Setelah Astri memastikan penampilannya perfect hari ini, dia lalu mengeluarkan motornya dari halaman rumah, siap untuk pergi ketempat kerja. Dikenakannya helm berwarna biru, tidak lupa dia mencium tangan ibunya untuk pamitan. Motor scooter matic yang pagi tadi telah dia panaskan, sekarang siap dikendarai. Astri lalu menstarter motor itu, beberapa detik kemudian motor matic itu meluncur dijalanan beraspal, meninggalkan asap knalpot yang berterbangan diudara.
Astri baru saja lulus kuliah tahun ini, dan dia sudah dipercaya menjadi seorang guru di sebuah sekolah swasta di Rangkasbitung. Meski awalnya dia belum begitu yakin untuk menjadi seorang pendidik, tetapi ketika semua dilaluinya dengan hati gembira dan keikhlasan, hari-harinya pun dapat dijalani dengan lancar.
Dia merasa tidak yakin karena bidangnya bukan dari kependidikan. Astri merupakan sarjana ekonomi dengan jurusan manajemen. Saat ini memang dia dipercaya menjadi guru ekonomi, tetapi untuk menghadapi tiga puluh sampai empat puluh siswa perkelasnya memang tidak mudah.
Tugas guru adalah untuk digugu dan ditiru. Dia harus sebisa mungkin menampilkan citra yang baik di depan murid-muridnya, jangan sampai didepan murid dia mengajar dan menasehati hal-hal yang baik pada muridnya tetapi dibelakang dia berbuat sesuatu yang tidak baik. Baik di sekolah maupun diluar sekolah, sebisa mungkin Astri harus menjaga nama baiknya.
Sangat memalukan kalau sampai seorang guru diberitakan melakukan perbuatan tercela. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena perbuatan tidak baik seorang guru, maka akan merusak citra orang lain yang berprofesi sama dengannya. Murid bukan hanya akan tidak hormat padanya, tetapi juga tidak akan mau menuruti kata-katanya atau mungkin akan meniru perbuatan tidak baik gurunya.
Setelah perjalanan selama dua puluh menit dari rumah menuju sekolahnya, akhirnya Astri tiba. Diparkirkannya motor di halaman sekolah, setelah memastikan motornya terkunci, Astri lalu turun dan melangkah menuju ruang guru.
“Assalamu’alaikum.” Sapanya pada teman-teman yang sudah datang terlebih dahulu.
“Wa’alaikum salam… bu Astri kebetulan, saya baru saja mau menelepon Ibu.” Ujar Ibu Desi.
Astri hanya tertegun.
Ada apa Ibu Desi mau meneleponnya? Rekan kerjanya ini kan seorang guru BP, apakah sesuatu terjadi pada muridnya sehingga Ibu Desi hendak menghubunginya.
Tapi sebelum sempat pertanyaan Astri terjawab, bel masuk keburu berbunyi.
“Bu Astri ada jam sekarang?”
“Nanti jam ketiga, Bu.”
“Baguslah kalau begitu, mari Ibu ikut saya ke ruang BP.”
“Sebenarnya ada apa ini Ibu Desi? Saya bingung.”
Bagaimana dia tidak merasa bingung, baru saja dia datang, dia sudah diminta untuk pergi ke ruang BP. Pagi-pagi sudah ada berita yang tidak menyenangkan.
“Ibu wali kelas sepuluh TKJ bukan?”
Astri hanya mengangguk.
“Anak Ibu ada yang bertengkar.”
Ya Tuhan…! Anak muridnya ada yang bertengkar. Pagi-pagi mereka bertengkar?
Memangnya apa yang sedang mereka ributkan.
“Tadi Pak Kiki memergoki ada anak bertengkar di dekat toilet, setelah kami tanya ternyata mereka anak-anaknya Ibu. Hani dan Diana anak Ibu bukan?”
Hani dan Diana? Sekretaris dan bendahara kelas, bertengkar memperebutkan apa? Berantem di depan toilet sampai kepergok wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, kenapa nggak sekalian dipergoki kepala sekolah? Biar tambah heboh! Dan semakin tambah pusing kepala wali kelasnya.
“Sebentar, Bu, saya taruh helm dulu.”
“Silahkan.”
Bergegas Astri menaruh helmnya ditempat penyimpanan helm, setelah melepas jaket dan menyimpan tasnya, dia segera menyusul Ibu Desi yang terlebih dulu pergi ke ruang BP.
***
Diana dan Hani duduk tepekur di sofa yang terdapat di ruang BP, didepan mereka duduk Pak Kiki sedang melipat tangan di dada. Tampaknya Pak Kiki sedang mengintrogasi muridnya. Diruangan itu bukan hanya ada Pak Kiki, tetapi ada Pak Gilang, Pembina osis dan juga Irawan, ketua kelas teknik komputer dan jaringan.
“Ada apa ini?” Astri memerhatikan pemandangan itu dengan penuh tanda-tanya.
“Ibu….” Diana dan Hani menyambut kedatangan wali kelasnya dengan wajah memelas dan air mata yang menggenang di pelupuk mata mereka.
Penampilan keduanya membuat Astri geleng-geleng kepala. Pakaian mereka berantakan dan kotor, tampaknya pertengkaran itu terjadi dengan sengit. Jilbab yang mereka kenakan pun tampak tidak rapi lagi.
“Kalian bikin masalah apa sih?”
Yang ditanya malah diam tertunduk, tidak berani menjawab.
“Mereka bertengkar, Bu. Memperebutkan seorang anak laki-laki.” Akhirnya Pak Kiki lah yang memberi jawaban.
“Apa?!” Astri sempat tertegun sesaat. “Memperebutkan siapa?”
“Nih orangnya, Bu.” Pak Gilang menunjuk pada Irawan yang juga tidak berani menatap wali kelasnya.
Walaupun dia sebagai anak laki-laki yang diperebutkan oleh dua anak perempuan, tetapi dia tidak bisa memperlihatkan sikap besar kepala didepan wali kelasnya sendiri. Malah Irawan merasa sangat malu.
“Irawan nggak tahu apa-apa, Bu." Cowok hitam manis itu membela diri
“Tapi dia yang udah selingkuh dengan Diana, Bu.” Hani menerangkan penyebab pertengkarannya.
“Siapa juga yang selingkuh? Kamu tuh yang kegatelan, nyangka Irawan suka sama kamu, dia itu punya aku tahu!” Tuduh Diana.
“Siapa yang kegatelan, aku nggak pernah deketin Irawan, dia sendiri yang suka pedekate sama aku, kirim-kirim salam, ngasih coklat, ngasih parfum, apa itu namanya kalau bukan dia suka sama aku.” Hani tak mau kalah.
“Emangnya kamu punya bukti kalau semua barang-barang itu dari Irawan?”
“Aku punya bukti! Ini kartu ucapan yang ditulis Irawan buat aku.” Hani memperlihatkan barang bukti berupa kartu ucapan yang tergeletak diatas meja.
“Diam kalian semua!” bentak Astri.
Hani dan Diana sontak terdiam.
Tidak biasanya Ibu Astri marah seperti ini, wali kelasnya ini dikenal sebagai guru paling baik dan paling tidak bisa marah sama muridnya. Hatinya selalu tidak pernah tega bila harus memarahi dan memberi hukuman pada murid. Tapi kali ini Ibu Astri benar-benar naik pitam.
“Kalian pikir, kalian pantas bicara seperti itu didepan guru-guru kalian? Kalian berdua ini harus sadar, kalian masih anak ingusan, baru kelas sepuluh, pakai baju abu-abu putihnya juga baru kemarin, sudah bilang pacaran, selingkuh, kegatelan. Apa pantas seorang pelajar mengucapkan kata-kata seperti ini?!”
Hani dan Diana hanya diam tertunduk. Si cowok yang sedang diperebutkan itupun sejak tadi hanya berani menutup mulutnya.
“Kalian masih terlalu kecil untuk berpacaran, memang pacaran itu hal yang biasa bagi remaja seusia kalian, tetapi alangkah lebih baik jika kalian berprestasi dulu di kelas, jangan dulu pikirkan pacaran. Kalian bertiga termasuk anak yang rajin dan berprestasi, sayang sekali kalau nilai-nilai kalian turun gara-gara sibuk memikirkan pacaran. Ibu disini merupakan orang tua kalian, Ibu yang bertanggung jawab atas sikap dan nilai-nilai kalian. Ibu tidak mau kalau sampai kalian semua jadi kacau gara-gara pacaran.”
“Iya, Bu… maaf.” Hani dan Diana semakin tidak berani menatap gurunya.
“Pak Kiki, apa hukuman untuk anak yang ketahuan bertengkar di sekolah?”
“Hukumannya di skors tiga hari, Bu.”
“Di skors?” Belalak Hani dan Diana. "Jangan, Pak... please... kami malu kalau harus di skors."
“Itu resiko yang harus kalian tanggung.” sahut Astri meski sebenarnya hatinya tak tega juga menghukum mereka. Tampak merasa merasa sangat bersalah.
“Kalian berdua ini ada-ada saja, bertengkar memperbutkan satu cowok, bikin cowok itu besar kepala aja, mending perebutin Bapak aja.” Gilang mencoba mencairkan suasana.
Mendengar kelakar itu, Diana dan Hani pun tersenyum. Setidaknya kata-kata Pak Gilang membuat hati mereka sedikit terhibur.
“Dua anak ini memperbutkan satu cowok, emangnya cowoknya suka sama kalian nggak?” Ibu Desi kembali menghangatkan suasana.
“Buat saya mereka hanya teman, Bu….” Irawan menyahut. “Lagian parfum, bunga dan coklat itu sebenarnya bukan buat Hani, Bu.”
“Trus buat siapa di kartu ucapan itu kan inisialnya AH, harusnya Aina Handayani, kan?” tanya Ibu Desi seraya membaca kartu ucapan yang ada diatas meja sebagai barang bukti.
“Bukan. AH itu maksudnya Astri Hermawan.”
Astri terkejut mendengar namanya disebutkan oleh sang ketua kelas.
“Jadi, kamu naksir Bu Astri?” Ibu Desi terkejut.
“Pak, skors aja ketiga anak ini satu minggu! benar-benar keterlaluan, sangat memalukan!” setelah mengucapkan kata-kata itu Astri segera keluar dari ruang BP dengan wajah memerah karena marah.
Pak Gilang, Pak Kiki dan Ibu Desi hanya mengulum senyum melihat kepergian sang wali kelas yang baru saja mendapatkan pernyataan cinta dari muridnya.
Nama, cerita dan lokasi hanya rekayasa, bila ada kesamaan bukan suatu kesengajaan
thanks to my student Helen Irawan, Rohaeni dan Indah Rohdiana, maaf namanya Ibu catut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar