Jumat, 02 Desember 2011

Rio VS Nina

Wajah Nina memucat ketika dia tidak menemukan buku PR didalam tasnya, padahal dia yakin sekali telah memasukkan buku penting itu semalam setelah dia menyelesaikan tugas kimianya. Gawat, kalau sampai buku itu tidak juga ditemukan, bisa-bisa dia bakalan kena hukuman pak Sobirin. Apa jadinya kalau sampai dia kena hukuman pak Sobirin, memalukan sekali seorang sekretaris osis dihukum gara-gara tidak mengerjakan PR.

Sementara Nina terus mencari bukunya yang hilang dengan mengeluarkan seluruh perbendaharaan tasnya, dari arah luar terdengar suara sepatu yang menuju kearah kelasnya. Anak-anak kelas sebelas IPA langsung berhamburan kembali kedalam kelas setelah mengetahui pak Sobirin masuk. Wajah Nina semakin memucat karena bukunya tak kunjung dia temukan.

“Nin, lu kenapa?” Maya yang menyadari kepanikan teman sebangkunya jadi heran.

“Buku PR gue ilang.” Bisiknya setengah terisak. Dia takut posisi duduknya yang ada didepan malah membuat pak Sobirin menyadari kepanikannya.

“Waduh, gawat! Cepat cari lagi.”

Laki-laki paruh baya bertubuh tambun itu lalu duduk diatas singgasananya usai mengucapkan salam, kemudian perintahnya, “Anak-anak, cepat kumpulkan PR minggu kemarin.” Suara pak Sobirin yang tidak terlalu kencang namun tegas dan berwibawa membuat tubuh Nina kian gemetaran.

Haruskah dia mengatakan buku PR-nya hilang? Mungkinkah pak Sobirin akan memercayainya dan tidak memberikan hukuman padanya? Tidak mungkin. Pak Sobirin tidak akan berbelas kasihan pada anak yang punya seribu satu macam alasan, hanya karena dia tidak mengerjakan PR, tapi Nina sudah menyelesaikanya hanya saja buku itu sekarang raib dari tasnya.

“Kerdil, Lu butuh ini kan?” sebuah tangan menyodorkan buku PR milik Nina. Sontak Nina terkejut saat mengetahui ternyata buku PR-nya ada. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan lega, ternyata Rio yang berhasil menemukannya dan dia berbaik hati mau mengembalikannya. Tumben sekali.

“Yo, makasih udah nemuin buku gue.” Nina sudah terlanjur kegirangan tapi saat dia hendak meraih buku itu dari tangan Rio. Rio malah berkelit.

“Eit, tunggu dulu, ini nggak gratis loh.” Menganga mulut kecil Nina mendengarnya.

“Istirahat ini lu harus nraktir gue, kebetulan uang bulanan gue udah abis buat ngambil motor gue di bengkel, gimana lu mau nggak? Kalau nggak, jangan harap deh buku ini balik ke tangan lu, dan selamat menikmati hukuman.”

Menraktir Rio? Ya Tuhan… tidak salahkah dia mendengar? Menraktir Rio seorang itu kan sama dengan menraktir tiga orang, makannya rakus setengah mati. Tapi apa boleh buat, dia terpaksa harus merelakan uangnya daripada kena hukuman dari pak Sobirin.

“Ok, istirahat ini gue traktir elu.” Dengan berat hati Nina menyetujui permintaan Rio. Cowok berpotongan rambut harajuku itu tersenyum menang. Dikembalikannya buku PR itu pada pemiliknya.
***
Teman satu kelas Nina merasa terkejut ketika dia melihat sang sekretaris osis sedang jalan berdua dengan Rio menuju kantin. Bukankah mereka musuh bebuyutan atau keduanya sedang melakukan gencatan senjata?

Kapan terakhir mereka melihat Nina dan Rio jalan akur seperti sekarang ini? mereka sendiri sudah lupa. Seingat mereka, kalau keduanya bertemu pasti keributan yang akan terjadi. Tapi sekalipun mereka sering bertengkar sepertinya Nina memang tidak bisa jauh-jauh dari Rio.

Nina dan Rio sudah saling mengenal sejak masuk SMP, kebetulan keduanya bertetangga dan apakah itu yang dinamakan dengan jodoh? Selama lima tahun ini Rio selalu sekelas dengan Nina. Setiap hari mereka berangkat dan pulang sekolah bersama, Rio rajin sekali menjemput Nina dengan motor sport-nya. Dan sebenarnya keduanya saling melengkapi.

Rio yang paling malas mengerjakan PR Matematika selalu meminta bantuan Nina untuk mengajarinya dan Nina yang sekretaris osis selalu butuh catatan Rio jika dia harus meninggalkan kelas gara-gara urusan osis. Kadang-kadang Nina juga meminta bantuan membuatkan pidato jika dia diminta ketua osis membuat pidato.

Tapi Rio sering sekali menjahili Nina, dan kejahilannya itu memang diluar batas kewajaran. Ada saja perbuatan iseng yang dilakukan Rio, yang membuat Nina sering naik darah.

“Dil, elu nggak makan?” Rio memperhatikan Nina yang kembali ke meja dengan hanya membawa segelas Avocado juice.

“Lihat lu aja gue udah kenyang.” Nina menelan ludah melihat Rio sibuk dengan makanannya.

Dihadapannya sudah terhidang sepiring nasi plus lauknya, sebuah pisang ambon, avocado juice dan risoles sebagai cemilannya.

“Gue nggak sempet sarapan tadi pagi.”

“Nggak sempet sarapan? Kok bisa? Tadi pagi elu jemput jam biasa kan.”

“Yah, gue kan nggak mau elu sampe telat, elu kan sekretaris osis, malu-maluin amat kalau sampe elu datang telat.” Nina merasa terharu.

Jadi sebenarnya tadi Rio telat bangun tapi dia bela-belaan nggak sarapan cuma biar temannya nggak sampai telat karena nggak mau sampai sekretaris osis bikin malu almamater sekolah. Ternyata Rio punya sisi baik juga. Dia masih memikirkan kepentingan temannya, diatas kepentingannya sendiri.

“Aduh… sorry, Yo, elu sampe sengaja bela-belaan begini buat gue, gue jadi terharu dengernya, padahal nggak perlu segitunya kali, kalau emang elu telat, biar gue berangkat sendiri aja.”

“Makanya tadi gue sengaja umpetin buku PR lu biar istirahat ini elu traktir gue, anggap aja sebagai hukumannya.” Aku Rio tanpa dosa.

“Jadi elu yang ngumpetin buku gue?” belalak mata Nina. Dan dengan tenangnya Rio hanya mengangguk. “Elu tahu nggak sih, gimana gue takutnya tadi dimarahin pak Sobirin gara-gara buku gue ilang?!”

“Tapi elu nggak sampe dimarahin kan? Dan gue juga pasti nggak bakalan sampe setega itu ngebiarin elu dimarahin pak Sobirin.”

“Tetep aja, jantung gue udah hampir copot tadi, tahu! Nyesel gue udah minta maaf sama elu! Gue tarik omongan gue tadi!” Dihentakkannya kaki lalu dia pergi meninggalkan kantin. Dia benar-benar marah kali ini.

Bagaimana Nina tidak akan merasa jengkel, Rio tidak sarapan kan bukan kesalahannya dan anak itu sudah seenaknya saja membuatnya sport jantung dan menguras uang sakunya. Padahal bulan ini uang sakunya sudah mulai menipis.

Kalau saja tadi Rio tidak memaksakan diri menjemput tepat waktu sampai nggak sarapan, dia kan bisa berangkat sendiri dengan angkutan umum.

“Dil, jangan marah gitu dong, Dil… Gue kan tadi cuma becanda.” Dikejarnya Nina yang sudah hampir mencapai pintu. “Iya deh, gue minta maaf udah bikin elu sport jantung.” Tanpa rasa berdosa Rio masih mengulum senyum dibibirnya.

“Nggak ada maaf buat elu! Mulai hari ini elu nggak perlu anter jemput gue lagi ke sekolah, mending gue pergi sendiri naik angkot! Dan satu lagi, jangan pernah panggil gue kerdil! Nama gue Cantika Ninaia Ariesta, jadi panggil gue Nina.” Ditinggalkannya Rio yang masih berdiri mematung.

“Dil.” Suara Rio terdengar memelas memanggil sahabatnya. “Kerdil, maafin gue.” Nina sama sekali ogah menoleh. “Nina.” Sudah berapa tahun tak pernah Nina mendengar Rio memanggilnya dengan wajar dan saat panggilan itu terdengar dari suara Rio, mau tidak mau Nina ingin tertawa juga. Tapi karena gengsi dia tetap tidak menggubris Rio.
***
“Berantem lagi sama Rio?” Maya berbisik sambil melirik ke arah meja Rio yang berada dua baris di belakang mereka.

Dari jam istirahat tadi sampai satu jam lagi kelas hampir bubar, Rio dan Nina memang belum baikan. Di jam terakhir ini, guru biologi mereka nggak masuk dan guru piket menyuruh siswa-siswi belajar sendiri di kelas. Biasanya disaat seperti ini aksi Rio mengerjai Nina pasti akan muncul lagi tapi sedari tadi cowok ganteng – kata anak perempuan lain kecuali Nina – itu masih duduk anteng di kursinya.

“Nggak usah nanya.” Nina menyahut pendek.

“Ada apa lagi sih?”

“Gue males bahasnya.”

Maya hanya mengangkat bahu. Yah, begitulah Rio dan Nina. Tak pernah berhenti-berhentinya bertengkar. Rio memang selalu jahil spesialisasi untuk Nina, dia masih bersikap wajar pada teman perempuan lainnya malah cenderung romantis dan agak gombal. Teman-temannya menganggap kejahilan Rio bukanlah karena dia iseng tapi karena sebenarnya dia menyukai Nina, tapi tak bisa mengungkapkannya.

Persahabatan perempuan dan laki-laki jarang ada yang abadi malah bisa dibilang tidak pernah ada yang abadi. Pasti ujung-ujungnya diakhiri dengan percintaan. Karena pepatah jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino memang tidak salah. Tapi mungkin untuk Nina dan Rio semua itu belum berlaku.

“Emang elu nggak bisa maafin Rio?”

“Maafin dia?” suara Nina meninggi membuat Rio mau tidak mau menoleh ke mejanya. “Tunggu sampai satu dollar harganya seribu rupiah!”

Astaga! memangnya kapan satu dollar bisa seharga seribu rupiah? Waktu zaman orde baru aja satu dolar harganya dua ribuan.

“Dosa loh, nggak maafin temen sendiri.”

“Maya, udah deh…, elu tuh sebenernya ada di pihak siapa sih? Elu kan temen gue, kok malah berpihak sama dakocan itu?”

“Gue ngerasa sayang aja kalau elu sama dia sampai berantem.”

“Sayang?” dahi Nina berkerut heran. “Apa yang perlu disayangin?”

“Semua cewek tuh pengen bisa deket sama Rio, elu yang udah segitu deketnya malah berantem terus, sayang kan? Mereka tuh sirik sama elu, Nin.”

Mata Nina membelalak.

Cewek-cewek ingin deket dengan Rio? Apa nggak salah denger dia. Emang apa sih hebatnya Rio? Dia nggak ganteng-ganteng amat, pinter juga nggak, cuma lantaran jago basket, terus mereka pengen deket sama Rio? Nina aja merasa bosan terus bersama dengan sahabatnya itu.

“Wah, gue mesti ngomong nih sama anak-anak cewek di sekolah ini, kalau perlu bakal gue umumin lewat speaker masjid, gue bakalan bilang sama mereka kalau Rio itu bukan cowok nyenengin buat dideketin, gue aja bosen sampe pengen muntah rasanya, hoek!” Nina berpura-pura mual sambil menekan perutnya dengan sebelah tangan.

“Itu kan menurut lu, yang udah dari kecil bareng dia terus.”

Kalau dipikir-pikir, jika Nina berada di posisi mereka, pasti Nina juga akan merasakan hal yang sama. Meski wajahnya nggak ganteng-ganteng amat, yah, satu tingkat lebih ganteng dari Afgan lah, tapi Rio memang pujaan banyak cewek. Maklum, dia kan bintang basket. Sekalipun otaknya mentok di IQ rata-rata, tapi sewaktu mendrible bola lalu menembakkannya ke keranjang, Rio memang memesona. Aksinya selalu membuat cewek-cewek histeris, untung nggak sampe pingsan juga.

Nina lalu menatap Rio, diperhatikannya lebih seksama wajah Rio. Entah apa yang menarik dari seorang Rio, selain saat Rio bermain basket Nina tak melihat ada yang istimewa. Apa mungkin karena dia sudah terlalu lama bersama dengan Rio jadi baginya Rio biasa-biasa saja. Sebenarnya apa yang dikagumi cewek-cewek itu dari Rio?

Nina tersentak kaget saat dia tersadar telah terlalu lama memperhatikan laki-laki itu. Rio yang menangkap basah dirinya telah menatapnya dengan sorot penasaran, melemparkan senyum yang terasa begitu berbeda. Menawan. Langsung menusuk hatinya membuat Nina tiba-tiba merasa berdebar.

Teeet….teeet….teeett

Bel akhir pelajaran pun berbunyi. Anak-anak yang telah jemu selama dua jam pelajaran berada di kelas, langsung bersorak dan berhamburan keluar. Rio yang sejak tadi sibuk di kursinya pun ikut beranjak lalu dia melangkah mendekati Nina.

“Cinta, maafin aku yah.” Bisik Rio lembut membuat Nina tertegun bengong. “Kamu mau kan maafin aku?” bisiknya sekali lagi sambil menyodorkan sebuah kotak kecil ke tangan Nina. Kontan kelakuan Rio membuat kelas jadi geger.

Mata Nina menyipit. Dia curiga.

Tumben sekali Rio bicara dengan tutur kata yang halus. Pakai ngasih kado segala. Jadi ini yang membuatnya dari tadi sibuk di kursinya. Tapi Nina tidak langsung percaya dengan kata-kata manisnya meski diterimanya juga kado itu.

“Yo, nggak perlu pake minta maaf gini lah, gue tahu, gue yang berlebihan sama elu, So, gue udah maafin elu kok.” Nina menyinggungkan senyum. “Gue terima itikad baik elu, tapi kayaknya mending gue minta tolong Kiki aja yah buat bukain kado ini?” diserahkannya kado itu pada cowok agak keayuan disebelah Nina.

Rio ingin mencegah Nina memberikannya pada Kiki, tapi dia tidak bisa membuka mulutnya. Dibiarkannya juga Kiki membuka kado itu yang kemudian….

“Aaaaahhhh!” Kiki cowok yang paling takut ama kodok, lalu kocar-kacir menggebah seekor kodok yang berhasil hinggap di dadanya. Terjadilah kehebohan karena kodok itu melompat kesana-kemari.

“Lu pikir, gue baru kenal elu kemarin sore, gue tahu yang ada di kepala lu selain ketombe isinya cuma niat busuk buat ngerjain gue!” Semprot Nina kesal. Rio hanya garuk-garuk kepala merasa telah gagal mengerjai Nina. “Gue benci sama elu, Yo! Gue berharap seumur hidup gue nggak pernah kenal sama cowok macam elu!”

“Na. Nina. Iya, gue minta maaf.” Segera Rio mengejar Nina yang melangkah dengan cepat. Ditariknya tangan Nina saat gadis itu tidak memerdulikannya, tapi Nina malah menepis tangan Rio kencang.
***
Di kelas Nina kedatangan murid baru. Cewek cantik nan anggun bernama Sri. Dia duduk semeja dengan Rio, karena hanya tinggal di meja Rio saja ada bangku kosong. Ada barang baru, tentu anak-anak cowok langsung mengerumuni Sri, kebetulan mata pelajaran berikutnya gurunya tidak bisa masuk.

Beruntung Rio yang duduk disebelahnya bisa berkenalan langsung. Dan hari ini Nina bisa berdamai karena pada jam kosong Rio tidak menganggunya, dia bisa membaca buku dengan tenang.

Nina berharap hari-hari seperti ini bisa dia rasakan setiap hari. Tanpa gangguan Rio sungguh menyenangkan, dia bisa membaca buku dengan berkonsentrasi, bisa menghabiskan jajanan di kantinnya tanpa ada yang merampas. Tidak perlu merasa cemas barang-barangnya yang hilang atau rusak karena ulah Rio. Hidup memang indah jika semua berjalan normal dan damai. Dan selama ini Nina telah menganggap hidupnya tidak damai.

Harapan Nina terkabul, Rio benar-benar tidak pernah mengganggunya sama sekali. Dia selalu bersama Sri, gadis berdarah jawa dengan kulit hitam manis itu telah di monopoli oleh Rio. Anak cowok yang lain menggerutu kesal karena merasa hak-haknya untuk menarik perhatian Sri telah dirampas oleh Rio. Rio sudah seperti pengawal pribadi putri dari negeri antah berantah saja, setiap waktu selalu berada di samping Sri.

Sri dan Rio tampak sangat akrab, padahal Sri baru genap sepuluh hari menjadi murid baru. Tapi mereka seperti sudah mengenal lama saja, padahal teman sejak kecil Rio kan hanya Nina. Sri yang tiba-tiba muncul diantara mereka mengapa jadi akrab sama si dakocan menyebalkan itu? Apa jangan-jangan Rio naksir Sri?

Nina memang merasakan kedamaian karena Rio sudah tidak pernah menganggunya lagi, tapi kenapa dia merasa hampa. Rio memang masih suka mengantar-jemputnya, tapi sepanjang perjalanan tetap saja merasa hampa, Rio melakukan tugas itu hanya semata karena rumah mereka tidak terlalu jauh. Nina merasa sebal.
***
“Nina, pensil elu jatoh.” Nina menerima pensil dari tangan Rio dengan hati kecewa. Padahal dia sudah sengaja menjatuhkan pensilnya, berharap Rio kembali menjahilinya lagi dengan mematahkan pensilnya dan berpura-pura pensil itu patah karena terinjak olehnya. Tapi Nina malah lagi-lagi melihat keakraban Rio dan Sri.

Rio malah berlalu pergi setelah mengembalikan pensil Nina, dan mereka bercanda-canda dengan gembira. Nina jadi merasa dongkol melihatnya. Rasanya Nina ingin mengeluarkan penghapus lalu menghapus gambar Rio dan Sri dari hadapannya.

“Rio!” dengan kesal Nina berjalan menghampiri Rio yang berhenti mendengar panggilannya.

“Ada apa, Nin, gue nggak matahin pensil elu kan?”

“Kenapa sih elu nggak gangguin gue lagi!” Rio menatap Nina dengan heran. Kemarin-kemarin Nina nggak mau diganggu olehnya lagi, sekarang Nina malah bertanya kenapa dia nggak mengganggunya.

“Kan elu sendiri yang benci sama gue dan berharap gue nggak ganggu elu lagi, yah gue rasa emang sebaiknya nggak perlu ganggu elu lagi, gue juga ngerasa bersalah selama ini selalu gangguin elu.”

“Gue….” Mata Nina berkeliaran sebelum melanjutkan kata-katanya. Sepertinya dia telah mengundang banyak pasang mata dengan teriakannya tadi. Sekarang disekelilingnya banyak orang yang memerhatikan mereka. “Gue kesepian karena elu nggak pernah gangguin gue lagi, Rio.”

“Huuu….” Teman-temannya berteriak. “Dia jealous tuh, Yo!” seseorang menukas.
“Jelaslah Rio lebih milih Sri, Sri kan baik, lembut lagi, elu galak sih, Nin.” Jody malah semakin menambah panas hati Nina.

“Trus mau lu sekarang apa, Nin?” Rio memegang lengan Nina.

“Gue pengen Rio yang dulu suka gangguin gue balik lagi, karena gue… gue sayang sama elu.” Nina menggigit bibirnya. Ya Tuhan… kenapa kata-kata itu keluar dari mulutnya? Ditatapnya Rio menunggu reaksinya, tapi cowok itu malah tersenyum lalu mengedipkan mata ke arah Sri.

“Yes! Kita berhasil, thanks berat ya, elu udah bantuin gue, Nina emang perlu dikerjain dulu sih.” Nina tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan Rio.

“Elu kan sepupu gue, wajarlah kalau gue bantuin elu.”

Sepupu? Nina menatap Sri dengan tertegun. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali sepupu Rio? Mereka sudah berteman lama dan dia mengenal hampir semua keluarga Rio, seingatnya sepupu Rio nggak ada yang berasal dari Jawa.

“Lu lupa sama gue, Nin? Ya ampun… cewek kalau udah terserang penyakit jealous emang terlalu ya, masa sama temen sendiri elu lupa? Gue Katrina Sri Eka Wulandari, sepupu Rio, padahal gue udah kenalan pake nama asli dikelas cuma gue sengaja nggak kasih tahu nama depan gue aja, tapi gue nggak nyangka kalau elu sampe nggak kenalin gue, ternyata akting gue jadi cewek asal Jawa yang lembut dan kemayu bagus juga ya, sampe bisa nipu temen gue sendiri.”

Nina tertegun. ternyata Sri yang selama ini dia cemburui adalah sepupu Rio, temannya semasa kecil dulu. Jelas saja Nina tidak mengenali, mereka sudah lama tidak bertemu sejak Sri pindah ke Surabaya saat kelas tiga SD dan Sri yang dulu tomboy sekarang feminine sekali dengan rambut panjangnya yang bergelombang dan benar-benar mirip gadis keraton. Nina jadi takjub.

“Sialan, elu ngerjain gue ternyata.”

“Lagian siapa suruh elu nggak juga jadian sama Rio, dia itu udah cinta mati sama elu dari SMP tahu. Gue bete pas gue balik lagi dari Surabaya ternyata elu sama Rio masih sama kaya waktu kecil, Rio masih suka ngerjain elu dan elu selalu teriak-teriak kayak orang stress. Karena gue pindah kesini, makanya gue ngusulin buat ngerjain elu, kebetulan elu juga nggak ngenalin gue karena kita udah lama nggak ketemu, ternyata rencana gue berhasil, tapi gue serem lihat muka cewek jealous ternyata mirip setan.”

Nina melongo. Ya Tuhan… dia sama sekali nggak sadar sudah memperlihatkan wajah cemburu pada Sri selama ini.

“Maaf ya, udah bikin kamu kesal.” Rio mengulurkan tangan. Dengan rasa malu Nina membalas uluran tangan Rio. “Aku juga sayang Nina, kita jadian yah.” Rio sampai harus memiringkan kepalanya untuk bisa menatap Nina karena Nina berusaha menyembunyikan wajahnya.

Tidak ada komentar: