“Hai.” Senyum menawan Ardi menyambut kedatanganku di Terminal Pakupatan, usai aku turun dari bis Bima Suci yang mengantarku langsung dari Bandung hanya semata untuk menemuinya. Aku tersenyum hangat menyambutnya, ternyata dia benar-benar datang menjemputku. “Mau kemana lagi kita?” tanyamu. Aku mengangkat bahu.
“Menurutmu dimana tempat bagus yang bisa aku kunjungi lagi?” aku balik bertanya. Karena jujur saja aku memang tidak tahu tempat wisata di Banten yang bisa kukunjungi selain eks kerajaan Banten, pemandian air panas di Lebak, Pelabuhan Merak, Baduy dan kita sudah mengunjungi semua tempat itu.
Memang aku pernah dengar mengenai Pantai-pantai di Banten yang sangat menawan seperti Carita atau Anyer tapi aku sudah lama tidak pernah mengunjungi pantai. Pantai membuat perasaanku jadi mellow dan aku benci itu.
“Loh, itu terserah kamu, bukannya kamu yang ingin jalan-jalan ke Banten? Aku kan hanya ‘guide’ yang bertugas mengantarkanmu.” Aku kembali tersenyum.
Guide? Ya ampun. Lucu sekali rasanya mendengar kata itu. Memang kamu adalah guide-ku, setiap kali aku ingin jalan-jalan ke Banten pasti aku langsung menghubungimu dan dengan berbaik hati kamu akan mengantarkanku ke tempat-tempat yang ingin ku kunjungi di Banten.
“Tapi kamu kan yang lebih mengenal Banten dibandingkan aku.”
“Sebaiknya aku antar kamu ke rumah Bibimu, ya, sekarang sudah sore, besok kita mulai jalan-jalan.” Aku mengangguk setuju.
Lagipula aku masih lelah sehabis perjalanan yang terasa begitu menyita waktu. Lima jam yang membuat aku bosan karena aku hanya bisa duduk di dalam bis tanpa bisa melakukan apapun selain tidur, makan atau menikmati pemandangan sepanjang tol Cipularang. Pemandangan membosankan.
Dengan motor Tiger kesayanganmu, kamu mengantarkan aku menuju rumah Bi Nila, adik ibuku, di kawasan Ciceri. Backpack yang berisi bekalku, kamu gendong dengan memposisikan tas menghadap ke depan, sedangkan aku di belakang tanpa merasa jengah memeluk pinggangmu erat. Dan kamu hanya terdiam setelah sesaat kamu menarik nafas ketika kedua tanganku berani memelukmu. Aku tidak memperdulikan helaan nafas itu.
***
“Feni?!” terkejut Bibi Nila melihat kedatanganku. Aku memang tidak memberitahukan padanya kalau hari ini aku akan datang lagi. Anggap saja sebagai surprise. “Kok mau kesini nggak bilang-bilang dulu, Fen.” Logat parahiyangan masih terdengar kental di telingaku meski bi Nila sekarang lebih sering berbicara dengan bahasa Indonesia.
Yah, mayoritas orang Serang memang menggunakan bahasa jaseng alias jawa serang membuat aku dan keluarga Bi Nila yang berasal dari parahiyangan kesulitan berkomunikasi selain memakai bahasa Indonesia.
“Sengaja surprise.” Sahutku seraya turun dari motor Ardi.
“Dasar. Gimana kalau bibi lagi nggak ada? Kamu mau menginap dimana?”
“Kan banyak hotel, Bi, yang murah juga pasti ada.” Ujarku seraya menerima backpack dari Ardi. Bi Nila hanya geleng-geleng kepala.
“Tugasku menjemput kamu sudah selesai, aku mau pamit masih ada perlu, besok aku kesini lagi.” aku hanya mengangguk.
“Eh, mau kemana, Ardi, kok buru-buru, mampir dulu atuh.”
“Nggak usah, Bi, terima kasih, saya hanya mau mengantarkan Feni, katanya besok dia mau jalan-jalan lagi, besok saya akan datang untuk menjemputnya.”
“Ya sudah, terima kasih sudah mengantarkan Feni.” Ardi hanya mengangguk. Dia lalu menstarter motor Tiger-nya kemudian motor itu melaju meninggalkan kami.
“Kamu kesini mau traveling lagi sama Ardi?” aku hanya mengangguk. “Jangan-jangan kamu kesini sebenarnya ingin bertemu Ardi kan?” aku terdiam tidak menjawab pertanyaan bi Nila yang langsung pada sasaran seperti itu. “Sejak kamu kenal Ardi, sebulan dua kali kamu kesininya juga, apa Ayah kamu nggak marah lihat anaknya jalan-jalan melulu?”
Marah? Nggak lah. Alasan aku kan kesini buat main ke rumah bi Nila, jadi mana mungkin ayah marah.
***
Aku duduk santai di teras rumah bi Nila sambil memandangi langit malam dan kubayangkan besok kemana Ardi akan membawaku pergi.
Guide. Aku menyeringai ketika mengingat kata itu lagi. pertemuanku dengan Ardi memang secara tidak sengaja. Ketika aku baru patah hati dari Armand, sepupuku Devi mengajakku mendaki gunung Karang di Pandeglang. Kami berdua benar-benar nekat ketika itu, padahal Devi bukan orang yang biasa mendaki gunung apalagi aku, dan di perjalanan aku bertemu dengan Ardi dan kawan-kawannya dengan tujuan yang sama. Karena Ardi mengkhawatirkan kami, dua perempuan nekat, dia lalu mendampingi kami mendaki Karang Mountain bersama-sama.
Sejak itu, kedatanganku ke Banten lagi memang bisa dikatakan nekat. Dengan alasan aku datang sekedar untuk melepaskan kesedihanku pasca putus dari Armand, aku datang kesini sampai dua minggu sekali. Padahal tujuanku sebenarnya ingin menemui Ardi. Saat pertemuanku pertama kali di gunung Karang itu tanpa kusadari Ardi menjadi sosok dominan yang aku perhatikan.
Kesediaannya mendampingi gadis-gadis nekat seperti kami, orang-orang yang baru dikenalnya, kesigapannya melindungiku yang tidak terbiasa mendaki gunung dan kebaikan-kebaikan Ardi yang lain yang tanpa sadar membuatku bisa dengan mudah melupakan Armand.
Sekarang, Armand yang dulu sulit sekali kuhilangkan bayang wajah dan kenangannya telah pergi entah kemana dari benakku. Yang menguasi hatiku kini hanya Ardi. Dia laksana Oase yang mengaliri hatiku yang telah kering. Kehadiran Ardi memberikan warna baru dalam hidupku. Duniaku yang dulu tampak suram kini kembali berwarna seperti pelangi.
***
Jam delapan pagi motor Ardi sudah parkir di halaman rumah bi Nila. Guide-ku sedang duduk manis di sofa tamu saat aku datang. Senyum menawan kembali terukir dibibirnya melihat kedatanganku.
“Sudah siap.” tanyanya kemudian.
“Kamu mau ajak aku kemana sekarang?”
“Anyer.”
“Anyer?” Aku terkejut mendengarnya. “Pantai dong!”
“Iyalah, memangnya kenapa kalau pantai?”
“Nggak. Aku udah lama aja nggak pernah ke Pantai lagi.”
“Kalau begitu, ayo sekarang kita jalan-jalan kesana.” Mata elang-nya membiaskan senyum yang indah. “Pakai ini, yah.” Ardi lalu memasangkan helm biru bergambar Mickey Mouse di kepalaku. “Nah, sekarang sudah aman, ayo.” Tangan kanannya terulur dan kusambut dengan hangat.
“Bi, kami berangkat dulu yah.” Pamitku pada bi Nila yang sedang sibuk mengurusi tanamannya.
“Iya, hati-hati yah. Di, tolong jaga Feni yah.”
“Beres, Bi.” Ardi lalu naik ke atas motornya. Setelah motor distarter, aku lalu naik ke boncengan. Kali ini aku tidak memeluk pinggang Ardi karena aku malu, masih ada bi Nila yang mengawasi kami.
***
Karena hari libur, suasana pantai sedang ramai, kami sampai kesulitan mencari tempat yang agak sepi. Dimana-mana banyak orang yang sedang menikmati keindahan pantai Anyer untuk mengisi weekend mereka. Sampai akhirnya kami pun menemukan tempat yang tidak terlalu ramai, hanya dikunjungi beberapa orang saja, entah dimana persisnya aku tidak tahu. Yang pasti masih sekitar pantai Anyer.
Ardi memarkirkan motornya setelah membeli tiket masuk. Aku lalu turun dan langsung berlari menuju bibir pantai tanpa menunggu Ardi lagi. Sudah lama juga aku tidak mengunjungi pantai, rasa rindu akan aroma pantai membuat aku ingin menghirup kesegarannya sedalam-dalamnya dan tidak ingin membaginya dengan orang lain.
Tapi meski sedikit pengunjungnya, pedagang di sekitar pantai tetap saja ramai. Mereka berbondong-bondong menawarkan dagangannya pada kami yang baru saja datang. Ardi sampai kerepotan berkali-kali menolak para pedagang itu. Kami berdua lalu duduk beralaskan pasir putih.
“Aku udah lama nggak ke pantai.” Ujarku lagi seraya duduk di sampingnya. Aku menekuk kedua kaki lalu kepeluk sepasang kakiku yang berbalut celana jeans yang telah aku gulung hingga ke lutut.
“Kenapa? Bukannya kamu suka pantai.”
“Aku memang suka pantai tapi pantai membuat aku selalu ingin menangis.”
“Sekarang kamu sedang sedih? Gimana kalau kita teriak bareng-bareng?”
“Teriak? Tapi banyak orang, Di.” Aku melirik ke arah sekitarku.
“Cuek aja, yang penting kan kamu nggak sedih lagi.”
Tapi aku memang nggak lagi sedih sekarang. Aku malah lagi senang karena kehadiranmu yang membuatku sanggup melupakan kesedihan itu.
Ardi lalu menarik tanganku dan membawaku ke tepi lautan. Dia sendiri yang mulai berteriak seolah tengah melepaskan segala kepenatan. Aku lalu ikut berteriak-teriak dengan kencang tanpa kuperdulikan orang-orang sekitar yang memperhatikan tingkah aneh kami.
Teriakan memang terapi paling ampuh untuk menghilangkan sesak yang mengganjal di dada. Tapi sesak apa yang menindihku saat ini, karena semuanya sudah lepas sejak kamu hadir di sisiku, Ardi. Yang hadir di hatiku sekarang hanyalah kebahagiaan, melihat senyummu yang menawan begitu membahagiakan. Armand sudah tak lagi mengusik hari-hariku.
Setelah berteriak-teriak sambil tertawa dengan puas, aku dan Ardi lalu lari berkejaran dengan ombak. Ketika ombak menjauh kami mendekati tapi ketika ombak menggulung menghempas pantai kami berlari menghindari. Aku hanya tertawa-tawa saat ombak berhasil membasahi kedua kakiku.
“Ardi.” Panggilku, lalu Ardi menoleh. Aku langsung melempar air laut dengan tanganku ke arah Ardi. Sontak Ardi menghalangi dengan tanganya, aku tertawa puas. Pakaiannya basah terkena percikan air laut dan saat Ardi akan membalasnya aku langsung lari menjauh.
Dari belakang Ardi berlari mengejarku, langkah kakinya yang lebar sulit kuhindari dan dalam hitungan beberapa detik saja tangan Ardi sudah meraih tubuhku dan berteriak, “Kena, kamu!” Aku meronta dalam pelukannya sambil berteriak tapi sepasang tangan kekar itu seolah enggan melepaskanku. Aku pun tenggelam dalam dekapannya.
Sesaat kami hanya terdiam, kurasakan debar jantungnya lembut mengusik gendang telingaku. Kedua belah tangannya yang kekar terasa kuat memelukku. Tiba-tiba Ardi melepaskan pelukannya dan memutar tubuhku hingga berhadapan dengannya. Mata elang Ardi menatapku hangat, wajahnya mendekat lalu tanpa sanggup kuhindari Ardi mencium lembut bibirku.
“Ardi, aku mencintaimu.” Bisikku usai dia menciumku
Tapi kemudian Ardi terdiam, tubuhnya mengejang lalu pelukannya pun terlepas.
“Sepertinya kamu sudah salah paham dengan sikapku selama ini.” aku terkejut mendengar pernyataan yang tiba-tiba itu. “Selama ini aku tidak pernah bisa menganggapmu lebih dari sahabat, bukankah dari awal aku sudah bilang hubungan kita hanya sebatas pertemanan, aku tidak bisa membalas cintamu, Feni.”
Tubuhku bergetar mendengar jawaban Ardi. Bibirku terasa tremor dan air mata menggenangi kelopak mataku, basah, menghalangi penglihatanku. Jadi, Ardi memang tidak bisa mencintai perempuan lain selain Ira? Meski sudah berbulan-bulan aku berusaha mengambil hati Ardi, kenyatannya Ardi masih mencintai Ira. Lalu apa arti semua yang telah kulakukan untuk Ardi?
“Kenapa, Di? Apa karena Ira? Kamu merasa tidak ada perempuan lain dalam hidupmu selain Ira? Kamu merasa hanya Ira yang bisa memberimu cinta?” Ardi hanya diam sambil matanya menatap ke lautan lepas. “Kamu bodoh, Ardi.” Suaraku kali ini mulai berbaur dengan isak. “Kamu lihat aku, Ardi! Aku masih bisa berdiri dengan kedua kakiku meski kemarin aku terpuruk karena Armand, aku masih mau membuka hatiku untuk laki-laki lain sekalipun kemarin Armand sudah menghancurkannya tapi, kamu? Kamu masih bernostalgia dengan masa lalumu. Buka matamu, Ardi! Ira bukan milikmu lagi meski keindahan cinta kalian pernah mengisi lembar hidupmu.”
Air mata sudah jatuh meleleh di pipiku.
“Lalu apa arti kehadiranmu selama ini disisiku? Apa arti ciumanmu tadi? Kamu selalu ada untukku, kamu bisa menghilangkan bayangan Armand dari benakku, kalau niatmu hanya untuk membantuku mengobati luka di hatiku, percuma. Karena aku tidak butuh semua itu! kamu kejam, Ardi. Kamu berhasil menorehkan luka baru di hatiku.”
Aku berlari meninggalkan bibir pantai. Aku terus berlari dan terus berlari tanpa menghiraukan panggilan Ardi. Beruntung sebuah taksi melintas didepanku dan aku langsung menghentikannya. Tanpa sempat menoleh lagi aku meminta agar sopir taksi membawaku kembali ke Ciceri, Ardi sempat mengetuk kaca mobil tapi karena sopir sudah keburu menginjak gas, taksi pun meninggalkan Ardi..
Ah, untuk apa aku marah-marah pada Ardi? Dia pasti mengira aku kecewa karena cintaku tak berbalas. Sebenarnya yang membuatku kecewa bukan karena Ardi tidak mencintaiku tapi lebih karena aku kesal melihat Ardi masih bernostalgi-la dengan cinta masa lalunya padahal dia laki-laki.
Kenapa laki-laki patah hati malah jadi lemot? Bukankah laki-laki biasanya bertindak dengan otak, bukan perasaan? Tapi kenapa kebanyakan laki-laki – yang kutemui – patah hati malah lebih lemah dari wanita? Aku sendiri masih bisa bangkit dari patah hati dan mencoba membuka pintu hati dengan cinta yang baru tapi Ardi, luka itu sudah lama menggores hatinya, sampai sekarang dia masih saja mengingat-ingat kisah indahnya.
Mungkin kalau Ardi menjadi pengarang, dia akan membuat novel tetralogi tentang kisah cintanya atau mungkin dia akan membuat puluhan lagu dan puisi yang menceritakan cinta dan lukanya. Huh. Menyebalkan! Laki-laki bermelankolis dengan masa lalu.
***
“Bandung! Bandung! Bandung!” Seorang kernet bis meneriakkan trayeknya didekat telingaku nyaris memecahkan gendang telingaku. Spontan aku menutupnya.
Bis masih separuh kosong. Aku lalu duduk di bangku paling depan dekat jendela. Kubiarkan backpack-ku disimpan di bagasi oleh sopir. Kali ini kepulanganku kembali ke Bandung dengan membawa luka baru dan mungkin aku takkan kembali lagi ke kota tempat tinggal Bi Nila, dimana ada Ardi disana.
Aku lalu mengambil I pod dan memperdengarkan lagu Memeluk Bulan, hits terbaru milik Rossa. Sebagian lagu ini benar-benar menyentuh hatiku. Karena memang, tuk bersamamu bagaikan berharap memeluk bulan.
Setelah bis penuh dan seorang ibu yang duduk disebelahku telah naik, bis mulai melaju meninggalkan terminal pakupatan. Bis berjalan perlahan melewati kampus ternama di Serang, ketika itu ekor mataku menangkap bayang wajah seorang pria menaiki motor Tiger. Aku terhenyak karena penasaran, dan sesuai dugaanku yang menaiki motor itu Ardi.
Aku lalu menghampiri pintu, memaksa kernet memberiku ruang untuk menengok keluar lewat kaca mobil yang terbuka. Ardi membawa motornya memasuki terminal, aku tidak tahu apa tujuan Ardi ke terminal. Tapi yang pasti aku tidak akan kembali turun dari bis Bima Suci ini, bis terus melaju meninggalkan kota Serang. Selamat tinggal, Ardi. Kenangan itu akan selalu tersimpan dalam hatiku dan akan menjadi kenangan paling manis yang pernah kulalui.
(Cerpen ini pernah dimuat di harian lokal Radar Banten, hanya saja aku lupa terbitan kapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar