gangguin elu.”

“Gue….” Mata Nina berkeliaran sebelum melanjutkan kata-katanya. Sepertinya dia telah mengundang banyak pasang mata dengan teriakannya tadi. Sekarang disekelilingnya banyak orang yang memerhatikan mereka. “Gue kesepian karena elu nggak pernah gangguin gue lagi, Rio.”

“Huuu….” Teman-temannya berteriak. “Dia jealous tuh, Yo!” seseorang menukas.
“Jelaslah Rio lebih milih Sri, Sri kan baik, lembut lagi, elu galak sih, Nin.” Jody malah semakin menambah panas hati Nina.

“Trus mau lu sekarang apa, Nin?” Rio memegang lengan Nina.

“Gue pengen Rio yang dulu suka gangguin gue balik lagi, karena gue… gue sayang sama elu.” Nina menggigit bibirnya. Ya Tuhan… kenapa kata-kata itu keluar dari mulutnya? Ditatapnya Rio menunggu reaksinya, tapi cowok itu malah tersenyum lalu mengedipkan mata ke arah Sri.

“Yes! Kita berhasil, thanks berat ya, elu udah bantuin gue, Nina emang perlu dikerjain dulu sih.” Nina tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan Rio.

“Elu kan sepupu gue, wajarlah kalau gue bantuin elu.”

Sepupu? Nina menatap Sri dengan tertegun. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali sepupu Rio? Mereka sudah berteman lama dan dia mengenal hampir semua keluarga Rio, seingatnya sepupu Rio nggak ada yang berasal dari Jawa.

“Lu lupa sama gue, Nin? Ya ampun… cewek kalau udah terserang penyakit jealous emang terlalu ya, masa sama temen sendiri elu lupa? Gue Katrina Sri Eka Wulandari, sepupu Rio, padahal gue udah kenalan pake nama asli dikelas cuma gue sengaja nggak kasih tahu nama depan gue aja, tapi gue nggak nyangka kalau elu sampe nggak kenalin gue, ternyata akting gue jadi cewek asal Jawa yang lembut dan kemayu bagus juga ya, sampe bisa nipu temen gue sendiri.”

Nina tertegun. ternyata Sri yang selama ini dia cemburui adalah sepupu Rio, temannya semasa kecil dulu. Jelas saja Nina tidak mengenali, mereka sudah lama tidak bertemu sejak Sri pindah ke Surabaya saat kelas tiga SD dan Sri yang dulu tomboy sekarang feminine sekali dengan rambut panjangnya yang bergelombang dan benar-benar mirip gadis keraton. Nina jadi takjub.

“Sialan, elu ngerjain gue ternyata.”

“Lagian siapa suruh elu nggak juga jadian sama Rio, dia itu udah cinta mati sama elu dari SMP tahu. Gue bete pas gue balik lagi dari Surabaya ternyata elu sama Rio masih sama kaya waktu kecil, Rio masih suka ngerjain elu dan elu selalu teriak-teriak kayak orang stress. Karena gue pindah kesini, makanya gue ngusulin buat ngerjain elu, kebetulan elu juga nggak ngenalin gue karena kita udah lama nggak ketemu, ternyata rencana gue berhasil, tapi gue serem lihat muka cewek jealous ternyata mirip setan.”

Nina melongo. Ya Tuhan… dia sama sekali nggak sadar sudah memperlihatkan wajah cemburu pada Sri selama ini.

“Maaf ya, udah bikin kamu kesal.” Rio mengulurkan tangan. Dengan rasa malu Nina membalas uluran tangan Rio. “Aku juga sayang Nina, kita jadian yah.” Rio sampai harus memiringkan kepalanya untuk bisa menatap Nina karena Nina berusaha menyembunyikan wajahnya.

Cinta Pertama Untuk Dea

“Dea, aku suka kamu, mau nggak kamu jadi pacarku?”

Tertegun Dea mendapat pernyataan cinta mendadak dari Tyan.
Mata Dea membelalak dengan mulut menganga, saking kagetnya. Baru saja dia keluar dari kelasnya dan pikirannya masih mumet gara-gara test matematika yang baru dihadapinya, tiba-tiba cowok berbadan gempal dari kelas sebelah ini malah menyatakan cintanya. Dan Dea hanya bisa terdiam mematung.

Teman-teman Dea ber-huu ria menggoda. Nina dan Maya yang berdiri di samping Dea menyenggol lengan Dea. Tapi Dea masih tidak bereaksi, jiwanya seperti melayang dari raganya.

“Dea.” Tyan mencoba menyadarkan Dea dari lamunannya. “Kamu belum jawab pertanyaan aku.”

“Aku nggak mau!” Dea berteriak histeris dan lari tunggang langgang, seperti dia baru saja ditagih hutang dan dia nggak mau bayar.

Mereka tertegun melihat reaksi Dea yang diluar dugaan itu.

Kalau mau menolak, kenapa Dea sampai lari terbirit-birit begitu? Padahal Tyan merasa dia tidak berbuat salah. Dia hanya menyatakan cinta dan ingin menjadi pacar Dea, tapi….
***
Boy heran melihat adiknya yang muncul dengan wajah pucat dan nafas terengah-engah. Sebagai kakak tentu saja Boy khawatir, dia tidak mau terjadi apa-apa pada adik kecilnya ini.

“Dea, kamu kenapa?”

“Nggak. Aku baik-baik aja.” Dea menggeleng kencang sambil dia naik ke boncengan motor abangnya, tapi nafas Dea yang masih belum teratur membuat Boy makin curiga.

“Bohong! Pasti ada yang kamu sembunyiin kan, ayo bilang sama kakak?”

“Aku nggak apa-apa, kak!” suara Dea tiba-tiba agak meninggi. “Kalau aku bilang nggak apa-apa ya nggak apa-apa, udah sih jalan aja.”

“Turun!” Boy menukas. Dea hanya terdiam, dia sadar Kakaknya marah. “Kamu pikir Kakak ini tukang ojeg apa, enak aja kamu bentak Kakak kaya begitu.”

“Maaf, kak.” Dea tertunduk.

Boy lalu menstater motor sport-nya. Ketika motor sport itu meluncur meninggalkan halaman sekolah Dea, Tyan muncul bermaksud ingin meminta maaf pada Dea.
***
Sikap Dea semakin mengherankan ketika mereka tiba di rumah. Dea tidak langsung mencari Mama seperti biasanya, dia malah langsung menuju kamarnya di lantai atas. Mama yang dari dapur sudah terburu-buru keluar untuk menyambut putrinya jadi tertegun heran.

“Dea kenapa, Boy?”

Si sulung mengangkat bahu.

“Waktu aku jemput juga, tingkah dia udah aneh, masa tadi aku dibentak.”

“Dea bentak kamu?” Mama merasa sangsi.

Mama merasa sangsi bukan karena mengira Boy berbohong tapi lebih karena sikap tidak biasa Dea.

“Iya, aku juga tadi kaget, Ma. Masa aku cuma tanya, dia malah bentak aku.”

“Ya udah, biar Mama temui dia dulu, kamu kalau mau makan sudah Mama siapkan, tapi ganti baju dulu.” Mama lalu melangkah meniti anak tangga menuju kamar Dea. “Dea.” Di depan kamar Dea, Mama mengetuk pintu.

“Masuk, Ma, nggak dikunci.”

Setelah mendapat izin dari si empunya kamar, Mama lalu membuka pintu kamar bernuansa pink itu. Dihampirinya putrinya yang sedang duduk di depan cermin, seragam biru-putihnya belum sempat dia ganti. Tas dan sepatu juga masih berserakan dilantai.

“Ada apa anak Mama, kok hari ini sikapnya aneh?”

“Nggak ada apa-apa, Ma.” Dea menyahut pelan. Tidak mungkin dia beritahukan pada Mama atau Boy mengenai kejadian di sekolah tadi.

“Bener nggak ada apa-apa?”

“Bener, Ma, nggak ada apa-apa.”

“Kalau nggak ada apa-apa, kok sikap Dea sekarang aneh sih? Pulang sekolah langsung pergi ke kamar, biasanya Dea langsung pergi ke dapur cari makan, trus tadi katanya kak Boy kamu bentak, memangnya kenapa?”

“Aah…, kak Boy tukang ngadu, kan aku juga tadi udah minta maaf.”

“Eh, kak Boy ngadu, karena dia khawatir sama kamu, Dea. Kamu ditanya malah bentak kak Boy, gimana kak Boy nggak bakal ngerasa heran dan khawatir sama sikap kamu.”

“Dea baik-baik aja kok, Ma, suer deh, kalau ada apa-apa Dea pasti bakal bilang sama Mama.” Kalau aku bisa ceritanya sama Mama itu juga.

“Bener yah, kalau ada apa-apa kamu cerita sama Mama.”

Dea mengangguk meyakinkan Ibunya kalau dia baik-baik saja.
Setelah Ibunya pergi, Dea beranjak dari tempat duduknya lalu menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar yang telah dilukis ayahnya dengan langit malam berhiaskan bintang. Meski matanya memandangi langit kamar tapi saat ini pikiran Dea menerawang mengingat kejadian siang tadi di sekolah.

Kenapa sih Tyan malah nembak dia? Padahal banyak cewek yang menyukai si ketua osis itu, tapi kenapa Tyan malah memilihnya? Lagipula Dea masih belum mengerti apa artinya cinta, baginya semua cowok sama saja. Dia sayang Tyan seperti juga dia menyayangi teman-temannya, tidak ada yang istimewa.

Teman-temannya sampai sering meledek Dea belum dewasa lah, hormonnya tidak normal lah, karena di usianya yang sudah empat belas tahun, Dea belum pernah jatuh cinta.
Memangnya apa sih pentingnya jatuh cinta? Pacaran? Kan masih anak kecil. Dea bergumam. Guru-guru dan orang tua aja malah melarang kita pacaran, trus ngapain harus bantah perintah guru dan orang tua?
***
“Kak Hanna, jatuh cinta itu seperti apa sih rasanya?”

Hanna tertegun mendapat pertanyaan dari adik bungsunya. Malam-malam Dea menggedor-gedor pintu kamarnya hanya sekedar menanyakan seperti apa rasanya jatuh cinta?

Dia jadi bingung jawaban apa yang paling tepat untuk diberikan pada adiknya? Hanna tidak pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari adiknya, apalagi tengah malam begini. Kalau tidak salah saat dia seumur Dea, dia tidak pernah menanyakan apa rasanya cinta, semua mengalir begitu saja.

“Jatuh cinta itu….” Hanna melipat tangan diatas perutnya. “Rasanya seperti apa ya?” Kali ini dia menggerak-gerakkan kakinya lalu mengetuk-ketuk pelipis dengan jarinya.

“Coklat. Iya, rasanya seperti coklat dan indah seperti pelangi.” Kali ini giliran Dea yang tertegun. Jatuh cinta itu rasanya seperti coklat? Emangnya bisa dimakan yah? Atau hanya bisa dipandang seperti Pelangi? Dea semakin bingung. “Udah…, ah. Udah malem juga tanya-tanya yang begituan lagi, besok aja tanya sama Mama.” Hanna menutup pintu kamarnya tanpa memberi kesempatan Dea kembali bertanya.

Dea makin bingung. Padahal dia sudah memberanikan diri bertanya pada kakak perempuannya yang dia anggap sudah mengerti, karena sudah SMA, ternyata Hanna malah kasih jawaban yang bikin dia tambah bingung.

Kakaknya malah menyuruhnya tanya Mama. Kalau dia berani juga, dari kemarin siang sudah ditanyakannya sama Mama. Dea merasa malu dan takut, kalau Mama marah gimana? Atau Mama malah menggodanya seperti teman-temannya.

Tanya sama kak Boy juga rasanya nggak mungkin. Terbayang olehnya, kak Boy pasti akan berkata dengan galak, “Jangan! Kamu nggak boleh pacaran! Siapa cowok yang udah mempermainkan kamu, biar aku hajar!”

“Hauf…” Dea mendesah.

Gara-gara pernyataan cinta Tyan kemarin, dia jadi nggak bisa tidur semalaman, memikirkan apa rasanya jatuh cinta. Untung saja hari ini hari minggu, jadi dia nggak perlu ke sekolah dan nggak perlu ketemu Tyan.

Dentang jam berbunyi satu kali saat Dea kembali ke kamarnya, sontak Dea terkejut.
Ya Tuhan! Sudah jam satu malam, hari minggu kan biasanya dia datang! Aduh… aku nggak boleh kelihatan pucat gara-gara kurang tidur nih.
Bergegas Dea melompat ke atas tempat tidurnya.
***
Hari minggu. Hari yang sangat indah. Sangat…sangaaaat indah buat Dea. Karena hari minggu akan ada seseorang yang datang. Pagi-pagi sekali Dea sudah bangun untuk melakukan jogging keliling kompleks perumahan yang terletak di belakang kampus Untirta, biarpun mata masih setengah mengantuk tapi Dea memaksakan diri untuk jogging.

Sehabis jogging selama satu jam, Dea pergi ke dapur membuat kripik singkong. Dia kan suka banget sama kripik singkong buatannya, dan untuk menu makan siang, akan dibuatkannya sop daging sapi dan tempe goreng. Hem, dia kan suka banget sama tempe goreng.

Dea menengok kulkas. Semua bahan yang dibutuhkannya sudah tersedia. Senyumnya pun terkembang. Saatnya dia sibuk didapur.
***
Perfect. Dea tersenyum puas. Kripik singkong sudah siap, menu makan siang juga sudah terhidang di meja.

“Dea, kamu masak buat Papa yah, kebetulan sekali sudah waktunya makan siang, Papa sudah lapar nih.”

“Eh, bukan. Buat Papa ada kok, udah Dea siapin, Dea simpen di lemari.”

“Trus ini buat siapa?”

“Buat… buat…”

“Pasti buat Dian, Pa.” tiba-tiba Hanna muncul.

“Dian?” dahi Papa berkerut. “Dian temennya Boy? Guru private matematika Dea itu? Kamu suka Dian, De.” Dea terdiam mendengar tebakan Papanya.

“Tahu tuh, Pa, genit. Semalem aja tengah malam dia gedor-gedor pintu kamar aku buat tanya rasanya jatuh cinta, ngapain coba tanya-tanya kayak begitu.”

“Loh, bukannya kamu pacaran sama adiknya? Ituloh si ndut Tyan.” Mama yang sedang ada di dapur ikutan nimbrung.

“Mama tahu darimana?” tanya Papa.

“Kemarin pulang sekolah tiba-tiba Dea langsung mengurung diri sampai sore, Mama khawatir trus Mama telepon Maya, kata Maya Dea ditembak Tyan tapi dia malah lari kocar-kacir kayak dikejar maling sambil bilang nggak mau.”

Sontak Papa dan Hanna tertawa mendengar penjelasan Mama.

“Papa nggak ngelarang kok Dea pacaran, tapi harus tahu batas, jangan ngelakuin hal yang macam-macam.”

“Tapi Dea nggak suka Tyan, Pa.” tukas Dea kemudian. Dia merasa sebal tiba-tiba saja orang tua dan saudaranya menyinggung Tyan, padahal dia sedang tidak ingin mengingat Tyan.

“Tapi ngomong-ngomong Dian kemana yah? Kok sudah jam sebelas belum datang juga? Bukannya belajar private Dea itu jam sepuluh?”
***
Dea memerhatikan lampu merah yang belum berubah dengan perasaan cemas. Padahal tujuannya hanya ke kompleks Ciceri Permai tempat tinggal Dian, yang hanya diperlukan waktu tempuh kurang lebih setengah jam. Tapi kenapa setengah jam kali ini terasa sangat lama? Sup yang sudah dimasaknya sejak tadi pasti sudah dingin.

Ketika mereka sedang membicarakan Dian tadi, yang datang malah telepon dari Tyan yang mengabarkan guru private Dea baru saja mengalami kecelakaan saat akan menuju kerumahnya, jadi dia tidak bisa mengajar hari minggu ini.

Dea tentu saja panik, meski Tyan mengatakan abangnya tidak mengalami luka parah dan sedang beristirahat di rumah tapi Dea tetap saja cemas. Dengan izin dari Mama dan Papa, Dea pergi ke rumah Dian untuk menjenguknya. Tidak lupa dibawanya sup dan kripik singkong buatannya.
***
“Dea, ngapain kamu kesini?” Dian terkejut saat melihat kedatangan Dea di rumahnya.

“Kak Dian nggak apa-apa?” Dea semakin cemas melihat tangan Dian lecet-lecet.

“Nggak apa-apa kok, De, cuma luka kecil, lecet ini juga karena nggak pakai jaket, habis karena kakak bangun kesiangan jadinya buru-buru trus lupa pake jaket, di lampu merah dekat Carrefour motor kakak diserempet, emang kaki juga keseleo sih. Eh, masuk yuk, De.”

Dea masuk setelah dipersilahkan.

“Aku bawain sop sama kripik singkong nih.”

“Ya ampun… jadi ngerepotin, padahal nggak usah pakai nengok segala, kakak nggak apa-apa kok, besok juga udah bisa kuliah lagi. Oya, Tyan ada dikamarnya tuh, nggak mau ketemu sama Tyan?” Dea menggeleng. “Katanya baru jadian sama Tyan.”

“Siapa yang bilang?” Dea terkejut.

“Loh emangnya nggak gitu? Kemarin Tyan bilang kalian baru jadian.”

Dea nyengir. Dasar Tyan nyebarin gossip yang nggak-nggak, awas kamu!

“Aku aja nggak tahu jatuh cinta itu apa, tanya sama kak Hanna, katanya seperti makan coklat dan lihat pelangi.”

Dian tertawa mendengarnya. Dasar Hanna, tega sekali dia membuat adiknya bingung.

“Maksud kak Hanna mungkin begini, karena cinta itu kadang rasanya manis tapi kadang juga pahit seperti coklat, Dea tahu kan nggak semua coklat manis, malah aslinya coklat kan pahit. Tapi cinta juga indah seperti pelangi, berwarna-warni, kamu nggak perlu tanya seperti apa rasanya cinta karena pertanyaan itu emang nggak bisa dijawab cuma bisa dirasain, perasaan itu bakal datang dengan sendirinya, suatu hari kamu bakal ngerasain yang namanya jatuh cinta, waktu kamu nggak bisa tidur karena terbayang terus cowok yang kamu suka, waktu kamu ngerasa senang saat ketemu dia, atau merasa cemas kalau kamu nggak dengar kabarnya.”

“Aku pernah ngerasain perasaan kayak begitu.”

“Oya? Sama siapa?”

“Sama kak Dian.” Tertegun Dian mendengar pengakuan Dea. “Kalau aku ketemu kak Dian pasti aku merasa senang, tiap hari rasanya pengen hari minggu terus, nunggu hari minggu itu buat aku kayak nunggu tahun baru, lama banget, kalau kak Dian nggak dateng atau telat aku jadi kuatir takutnya ada apa-apa, setiap berdua sama kakak rasanya nafasku sesak, jantungku terus berdetak kencang, aku lebih senang ketemu kak Dian daripada ketemu Tyan, apa itu yang namanya jatuh cinta?”

Dian diam seribu bahasa, dia tidak menyangka muridnya akan menyatakan cinta seperti ini. Haruskah dia merasa senang atau merasa sedih. Dian memang menyayangi Dea tapi tentu saja sebagai adik, karena Dea adik sahabatnya juga teman adiknya, tapi untuk menyakiti hati Dea, Dian juga tidak sanggup.

Selasa, 29 November 2011

Tamu Ayah

Jika hari sabtu malam minggu telah datang, tamu Ayah Annisa pasti berkunjung. Seorang laki-laki berperawakan tinggi sedang, berwajah tampan. Namanya Andy, dulu merupakan anak didik Ayahnya, menurut Ayahnya, Andy masih keturunan Belanda, makanya tampangnya kelihatan indo. Mungkin nenek buyut Andy penjajah yang memilih untuk tidak pulang ke negaranya, karena sudah kerasan tinggal di Indonesia atau mungkin ketinggalan kloter.

Awalnya Annisa tidak terlalu memerhatikan kehadiran laki-laki, yang tampak masih terlalu muda, jika dikatakan sebagai teman Ayahnya ini, tapi seiring seringnya dia datang saat malam minggu membuat Annisa jadi merasa heran.

Teman Ayahnya datang malam minggu? Satu pertanyaan menggantung di benak Annisa, tidak salahkah? Malam minggu identik dengan laki-laki berkencan dengan perempuan, pacaran, atau sekedar kumpul dengan teman-teman.

Jangan salah, malam minggu juga bukan hanya milik anak muda, terkadang Ayah dan Ibunya pun menghabiskan malam minggu berduaan saja, mereka pergi menonton bioskop atau makan malam berdua dan meninggalkan ketiga anaknya. Annisa hanya tersenyum-senyum melihat kemesraan keduanya, dan membiarkan mereka menikmati keindahan cinta mereka layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta.

Tapi tamu Ayah satu ini datang pada saat malam minggu. Entah sejak kapan dia mulai sering datang pada malam minggu, mungkinkah memang sejak kunjungan pertamanya pun dia selalu datang malam minggu? Dan kenapa harus malam minggu. Disaat banyak orang-orang ingin menghabiskan malam minggu bersama orang yang disayangi, karena malam minggu memang malam yang panjang.

Awalnya Ayah Annisa lah yang selalu menamaninya mengobrol tapi setelah beberapa kali kunjungannya, tiba-tiba Ayah menyuruhnya menemani.

“Nis, tolong kamu temani Andy sebentar, Ayah mau buat modul dulu.”

Mau tidak mau Annisa mengikuti permintaan Ayahnya, tidak enak juga jika harus meninggalkan tamu sendirian seperti itu, sudah jauh-jauh dia datang malah di cueki.

“Baik, Ayah.”

Annisa lalu keluar sambil membawa nampan berisi setoples kue, padahal tadi dia sudah menyuguhkan kue dan orange juice, tapi dia sengaja membawa kue lagi agar dia punya alasan untuk menghampirinya.

“Diminum, Kak.” Tawar Annisa sambil menghidangkan kue yang dibawanya.

“Terima kasih.” Andy menyahut pelan. Pelan sekali sampai nyaris tidak terdengar.

Annisa lalu duduk di sofa panjang.

“Emm… Ayah katanya lagi buat modul dulu.” Dia memulai berbasa-basi.

Maksud hati sekedar ingin memberitahukan bahwa sekarang dialah yang akan menemani pria ini mengobrol, dan Annisa berharap dengan pancingan itu Andy akan memulai obrolannya.

Tapi setelah menunggu beberapa menit Andy tidak bereaksi, dia diam seribu bahasa membuat Annisa salah tingkah. Sedang apakah sebenarnya laki-laki ini, apakah dia sedang menunggu tokek berbunyi sebagai aba-aba kapan dia harus bicara. Tapi rumah Annisa berada ditengah kota, mana mungkin ada suara tokek di dekat rumahnya.

Setelah dia harus menunggu lagi selama lima menit, akhirnya Annisa pun memberanikan diri memulai pembicaraan. Bukankah kata Ayahnya Andy dulunya anak didik Ayahnya, jika memulai dengan pertanyaan itu dan berpura-pura seolah dia tidak tahu, rasanya bisa dijadikannya sebagai pancingan untuk memulai pembicaraan.

“Emm… Kak Andy ini dulu muridnya Ayah?” Andy mengangguk. “Ayah ngajar kelas berapa?”

“Waktu kelas dua.”

“Ngajar apa?”

“Bahasa Inggris.”

“Ayah baik nggak?”

“Iya, baik.”

“Kakak pernah dihukum?”

“Nggak.”

“Berarti Kakak bukan murid yang nakal dong.”

“Ayahmu nggak pernah menghukum murid, biarpun sama murid yang bandel.”

Annisa kembali terdiam. Kumpulan pertanyaannya sudah habis, Andy menjawab dengan
datar dan dia hanya menjawab sesuai yang ditanyakan, tidak dilebihkan apalagi dikurangi. Jika jawabannya tidak, hanya akan dijawab tidak, dan jika jawabannya Iya, cukup dengan kata Iya. Tidak ada penjelasan lain.

Annisa jadi bingung sendiri, apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan sudah, tapi Andy merespon biasa saja. Apa dia malas mengobrol dengan anak kecil? Siapa tahu saja.

“Andy itu murid kesayangan Ayah.” Ujar Ayahnya ketika Annisa menanyakan siapakah sebenarnya Andy. Jika dia sering datang ke rumah seperti ini berarti dulu mereka pernah dekat, jarang-jarang ada murid yang sampai sekarang masih ingat pada gurunya.

“Kalau dia murid kesayangan Ayah, berarti dia anak yang berprestasi dong.”

“Justru karena dulu dia anak yang Bengal makanya Ayah tertarik padanya.”

Annisa melongo mendengar penjelasan Ayahnya. Pak Hasan hanya mengukir senyum kemudian Beliau menceritakan anak murid kebanggaannya itu pada putrinya.
Rupanya Andy merupakan anak hasil broken home, kedua orang tuanya bercerai ketika dia baru duduk dibangku kelas satu SMP, setelah bercerai mereka tidak ada yang ingin membawa Andy serta. Karena dia merasa tidak punya pegangan, hidup Andy pun jadi berantakan, hobinya menyakiti orang, dia selalu merasa senang jika sudah melihat orang lain menderita karena ulahnya, sebab dia merasakan kepuasan.

Meski sudah beberapa kali dipanggil oleh guru BP, tapi Andy tidak pernah berubah, disuruh konseling pun tidak mau. Nilainya tidak pernah lebih dari telinga monyet atau kursi terbalik, bergaulnya saja dengan preman pasar, tapi saat Andy sudah hampir dikeluarkan karena para guru sudah tidak ada yang sanggup menghadapinya lagi, Ayah Annisa mengajaknya bicara dan dia menjamin Andy akan berubah.

Ayahnya menepati janji, Beliau berhasil mengubah Andy, menjadikan seorang Andy yang Bengal menjadi anak yang rajin dan berprestasi. Kabarnya bahkan sekarang Andy sudah menjadi pengusaha. Tapi anak Bengal itu seperti kehilangan kata-kata sekarang, dia lebih banyak diam saat bersama dengannya. Jika memang dulu Andy Bengal, kenapa sekarang dia berubah jadi pendiam seperti ini?

“Kamu sudah besar sekarang ya.” Tiba-tiba Andy bersuara. Nyaris Annisa bersorak senang ketika mendengar Andy memulai pembicaraan.

“Memangnya Kakak tahu waktu aku kecil?”

“Iya, dulu Pak Hasan sering membawamu ke sekolah saat bagi raport atau saat sekolah sedang mengadakan acara, Kakak juga sering main ke rumah Pak Hasan yang lama.”

Annisa hanya mengangguk-angguk. Dia sama sekali tidak ingat, memang Ayah dan Ibunya pernah menceritakan, saat dia kecil dulu sering dibawa ke sekolah oleh Ayahnya. Dan dia juga tidak terlalu mengingat laki-laki yang katanya sering datang main ke rumah ini. ***

“Kak, tebakan, malam ini Kak Andy bakal datang lagi nggak.” Ujar Aisyah ketika Annisa tengah membaca buku di kamarnya.

“Itu sih bukan tebakan, Ai, dia pasti datang lagi, habis dia itu pacar barunya Ayah.” Sahut Annisa geli.

Yang dilakukan Andy memang menarik perhatian seisi rumah, seorang anak murid mendatangi gurunya setiap malam minggu, seperti laki-laki yang mengencani anak perempuan. Padahal setiap malam minggu tidak ada yang mereka lakukan apa-apa selain mengobrol, dan biasanya tidak lama, hanya setengah jam, kemudian Andy kembali pamit. Entah apa yang mereka bicarakan.

“Tapi sekarang kenapa Ayah selalu menyuruh Kak Nisa yang menemani Kak Andy?”
Memang benar, akhir-akhir ini Ayahnya selalu menyuruhnya menemani Andy. Alasannya memang selalu masuk akal, misalkan saja saat itu Ayahnya harus membuat modul untuk bahan pelajaran murid-muridnya, atau disaat yang bersamaan Ayah harus pergi keluar.
Tapi meski tahu Pak Hasan tidak bisa menemaninya, Andy tetap duduk disana tanpa sungkan, bahkan karena sudah dianggap keluarga, Andy tidak lagi sekedar duduk mematung di ruang tamu, melainkan ikut bergabung menonton atau mengobrol bersama dengan Ibu dan kedua adik Annisa.

“Kak Nisa menemani kak Andy saat Ayah nggak bisa menemani saja.”

“Tapi sering loh, Kak, Apa Kakak nggak curiga?”

Curiga? Kenapa harus curiga? Tidak baik mencurigai Ayah sendiri, lagipula apa yang harus dicurigai? Annisa sama sekali tidak mencium bau mencurigakan.

“Kenapa harus curiga sama Ayah?”

“Ya, siapa tahu saja sebenarnya kedatangan Kak Andy selama ini untuk Kak Nisa, mungkin saja Ayah mau menjodohkan Kak Andy dengan Kak Nisa.”

“Apa?” belalak mata Annisa mendengar jawaban adiknya.

Jangan-jangan memang benar maksud dan tujuan Ayahnya adalah untuk menjodohkannya dengan Andy. Pantas saja belakangan ini sering kali Ayahnya tidak bisa menemani Andy, dan Andy juga terkadang pernah mengajaknya jalan-jalan. Dia seperti dibiarkan beradaptasi dengan keluarga ini.

Tapi masa sih Ayahnya mau menjodohkannya dengan laki-laki yang tiga belas tahun lebih tua darinya? Loh, bukannya wajar kalau menikah, usia laki-lakinya lebih tua, lebih dewasa. Biar bisa melindungi, bisa memanjakan, bisa menjadi pemimpin yang baik.

Annisa tiba-tiba jadi cemas. Seandainya yang dikatakan adiknya benar, bagaimana?

“Annisa.” Terdengar suara Ayahnya dari luar.

“Iya, Yah” Annisa menoleh ke arah pintu yang terbuka,

Wajah Ayahnya tampak pucat, sepertinya ada kabar tidak baik malam ini.

“Temani Ayah ke rumah sakit, Andy sore tadi kecelakaan.”

Tertegun Annisa mendengarnya. Murid kesayangan Ayah mengalami kecelakaan, pantas saja sudah jam delapan malam Andy tak kunjung tiba, biasanya setengah delapan bel pintu sudah berbunyi. Tapi sejenak kemudian Annisa teringat kata-kata adiknya baru saja, mengapa selalu saja dia yang disuruh ini-itu jika berhubungan dengan Andy?

“Ayah, besok Nisa ada kuliah tambahan dan ada quis, Ayah pergi sama Aisyah saja.”

“Yang bisa menyetir kan hanya kamu, Ayah agak lelah hari ini jadi kamu saja yang menyupir, sebentar saja, Nisa, masa kamu tidak mau menjenguk Kakakmu?”
Kakak? Benar juga, Ayahnya sudah mengatakan seperti itu berarti memang tidak ada perjodohan diantara mereka. Semoga saja itu benar, jadi dia tidak perlu cemas.

“Baiklah.”

“Kak Nisa, salam buat Kak Andy yah.” Aisyah melambaikan tangan dengan senyum menggelitik. Annisa tahu, adiknya sedang mengejeknya.

“Keluar kamu dari kamar Kakak, awas. Jangan ada yang berantakan.”
Aisyah menjulurkan lidah.
***
Mobil Andy menabrak angkot yang ugal-ugalan. Keadaannya cukup parah ketika Annisa dan Ayahnya datang, kepala dan kakinya dibebat perban, tapi untunglah nyawanya masih tertolong.

“Andy, bagaimana keadaanmu?” Ayah Annisa begitu khawatir ketika mendengar kabar murid kesayangannya kecelakaan.

“Tidak apa-apa, Pak, saya sudah jauh lebih baik.”

“Pak guru.” Seorang perempuan yang usianya tak terpaut jauh dengan Andy, lalu mencium tangan Ayah Annisa dengan penuh rasa hormat.

“Ini Annisa yah, sudah besar sekarang kamu.” Annisa hanya mengulas senyum. “Kamu pasti lupa dengan Kakak, dulu kamu masih kecil sih, nama Kakak Sarah, mantan pacarnya Mas Andy, dulu kamu dengan Mas Andy dekat sekali, apa kamu tidak ingat?”
Annisa memang pernah punya ingatan dekat dengan seorang Kakak laki-laki sewaktu kecil dulu, tapi dia tidak terlalu banyak menyimpan kenangan tentangnya. Yang dia dapat ingat, dulu Kakak itu pernah membelikannya sebuah boneka besar dan hingga sekarang boneka itu masih disimpannya. Apakah itu Andy?

“Kalau nggak salah Mas Andy pernah kasih boneka teddy bear waktu kamu ulang tahun keempat.”

“Iya, bonekanya masih ada, aku nggak ingat kalau boneka itu dari Kak Andy, aku hanya merasa boneka itu nggak bisa aku buang atau aku kasih sama orang lain, soalnya waktu kecil boneka itu selalu ada di pelukanku.”

Sarah hanya tersenyum mendengarnya, sejenak dia melirik ke arah Andy, laki-laki itu hanya terdiam tak berkomentar, dia mengerti maksud dari lirikan Sarah.

“Mama, kapan Papa sembuhnya?”

Annisa terkejut mendengar suara bocah kecil yang muncul dari balik pintu kamar Andy dan memanggil keduanya dengan sebutan Mama dan Papa.

Jadi mereka sudah menikah? Pantas saja sikap Sarah begitu berbeda jika dikatakan hubungan mereka hanya sekedar mantan pacar, jadi maksudnya mantan pacar itu karena sekarang sudah jadi suami. Annisa tersenyum lega. Mereka memang serasi.

“Syamil kok masuk sih, kan nggak boleh masuk sama suster.”

“Biarin Syamil masuknya diam-diam kok, habis Syamil kan pengen nengok Papa masa nggak boleh.”

“Sakit Papa nggak parah kok, Sayang… sebentar lagi juga sembuh, Syamil hari ini bobo sama Mama yah.” Si kecil hanya mengangguk. “Ayo Syamil keluar lagi, kan nggak boleh masuk sama suster, nanti kalau ketahuan suster Syamil dimarahi. Nisa, boleh Kak Sarah minta bantuan kamu?”

“Iya, Kak.”

“Tolong jaga Mas Andy yah, rajin-rajin kamu menjenguknya, soalnya Kakak nggak bisa sering-sering menjenguk dia, kamu mengerti kan.” Annisa hanya mengangguk tanpa meminta penjelasan, mengapa harus dia yang menjaganya padahal Sarah istrinya.

“Sarah.” Andy menyela.

“Nggak apa-apa kan, Mas, mumpung ada yang mau bantu.”

“Jangan suka memanfaatkan orang.”

“Nisa ikhlas kan bantu Kakak?” ditatapnya Annisa sekali lagi. Annisa mengangguk. Andy tak lagi membantah.

Ya, tentu saja dia ikhlas jika untuk membantu Kakak sendiri, Ayahnya saja begitu menyayanginya kenapa dia harus setengah-setengah.
***
Sebagai adik yang baik, Annisa memenuhi janjinya pada Sarah, dia rajin datang menjenguk Andy dan merawatnya selagi Sarah tidak bisa merawatnya. Yah, memang sulit memiliki anak kecil, anak seumur Syamil tidak boleh dibawa ke rumah sakit, tentu Sarah repot jika harus menjaga Syamil serta menemani suaminya.

“Nisa, terima kasih sudah mau menemani dan merawat Kakak selama di rumah sakit, Kakak merasa berhutang padamu.” Ujar Andy ketika dia sudah diizinkan pulang.
Annisa hanya tersenyum sambil membantu Andy mengemasi barang-barangnya. Farah sedang membayar biaya adminstrasi sementara Syamil menunggunya di mobil.

“Jangan begitu, kata Ayah, dulu Kakak sering menjaga aku, apalagi saat Ibu melahirkan Aisyah dan Ayah menemani Ibu di rumah sakit, Kakak sampai menginap buat menjaga aku, anggap saja ini sebagian kecil balas budi aku buat Kakak.”

“Kamu memang anak yang baik, sewaktu kamu kecil dulu, Kakak merasa yakin kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, baik dan pintar.”

“Ah, Kakak berlebihan.” Seketika wajah Annisa memerah kemalu-maluan.

“Nisa, mau main ke rumah?” Farah yang baru menyelesaikan urusannya lalu muncul di ruang rawat Andy.

“Kapan-kapan saja, Kak, Nisa masih banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan.”
Andy bergegas bangkit dari tempat tidurnya, karena tak sabar ingin segera pulang untuk menemui putranya, dia tidak ingat kakinya belum dapat dia pakai berdiri dengan baik tanpa tongkat, Andy kehilangan keseimbangan saat berdiri. Annisa yang berdiri di sebelahnya sontak meraih tubuh Andy.

Tiba-tiba saja jantungnya merasa seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu, nafasnya seakan telah berhenti mengalir, wajah Andy begitu dekat sampai dia bisa merasakan kehangatan nafas Andy menyapu wajahnya.

“Maaf, Nisa.”

Annisa hanya dapat memalingkan wajahnya, setelah dia melepaskan pelukannya. Segera Farah memberikan tongkat pada Andy.

Ya Tuhan… apa yang terjadi dengannya? Andy laki-laki beristri, mengapa dia memiliki perasaan berbeda saat bersama dengan laki-laki ini?
***
“Kak Andy mana yah, kok nggak pernah datang lagi kesini sih?” tanya si kecil Salma. Annisa hanya bisa memberikan jawaban gelengan kepala saja.

Sudah satu bulan Andy keluar dari rumah sakit, tapi dia tidak pernah lagi datang berkunjung. Tanpa sadar setiap malam minggu Annisa menantikan kehadirannya, saat waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh dia mengintip keluar dari jendela untuk memastikan kedatangan laki-laki itu.

Terbayang lagi olehnya saat-saat Andy sering berkunjung ke rumah. Mengajak dia dan adik-adiknya jalan-jalan. Merawat Andy di rumah sakit selama seminggu. Pelan-pelan mereka memang sudah mulai akrab. Kehadiran Andy menjadi sebuah kebutuhan untuknya. Untuk hatinya yang masih kosong.

Annisa dilanda dilema besar sekarang, hatinya begitu sangat menantikan kehadiran Andy, tapi laki-laki itu sudah memiliki istri bahkan anak. Apa yang dirasakannya saat ini tentulah suatu kesalahan, tak seharusnya dia memiliki perasaan seperti ini karena Andy bukanlah jodohnya.

“Neng, diluar ada tamu cari neng Nisa.” Suara bi Sipah menyadarkan lamunannya, bergegas Annisa keluar dari kamar.

“Siapa Bi, Kak Andy yah?” wajah Annisa berbinar.

“Bukan, Neng, perempuan, katanya namanya neng Sarah.”

Sinar di wajah Annisa langsung meredup, kiranya Andy yang datang karena sekarang sudah pukul tujuh tiga puluh malam, tapi kemudian ditemuinya juga tamunya itu.

Ternyata Sarah datang bersama dengan Syamil.

“Hallo, Nisa.”

“Wah… ada apa gerangan nih tiba-tiba Kak Sarah datang?”

“Ada yang ingin Kakak bicarakan denganmu, Nisa.” Wajah Sarah tampak serius, Annisa sangat heran. Tapi kemudian dia duduk di sofa dekat Sarah. “Nisa, Kakak dengan Mas Andy sudah bercerai.”

Annisa tersentak kaget mendengar berita yang dibawa Sarah, kenapa bisa mereka bercerai? Bukankah mereka masih tampak baik-baik saja kemarin, apa yang menyebabkan mereka harus bercerai.

“Kenapa harus bercerai, Kak? bukankah kalian kemarin baik-baik saja.”

“Tidak, Nisa… kamu salah, sebenarnya kami sudah lama bercerai, sudah hampir delapan tahun yang lalu dan Kakak sendiri juga sudah menikah lagi, bahkan sekarang Kakak sedang mengandung anak kedua dari suami kedua Kak Sarah.”

Kali ini Annisa tidak lagi terkejut, dia malah tertegun heran mendengarnya. Mereka tidak terlihat seperti sudah bercerai, Sarah tidak mengatakan mereka masih menikah atau sudah bercerai, hanya karena Syamil memanggil keduanya dengan sebutan Mama dan Papa, Annisa langsung mengambil kesimpulan sendiri. Pantas saja Sarah membutuhkan bantuannya untuk menjaga Andy, karena Andy memang sudah bukan suaminya lagi.

“Tapi kemarin….”

“Kemarin ini kamu pasti melihat Kakak tampak dekat dengan Mas Andy, itu karena Kakak dan Mas Andy sudah berjanji perceraian diantara kita tidak akan membuat kami jadi bermusuhan, ini semua kami lakukan demi Syamil, karena Mas Andy tidak ingin apa yang dirasakannya dulu juga dirasakan oleh Syamil, bahkan Mas Andy sendiri yang menjodohkan Kakak dengan Mas Ahmad. Pernikahan kami memang hanya seumur jagung, mungkin itu karena kami terlalu muda saat menikah dan kami terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menikah. Setelah bercerai Syamil tinggal bersama Ayahnya, karena Kak Sarah secara financial dianggap tidak mampu membesarkan Syamil.”

“Lalu kenapa Kakak ceritakan ini padaku?”

“Karena Mas Andy mencintaimu, Nisa.”

Tertegun Annisa mendengar jawaban yang diutarakan Farah, Andy mencintainya? Benarkah itu, sejak kapan Andy mencintainya.

“Beberapa bulan lalu dia pernah cerita, katanya dia bertemu dengan guru kami, Pak Hasan, dia merasa sangat senang bisa bertemu lagi dengan guru yang paling dibanggakannya itu yang telah dia anggap Ayahnya sendiri, setelah lima belas tahun tidak bertemu, kemudian dia datang berkunjung kesini dan ternyata saat kunjungannya itu Andy melihat gadis cantik yang muncul mengantarkan suguhan, Andy jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi dia ingat gadis itu dulu pernah dikenalnya, bahkan pernah diasuhnya, dia hanya tidak menyangka akan jatuh cinta pada gadis yang dulu pernah dia anggap sebagai adiknya.

Andy memang pernah menyatakan keinginannya meminangmu pada Ayahmu, tapi Ayahmu bilang ‘jika kamu menginginkannya, dekatilah dia, pikatlah hatinya’, Andy memang sudah berusaha mendekatimu tapi dia merasa gagal, setiap kali dia ingin mengutarakannya padamu, dia tidak pernah punya keberanian karena merasa sudah terlalu tua untuk memikat hatimu, dia juga bilang dia punya banyak saingan.”

Tidak. Itu tidak benar, Andy tidak pernah gagal.

“Perlu kamu tahu, Nisa, ini pertama kalinya kakak melihat ada sinar cinta dimata Andy, sudah banyak perempuan yang Kakak kenalkan padanya, tapi tidak satupun yang membuatnya merasa tertarik bahkan saat kami belum bercerai sekalipun, tidak pernah Kakak melihat sinar cinta itu untuk Kakak, ketika Andy bertemu denganmu, dia bercerita, ‘Aku bertemu bidadari cantik, bidadari kecil yang dulu pernah kugendong Ia di bahuku, aku jatuh cinta padanya tapi aku merasa seperti pungguk merindukan bulan’, Kakak iri padamu.”

“Ka,kalau untuk menyampaikan hal sepenting itu, mengapa tidak Kak Andy saja yang datang kemari jika memang Ia bersungguh-sungguh…..”

“Jika memang itu yang kamu inginkan, Nisa, maka malam ini Kakak berdiri disini untuk mengatakannya padamu.” Farah dan Annisa terkejut dengan kedatangan Andy yang tiba-tiba telah muncul di depan pintu.

“Mas, sejak kapan Mas berada disana?”

“Maaf, aku sudah sejak tadi diluar mendengarkan pembicaraan kalian. Nisa, entah darimana Kakak harus memulai, tapi kamu telah mengetahui semuanya dari Farah, mungkin ini terlalu konyol bagimu mendengar pria tua sepertiku datang untuk melamarmu, tapi sungguh Nisa, aku telah mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu tumbuh menjadi bidadari cantik seperti yang dikatakan Farah baru saja. Would you marry me?”

Annisa berdiri lalu melangkah ke arah buffet kecil di ruang tamu, dia tidak tahan melihat Andy seperti pangeran tengah melamar sang putri, dengan setengah berlutut menyatakan lamarannya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berisi sebuah cincin berlian. Annisa merasa senang bercampur malu.

“Sesungguhnya hatiku pun demikian, Kak, entah sejak kapan munculnya perasaan ini tapi aku baru menyadarinya belakangan ini ketika Kak Andy yang biasanya datang pada saat malam minggu tapi sudah sebulan ini Kakak tak kunjung datang, aku jadi resah, apakah dia masih sakit atau sedang sibuk, atau mungkin sudah tidak ingin datang kesini lagi, aku selalu merasa resah, dan aku juga selalu merasa bingung apakah perasaan ini salah karena kutahu Kak Andy telah berkeluarga.”

“Maaf, Kakak tidak segera berterus-terang, Kakak tidak bermaksud menyembunyikannya darimu.”

“Walau aku katakan aku mencintai Kak Andy, lalu bagaimana dengan Syamil? Apakah Syamil bersedia menerimaku sebagai Ibu tirinya?”

“Jangan khawatir, Nisa, Kakak sudah bertanya pada Syamil, apa dia mengizinkan Ayahnya menikah lagi atau tidak dan jawabannya dia mengizinkan, kalau kamu tidak percaya tanya saja padanya.” Sarah memberi jawaban.

“Syamil senang kok kalau Kak Nisa jadi istrinya Papa, Syamil tidak mau melarang Papa menikah lagi karena Syamil tahu selama ini Papa kesepian, kasihan Papa kalau terus seperti itu, Syamil sayang Papa. Kakak mau yah, jadi Mama Syamil?”

Annisa tersenyum kemudian dia berbalik menghampiri Syamil yang berdiri tak jauh dari tempatnya, disentuhnya pipi Syamil, didalam tubuh seorang bocah berusia delapan tahun itu terdapat hati yang besar, dia tidak keberatan Ayahnya menikah lagi karena dia tahu Ayahnya membutuhkan pendamping hidup. Saat Annisa menatap Syamil, dia melihat ada mata Andy disana, bukan hanya matanya yang tampak serupa tapi hidungnya, bibirnya, wajahnya benar-benar replika Andy.

“Kakak bersedia, Sayang… Kakak mau jadi Mama kamu.”

Syamil tersenyum bahagia, serta-merta dipeluknya calon ibu tirinya.

“Asik, selain punya Papa dua, Syamil punya juga Mama dua sekarang.” ujarnya riang sambil menggandeng tangan Ayah dan Ibu tirinya.

Annisa, Andy dan Farah tersenyum.

Bagi Syamil, memiliki orang tua dua tidak membuatnya merasa malu, apalagi sampai broken home karena perceraian orang tuanya. Tapi dia merasa bahagia dan bangga, karena anak yang selalu bersyukur.