Rabu, 07 Desember 2011

Kenangan

Ini adalah cerita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku. Cerita paling manis yang pernah aku alami. Semua ini bermula waktu hand phone kamera baru muncul dan lagi digandrung-gandrungi anak remaja. Termasuk aku tentu saja.

Siapa sih yang nggak senang bergaya di depan kamera? Apalagi kamera itu kecil, praktis, bisa dipake nelepon dan SMS juga. Gambar hasil jepretan bisa dipasang sebagai wallpaper atau dicetak. Kehadiran hape kamera waktu itu benar-benar menyenangkan, jadi bisa narsis dan eksis.

Tapi aku pakai hape kameraku bukan buat bergaya tapi buat memotret apapun yang ada didepan mataku. Sebenarnya hape itu bukan punya aku sih, itu punya Kakakku, dulu aku nggak punya hape sekeren itu. Maklum sih anak SMA, apalagi dulu buat beli pulsa sama nomor perdana aja mahalnya minta ampun, jadi ya... asal bisa bergaya dengan hape yang bisa dipake buat nelepon sama SMS aja udah keren.

Lalu di suatu minggu pagi yang indah. Teman sebangku sekaligus sahabat terdekatku, Ovi, mengajak aku jogging. Ah, sebenarnya aku paling nggak suka jogging, bangun pagi di hari minggu buatku sangat-sangat menyebalkan. Selama enam hari berturut-turut aku harus bangun pagi, eh… di hari liburku yang berharga, yang seharusnya aku bisa bangun agak siangan malah jadi harus bangun pagi, tapi demi memenuhi janji dengan sahabatku aku lakukan kegiatan menyebalkan itu.

Nggak enak juga sih berkali-kali Ovi ajak aku jogging tapi selalu aku tolak. Kali ini apa boleh buat, untuk menyenangkan hatinya kuikuti dia. Dari jam lima pagi aku dan Ovi sudah berada di alun-alun Rangkasbitung. Seperti biasanya hari minggu alun-alun sangat ramai, banyak orang menghabiskan pagi mereka dengan olahraga atau sekedar jalan-jalan sekaligus cuci mata.

Aku dan Ovi lalu lari mengitari alun-alun selama satu jam. Setelah lelah kami berdua istirahat sambil menikmati jajanan yang ada disekitar alun-alun. Aku membeli semangkuk bubur sementara Ovi menikmati pisang goreng. Ternyata bangun pagi lalu pergi jogging menyenangkan juga, bikin badan segar. Setelah selesai makan Ovi melakukan senam ringan sedangkan aku… cuci mata, (hahay!) itulah yang paling aku sukai, kebetulan tadi sempat kucuri hape Kakakku. Ups, jangan bilang-bilang ya, kalau dia tahu hapenya kuambil, bisa dijewer aku.

Aku lalu mencari objek yang bisa kupotret. Pertama aku memotret penjual bubur yang ramai dikerumuni pembeli. Lalu aku memotret orang-orang yang lagi beristirahat sambil makan. Kemudian kameraku mengarah pada cowok ganteng yang lagi ngobrol. Ya ampun, biji mataku hampir keluar melihatnya. Abis dia ganteng banget sih!

Kulitnya putih, ah… ga putih juga sih agak kecoklatan. Gaya rambut spike. Dia pakai celana selutut dan kaos coklat. OMG! Dibalik kaos coklatnya aku bisa melihat badan dia yang menawan, kurus tapi tetep seksi. Melihatnya saja aku jadi berdebar-debar. Senyumnya memesona dan ada lesung pipitnya. Aku lalu mengambil gambarnya beberapa kali.

“Na, pulang yuk.” Tiba-tiba Ovi mengejutkanku. Hampir aja hape itu jatuh saking kagetnya. “Lagi ngapain sih?” Ovi melotot.

“Biasa.” Aku hanya tersenyum.

“Kebiasaan yah, ngapain sih motret orang lain? Mending punya hape kamera tuh motret diri sendiri aja.” Lagi-lagi aku cuma bisa senyum. Semoga Ovi ga tahu objek yang baru saja kupotret.

Sejak hari itu aku jadi sering jogging di hari minggu. Tadinya kupikir dia jogging tiap hari ternyata dia hanya jogging hari minggu aja. Tapi untunglah aku jadi nggak perlu tiap hari bangun pagi buat jogging. Dan tanpa terasa gambar-gambar cowok itu jadi tersimpan banyak. Dan sepertinya Kakakku nggak pernah otak-atik hapenya jadi photo-photo sebelumnya masih tersimpan.
***
“A, minta uang dong.” A Ferry mendengus melihat kedatanganku yang tiba-tiba ke counter hapenya hanya untuk minta uang.

“Kamu tuh ya, datang kesini bukannya bantuin malah minta duit.”

“Males ah, aku mau ke Cilegon nih, mumpung hari minggu.”

“Nggak usah ke Cilegon, kamu disini aja bantuin Aa, si Agus lagi sakit.”

“Tapi temen-temen aku udah nunggu di stasiun, A.”

“Batalin.” A Ferry menyodorkan hapenya. “Kecuali kalau kamu mau Bapa tahu kamu jalan-jalan….”

Aku mendecak kesal. Kurampas hape dari tangan Kakakku. Yah, batal deh hang out sama temen-temen. Padahal aku mau nonton film terbaru. Ah, Aa nih bikin rencana orang berantakan aja. Kalau sampai Bapak tahu aku pergi diam-diam bisa gawat. Tadi juga sih seharusnya aku pergi diam-diam saja.

Setelah mengirim pesan singkat. Aku lalu mengambil tabloid hand phone yang tergeletak di lantai. Kubolak-balik handphone dengan perasaan sebal. Terbayang olehku pasti teman-temanku sudah berangkat ke Cilegon naik kereta lalu mereka nonton sementara aku disini ditinggalkan.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya Bantu?” A Ferry menyapa pembeli.

“Mau beli hape kamera, A, ada, yang bekas aja.”

Suara cowok yang kudengar tapi aku nggak menurunkan tabloid. Lalu terdengarlah suara tawar menawar harga. Counter Kakakku memang tempat jual-beli handphone bekas dan baru sekaligus service. Kakakku jago banget menyervis handphone.

“Loh Ger, kok ada photo elu sih disini, mana banyak lagi.”

Aku tersentak kaget. Jangan-jangan hand phone yang dijual abangku hapenya sendiri. Aku mengintip dari balik tabloid. OMG! Ternyata yang membeli hape adalah cowok yang setiap hari minggu kupotret di alun-alun, dan dia… kembar! Aku menelan ludah. Gawat, aku pasti dimarahi.

“Oke deh, aku beli hape ini.” Ujar cowok yang dipanggil Ger. Cowok itu lalu melirik kearahku, tapi aku pura-pura nggak bersalah. Biar aja deh, anggap aja pemilik hape sebelumnya yang udah potret dia. Hape itukan second, dia pasti mengira begitu.

Setelah transaksi terjadi, kedua cowok itu pergi dan otomatis aku langsung dimarahi. Untung saja Agus keburu muncul dengan mengenakan masker, sepertinya dia sedang batuk. Aku langsung menadahkan tangan meminta jatah upah menemani abangku selama lima belas menit disana.

Selembar uang lima puluh ribu kuterima dengan senang hati. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan tiga puluh, kereta baru berangkat pukul sepuluh berarti aku masih bisa ikut. Naik ojeg ke stasiun pasti cepat. Aku segera melangkah menuju tempat pangkal ojeg, tapi baru melewati sebuah gang kecil tiba-tiba seseorang menarik tanganku.

Mataku membelalak melihat cowok yang kupotret ternyata yang menarikku. Ah bukan, yang menarikku saudara kembarnya, seingatku cowok yang kupotret badannya kurus sedangkan ini lebih kekar. Lalu badanku langsung disandarkan ke tembok dan saat aku mau teriak memanggil Kakakku, dia membekap mulutku. Sontak aku langsung berontak.

“Jangan kurang ajar ya!” bentakku kesal.

“Gue kurang ajar? Tapi elu nggak sopan, diam-diam motret orang.”

“Sembarangan! Elu kira gue pelakunya? Jangan asal nuduh ya, cari bukti dulu dong! Siapa tahu aja pemilik sebelumnya yang udah motret saudara elu!” Aku masih berusaha mengelak. Semoga dia nggak tahu pemilik sebelumnya adalah Kakakku. Tapi kemudian kulihat dia tersenyum, senyum yang sama memesonanya dengan cowok yang selalu jadi objek isengku.

“Oya? Tapi kok elu bisa tahu yah kalau yang ada di photo itu bukan gue?”

“Ya jelas gue tahu, dilihat dari jauh juga kelihatan bedanya, biarpun muka kalian mirip tapi badan sodara elu lebih kurus dari elu, anak kecil juga tahu kalau yang di photo itu bukan elu tapi sodara lu.”

Dalam hati aku bersorak senang karena merasa menang. Tapi aku baru ingat sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang membuat keberanianku membela diri luntur total terlebih saat melihat senyum cowok itu malah jadi menyebalkan.

Ya, aku baru tersadar, seharusnya aku tidak perlu memberi penjelasan tentang photo itu, bukankah seharusnya aku tidak tahu soal photo itu? Tapi kenapa aku malah memberi penjelasan detail. Bukankah itu berarti membuktikan akulah sendiri pelakunya.

“Udah, Tom, kasihan, anak orang jangan dikerjain kayak gitu, ntar nangis.” Aku menoleh ke arah kembar satunya yang tersenyum padaku. Astaga! Senyum memikat yang lebih lembut dari senyum saudaranya. “Aku Gerry, siapa nama kamu?” Gerry mengulurkan tangannya.

“Hanna.” Aku membalas uluran tangan Gerry sambil tersenyum. Akhirnya aku bisa kenalan juga sama cowok ganteng yang selalu jadi objekku. Sudah lama aku ingin berkenalan tapi aku tidak punya keberanian.

“Nama yang cantik, kayak orangnya… oya, ini saudara kembarku, Thomas.”

“Gerry? Thomas? Tom and Jerry dong!” aku tersenyum geli, begitu juga Gerry tapi Thomas malah melotot. Huh, aku sebel ama Thomas dia galak banget, beda sama Gerry yang lebih ramah dan bersahabat.

Kemudian kami pun jadi bersahabat. Gerry dan Tom merupakan mahasiswa terbaik Universitas paling bergengsi di kotaku dan keduanya sangat populer. Tom karateka yang paling diandalkan dan Gerry peraih penghargaan ilmiah. Tom tipikal cowok serius dan dingin sama cewek sementara Gerry humoris dan agak jahil.

Disaat aku kesulitan dengan pelajaran, aku bisa menemui Gerry dan kalau aku pengen jago di bidang olahraga tinggal mendatangi Tom. Hampir semua olahraga dia kuasai, atletik, renang, baseball, basket, Tom emang gila olahraga, makanya badannya pun lebih kekar dari Gerry. Tapi selalu kebetulan yang aku temui di alun-alun hanya Gerry, padahal Tom yang rajin olahraga.

Dan kini Gerry dan Tom sudah menjadi bagian dari hidupku, rasanya sulit sekali berpisah dengan mereka. Beruntungnya aku bisa dekat dengan si kembar, mereka juga sangat memanjakanku. Teman-temanku juga sering merasa iri padaku, karena aku kemana-mana selalu dikawal dua cowok ganteng. Selain itu, aku memang sudah menyukai Gerry sejak lama dan rasanya cinta ini semakin tumbuh subur dihatiku seiring kedekatan kami.
***
“Hai Tom, Gerry mana kok sendirian aja, tumben.” Aku menyambut Tom di malam minggu seperti biasanya. Aku, Gerry dan Tom emang selalu malam mingguan bertiga. Kadang aku hanya ingin malam mingguan aja dengan Gerry tapi Tom sepertinya tidak bisa lepas dari Gerry, mereka seperti kembar siam saja. Rencananya pun hari ini kami mau pergi ke ultah Ovi bertiga.

“Dia lagi nggak enak badan katanya, karena aku udah janji mau nemenin kamu ke ultah Ovi makanya aku datang.”

“Gerry sakit? Sakit apa? Parah nggak, kita tengok Gerry aja yuk.” Aku sudah mau menyeret Tom kembali ke rumahnya, tapi karena badan Tom sangat besar, yang ada bukan aku yang menyeret dia tapi badanku yang tertarik kembali dan nyaris menabrak badannya.

“Gerry nggak apa-apa, Hanna, malah dia yang nyuruh aku nemenin kamu, jadi nggak ke ultah Ovi-nya?”

Aku terdiam. Disaat seperti ini mana mungkin aku having fun di pesta ulang tahun Ovi. Biarpun Tom bilang sakitnya nggak parah, tapi aku tetap saja ingin melihat Gerry. Kurasa Ovi pasti akan mengerti.

“Kamu pengen nengok Gerry? Ya udah, kita kesana.” Aku tersenyum. Tom emang baik, biarlah nanti kado untuk Ovi aku kasih di sekolah hari senin. Tanpa mengganti gaun yang sudah kukenakan aku langsung naik ke mobil Tom.

Setelah tiba di rumah si kembar, tanpa permisi lagi aku langsung naik ke lantai atas menuju kamar Gerry. Aku memang sudah terbiasa keluar masuk rumah ini, Tante Shinta pun sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri, karena Beliau juga sudah menganggap aku anaknya.

“Gerry!” tanpa mengetuk, aku langsung membuka pintu kamar. Kulihat Gerry yang sedang berbaring di tempat tidur sangat terkejut dengan kehadiranku. Aku lalu melompat ke tempat tidur Gerry.

“Hanna. Aku pikir kamu ke ultah Ovi?”

“Abis pengawal aku bolos sih, makanya aku kesini mau kasih hukuman.” Gerry tersenyum. Tapi senyum Gerry saat ini tidak seindah biasanya, dia seperti menyimpan sesuatu. Padahal biasanya dia sangat ceria. “Sakit apa sih, Ger?”

“Cuma capek kok, mungkin kelamaan di perpustakaan.”

“Makanya kalau punya otak biarpun pinter tapi tetep harus diistirahatin dong, komputer juga kalau nggak diistirahatin bisa ngehang.”

“Ini aku lagi istirahat tapi kamu malah datang ngeganggu.”

“Oh, jadi aku ini pengganggu yah, ya udah aku pulang.” Ujarku merajuk. Lalu Gerry kembali tersenyum, masih dengan senyum yang sama. Senyum orang yang sedih dan letih.

“Aku becanda, Hanna, jangan ngambek gitu ah, jelek tahu.” Seperti biasa saat aku ngambek Gerry mencubit pipiku. Dia emang paling senang mencubit pipiku yang cubby.

Kemudian Tom datang membawakan makanan ringan, minuman dan monopoli. Aku menyambut gembira. Saat seperti ini memang menyenangkan main monopoli. Biasanya Ovi juga ikutan tapi kali ini dia pasti sedang bahagia dengan hari jadinya. Maaf ya, V, aku nggak datang. Aku bukannya sahabat yang jahat nggak datang ke ultah sahabat sendiri tapi saat ini aku ingin bersama-sama dengan Gerry. Rasanya aku tidak ingin kehilangan momen seperti ini. Bercanda, tertawa bersama.

“Oke, udah hampir jam sepuluh, Nona Hanna harus pulang.” Tom menyudahi permainan. Aku melirik jam dinding dan memang sudah hampir jam sepuluh.

“Uuh… Tom ngerusak kesenangan orang aja.”

“Kamu harus pulang, Cantik, dan aku juga harus istirahat.”

“Aku nginep aja ya.”

“Enak aja… kamu nggak boleh nginep, Mama lagi nggak ada, nanti apa kata orang… sebentar aku keluarin mobil dulu ya, nanti kamu aku panggil.”

Aku mengangkat bahu. Yang lama juga nggak apa-apa kok. Aku senang akhirnya Tom pergi juga biarpun hanya beberapa menit, tapi berduaan sama Gerry Sangat menyenangkan buatku. Tom memang hanya mengganggu saja, dia seperti nggak mau membiarkan aku hanya berdua dengan Gerry.

“Na, Tom udah nembak kamu?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan Gerry. Kenapa disaat seperti ini dia malah menyebut nama Tom, dan apa katanya tadi, Tom nembak aku? “Tom? Nggak tuh.”

“Huh, dia selalu gitu giliran disuruh nembak cewek susah, tapi kalau ngejatuhin cowok di pertandingan karate aja jago. Padahal Tom cinta banget sama kamu loh, apa kamu nggak bisa ngerasain sinyal cinta yang udah dikasih Tom buat kamu, aku senang kalau kamu sama Tom bisa jadian.”

Hatiku mati rasa mendengar kata-kata yang diucapkan Gerry, jadi dia senang kalau aku jadian sama Tom berarti selama ini dia sama sekali nggak cinta sama aku, jangan-jangan dia cuma anggap aku adiknya aja. “Aku sama Tom nggak mungkin jadian, karena aku… karena aku sayang kamu, Gerry.”

Aku mendengar Gerry mendengus lalu dia mengucapkan kata-kata yang mengerikan, “Ternyata benar dugaan Tom, pantas dia masih belum nembak kamu, sebaiknya kamu jangan mencintai aku, aku nggak sebaik yang kamu kira, aku ini cowok brengsek yang nggak pantes dicintai cewek sebaik kamu,

kamu paling benci kan sama cowok yang nggak pernah menghargai kehormatan cewek, perlu kamu tahu aku cowok yang seperti itu, aku sudah tiga kali menghamili cewek, tapi karena aku nggak mau kawin muda makanya aku suruh mereka menggugurkan kandungan, tadinya aku mau jadiin kamu sasaran aku berikutnya apalagi aku tahu kamu cinta sama aku, paling gampang buat aku ngerayu cewek seperti kamu, tapi karena Tom mencintai kamu makanya aku nggak lakuin semua itu, kalau kamu nggak percaya kamu mau buktiin sekarang?”

Tiba-tiba Gerry menarikku ke dalam pelukannya. Lalu dia mengubah posisi, merebahkan aku dengan keras ke atas tempat tidurnya dan menghalangi badanku dengan badannya. Dengan hanya bertelakan ke siku, Gerry menurunkan tali bahu gaunku dan hampir menciumku. Sontak aku memberontak.

“Lepasin aku, Gerry.” Aku berjuang melepaskan diri dari Gerry, setelah berhasil aku langsung melompat turun dari tempat tidurnya. “Kamu nggak mungkin kaya gitu, Gerry, kita emang baru tiga tahun berteman tapi aku tahu kamu.”

Tapi senyum Gerry tiba-tiba berubah mengerikan. Sebentuk seringai yang menjijikan. Dari senyum itu seolah Gerry ingin bilang, “kasihan kamu Hanna, karena sudah tertipu dengan topengku, kalau bukan karena Tom mungkin sekarang kamu sedang menangis meratapi apa yang telah terjadi diantara kita.” Karena aku nggak mau mendengar kata-kata Gerry lagi dan nggak mau melihat senyum mengerikan itu, aku langsung lari keluar meski Tom belum memanggilku.

Aku dan Tom berpapasan di tangga. Dia terkejut melihatku, kurasa wajahku memucat sekarang dan air mata sudah jatuh merembes membasahi pipiku.

“Kamu kenapa, Hanna?”

“Gerry, Tom… Gerry….”

“Gerry kenapa! Dia kolaps lagi?” Tom sudah hampir berlari naik tapi aku menariknya, lalu aku membenamkan wajah ke pelukannya.

“Gerry jahat, Tom… dia… dia…” Aku sama sekali nggak bisa meneruskan kata-kataku, aku hanya ingin menangis.

“Ya udah kita pulang aja, nanti cerita di rumah ya.”

Tapi bagaimana aku bisa cerita sama Tom. Cerita yang menurutku menjijikan ini. Apa Tom tahu tentang pergaulan bebas yang biasa dilakukan Gerry? Gerry ternyata cowok brengsek, aku paling benci sama cowok yang nggak menghargai kehormatan perempuan dan dia ternyata seperti itu.

Seakan telah membuka topeng yang dia kenakan selama ini, tiba-tiba Gerry berubah. Dia tidak lagi lucu dan tidak pernah lagi menjahiliku. Gerry yang kutemui setelah pengakuannya berubah menjadi Gerry yang menjijikan.

Tiba-tiba dia jadi sering memelukku, menciumku, memandangiku seperti dia hendak melahapku. Meski aku sering memarahinya dan bahkan menamparnya tapi Gerry seperti tidak perduli. Dia berubah menjadi serigala lapar dihadapanku.

Tapi entah mengapa meski Gerry bersikap demikian aku tetap tidak bisa membencinya. Hati ini terus berusaha memberontak dari kenyataan yang selalu ditunjukkan Gerry. Walau mataku melihat perubahannya tetapi hatiku tetap berkata itu hanyalah omong kosong.

Apakah itu berarti karena cinta? Apa mataku buta karena cinta? Serigala didepanku telah kuanggap kucing lucu berbulu lembut. Iblis dihadapanku malah tampak seperti malaikat cinta. Inikah pengaruh cinta? Aku dilema. Sampai Tom datang menemuiku dan membawa berita yang membuatku merana.

Kedua orang tuanya rujuk kembali. Aku memang bahagia mendengarnya, tapi Tom dan Gerry harus kembali ke Jakarta. Apa boleh buat, kami harus berpisah. Jakarta memang tidak berada diujung dunia tapi tetap saja aku merasa sedih harus berpisah dengan mereka. Hari-hari menyenangkan yang selama ini membuat hidupku lebih hidup menjadi kosong.
***
“Hanna, ada Tom diluar.”

Aku terkejut ketika mendengar suara Mama yang mengatakan Tom datang berkunjung. Ya Tuhan…! Sudah empat tahun kami tidak bertemu, sekarang tiba-tiba Tom datang. Dengan rasa tak sabar aku bergegas turun.

Seperti apa Tom sekarang, aku sudah kangen sekali. Sejak kami berpisah, tidak pernah kami bertemu lagi. Si kembar seperti menghilang tidak ada rimbanya. Aku sudah pernah menghubungi nomor handphone mereka tapi tidak pernah bisa terhubung, e-mail mereka pun sudah diblokir. Aku sempat bingung dan sedih, mengapa mereka seperti sengaja memutuskan hubungan denganku.

“Thomas.” Senyumku terkembang ketika melihat Thomas duduk manis di ruang tamu. Dia masih tetap seganteng dulu, senyumnya pun masih memikat. Ketika dia tersenyum, matanya pun ikut tersenyum.

“Hallo Hanna, kamu sudah besar.” Tom membelai helai rambut yang jatuh didahiku.

“Iyalah, aku kan sekarang sudah jadi sarjana.”

“Oya, aku sampai nggak sadar kalau kita sudah lama berpisah, sudah empat tahun.”

“Kalian kemana aja sih, masa pindah ke Jakarta aja sampai nggak komunikasi lagi, kayak hilang ditelan bumi, nggak mau temenan ama aku lagi? Nggak mau jadi Kakak aku lagi? By the way… Gerry mana, kok kamu sendirian sih?”

“Aku ingin bicara sama kamu, kita ke Carita?”

“Ke Carita?” mendadak begini. Sudah hampir tengah hari lagi. “Oke deh, tunggu aku ganti baju dulu ya.”
***
Karena berangkat dari rumah siang hari, waktu hampir menjelang sore ketika kami tiba. Suasana pantai pun sudah sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang masih betah dan pedagang. Tapi suasana seperti ini yang menyenangkan buatku. Kami lalu duduk diatas pasir beralaskan tikar yang dapat disewa dari bocah-bocah kecil yang menjajakannya.

“Happy birthday.” Aku tertegun sejenak sambil kutatap kado yang disodorkan Tom. Ya ampun…! Aku sendiri lupa dengan hari ulang tahunku tapi Tom jauh-jauh datang hanya untuk memberikanku sebuah kado.

“Thank’s apa ini, Tom? Boleh aku buka.”

“Buka aja.”

Dengan rasa tidak sabar, aku membuka kado dari Tom, tapi kemudian aku terkejut saat melihat isinya hand phone kamera milik Gerry yang pernah dia beli di konter hape Kakakku tujuh tahun yang lalu. Tiba-tiba kenangan pertemuanku dengan si kembar muncul ke permukaan, tapi apa maksud Tom memberi kado ini?

“Itu dari Gerry, sebenarnya aku nggak ingin memberi hape itu sekarang tapi kurasa lebih cepat kamu tahu akan lebih baik. Gerry sudah meninggal.”

Aku tersentak kaget mendengar berita yang dibawa oleh Tom. “Gerry meninggal, kamu bercanda kan Tom?”

“Apa kamu pikir aku akan bercanda dengan hal seserius ini?” Tom menatapku lekat-lekat. “Gerry selama ini tidak pernah perduli dengan penyakitnya, ketika dokter memeriksanya ternyata dia terkena kanker, makanya kami pindah ke Jakarta untuk menyembuhkan penyakitnya, setelah satu tahun di Jakarta kami pindah ke Singapore dengan harapan disana Gerry akan mendapat pengobatan lebih baik, tapi Tuhan berkehendak lain, Na, dia meninggal setelah empat tahun berjuang dengan penyakitnya.”

Aku merasa mati rasa saat mendengar berita yang dibawa Tom. Kenapa sebentar sekali waktu kebersamaanku dengan Gerry, Tuhan? Dan kenapa aku tidak diberi kesempatan berada disampingnya saat dia menghembuskan nafas terakhirnya.

“Sebenarnya aku ingin memberitahumu tapi Gerry melarang, dia tidak ingin kamu bersedih, dia ingin saat meninggal hanya wajah tersenyummu lah yang diingatnya, Gerry itu sangat mencintai kamu, Hanna, tapi karena aku juga menyayangimu Gerry sengaja mengarang cerita tentang dia yang brengsek agar kamu menjauhinya. Kenyataannya sampai terakhir melihatmu ketika berpisah, aku masih melihat cinta untuk Gerry dimatamu, bahkan hari ini pun aku tahu dihatimu hanya ada Gerry.”

Air mataku jatuh merembes membasahi pipiku. Aku sudah tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Aku mencintainya bahkan hari ini rasa itupun belum hilang dari hatiku, bagaimana aku bisa mengalihkan cinta itu pada orang lain. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Tuhan?

“Selama empat tahun ini, Gerry terus hidup dengan kenangannya bersamamu, dia menyimpan baik hape itu, merawat bunga mawar yang kamu sukai, bermain halma seorang diri, sampai akhir hayatnya dia masih mencintaimu.”

Aku lalu menyalakan hape kamera milik Gerry, ternyata hape itu masih hidup tapi pemiliknya sudah tiada. Hatiku terasa miris. Gerry merawat hape ini dengan baik. Sakit sekali rasanya ketika aku membuka photo-photo yang menyimpan gambar hasil jepretanku. Dan semua itu sekarang hanya tinggal kenangan.

Tidak ada komentar: