Sambil menenteng bola sepaknya, sehabis dia latihan Ari menghampiri Ina yang sedang memperhatikan pengumuman di madding mengenai class meeting yang sudah di selenggarakan selama dua minggu ini. Kelas Administrasi Perkantoran 1 bersaing ketat untuk meraih kemenangan melawan kelas Akutansi 3.
Score yang diraih anak kelas satu dan dua di akumulasikan berdasarkan jurusan untuk menentukan juara umum di SMK negeri 1 ini. Pengumuman siapa juara umumnya akan dilakukan setelah pertandingan paling akhir. Secara kebetulan saat ini sepak bola dari AP 1 yang diwakili oleh kelas sebelas dan AK 3 yang juga diwakili oleh kelas sebelas bertemu di final. Final sepak bola lah yang akan menjadi penentu juara umumnya.
“Wah… pertandingan final sepak bola kali ini menjadi penentu siapa juara umumnya.” Ina menoleh kearah Ari.
“Ini juga berkat Ina, kan?”
“Emangnya aku udah ngelakuin apa?” Ina mengangkat alisnya.
“Tahu nggak? Tahun kemarin kelas AP satu yang jadi juara umum di sekolah kita, sedangkan kelas kita score-nya jauh di belakang kelas AP satu. Tapi karena tahun ini Ina dapetin dua kejuaraan, score kita jadi menyusul kelas AP satu.”
Ina yang baru pindah kelas dua ini memang tidak tahu seperti apa pertandingan tahun lalu. Tapi saat dia jadi perwakilan untuk dua pertandingan acara class meeting, lomba renang dan debat bahasa Jepang dia berhasil menyabet juara pertama. Sehingga score AK 3 sekarang bersaing ketat dengan kelas AP 1, sang juara umum tahun lalu.
“Tapi aku dengar, sepak bola kelas AK tiga itu diandelin banget kan?”
“Iya sih, empat pemain dari kelas AK tiga jadi pemain inti andalan sekolah kita.”
“Dan sekolah kita jadi selalu memenangkan pertandingan sepak bola se-kabupaten, itu kan namanya prestasi besar.” Ari hanya tersenyum.
Memang membanggakan karena Ari merupakan pemain inti di SMK negeri 1 ini sebagai defender. Empat pemain inti lainnya juga berasal dari kelas 11 AK 3, Oktaf sang striker, Eki sang kipper dan Robby berdiri di posisi gelandang tengah. Anak-anak kelas SMK 1 ini juga sudah bisa menebak siapa yang akan menjadi juara umum kali ini.
Ketika mereka tengah asik mengobrol muncul Oktaf dan Eki yang diiringi segerombolan cewek-cewek. Memang bukan hal yang aneh di sekolah ini jika mereka berada dalam kerumunan cewek-cewek seperti gula yang dikerumuni semut karena mereka sangat populer. Mereka juga baru selesai latihan seperti halnya Ari dan cewek-cewek itu sehabis nonton Oktaf dan Eki latihan.
“Wuih… Oktaf sama Eki banyak penggemarnya yah?”
Oktaf dan Eki memang seperti IrNa Bachdim dan Markus Horison, atlet sepak bola yang namanya mulai terkenal setelah pertandingan hebat mereka di piala AFF. Guru-guru sampai menjuluki mereka Oktaf Bachdim dan Eki Horison.
“Namanya juga striker dan kipper andalan, pasti terkenal dan disukai cewek-cewek. Tapi yang kayak begitu itu bikin berisik tahu, setiap kali latihan mereka pasti heboh, apalagi kalau giliran Oktaf yang mendrible bola, pasti mereka pada screamer, Oktaf! Oktaf!” Ina tertawa melihat Ari menirukan teriakan cewek-cewek dan gaya mereka bersorak-sorai bak Cheerleader.
“Tapi mereka nggak tahu kalau defender juga nggak kalah hebatnya.”
“Defender itu jarang jadi sorotan, Na, namanya juga orang belakang, mana ada orang yang mau melirik ke belakang, semua orang itu pasti lihatnya ke depan.”
“Ah, itu cuma perasaan Ari aja, buktinya Paolo Maldini kan defender, dia terkenal sama lagi jadi kapten kayak Ari. Ari juga pasti bakalan kayak Paolo Maldini.” Ari tersenyum mendengar pujian itu. “Ari mau nggak janji sama aku, besok Ari bakalan menang?”
“Pasti.” Diacungkanya ibu jarinya.
“Kalau menang, mau aku kasih hadiah apa?”
“Emm… apa yah?” Ari menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Tapi lalu saat dia melihat bolanya, dia tersenyum. “Apa aja yang penting ada bolanya.” Ujarnya sambil menyorongkan bola ke hadapan Ina.
Ina mengangkat alis. Dasar Ari, maunya serba yang berbau bola.
Ina mengenal Ari pertama kali saat dia baru saja pindah rumah dari Bandung, Ina dan keluarganya menempati rumah kosong di blok C yang berjarak lima rumah dari rumah Ari. Saat bertemu di sekolah ternyata mereka sekelas dan wali kelasnya menempatkan Ina duduk disamping Ari.
Dari cerita teman-temannya dan cerita Ari sendiri, dia ini defender yang gila bola. Ina pernah main ke rumahnya ternyata di kamarnya banyak aksesoris serba bola. Dari mulai gantungan kunci berbentuk bola, poster pemain sepak bola idolanya sampai kaos bola. Pokoknya kamar Ari semuanya serba bola. Entah itu bergambar bola atau gambar lambang tim kesayangannya Real Madrid dan Milan.
Ari menggidolakan team sepak bola Real Madrid dari Spanyol, pemain yang paling diidolakannya sang kipper Iker Cassilas. Tapi selain itu, dia juga mengidolakan pemain-pemain lain dari tim sepak bola yang lain. Hampir semua pertandingan sepak bola selalu dia tonton sekalipun waktunya tengah malam.
Dari Ari lah, Ina jadi banyak tahu tentang sepak bola. Pemain andalan dari berbagai negara, negara yang pernah menjadi juara di ajang piala dunia, sampai mascot piala dunianya aja Ari hafal. Main game bolanya juga jago, kalau sudah main game bola pasti Ari lupa waktu. Dan karena Ari lah terkadang Ina iseng membaca Koran yang memuat artikel tentang bola. Kalau sudah bicara tentang bola, Ari pasti semangat makanya Ina sengaja membaca berita tentang bola agar bisa menyambung saat mengobrol dengan Ari.
***
“Ina, besok pertandingan final sepak bola yah? Kamu mau datang.” Nia mensejajarkan langkahnya dengan Ina yang sudah berjalan lebih dulu bersama dengan Kiki.
“Iya dong, Ina datang kan buat dukung aku.” Tiba-tiba Oktaf muncul diantara mereka. “Iya kan, Na, besok kamu mau datang?”
“Pasti… besok kan sekalian pengumuman kelas mana yang bakal jadi juara umum tahun ini.”
“Pasti kelas AK tiga dong… kan di kelas dua AK tiga ada striker nomor satu.” Oktaf menepuk dadanya dengan sombong.
“Jangan lupa, AK tiga dapat score tinggi kayak sekarang juga bukan karena sepak bolanya aja kan, tahun kemarin sekalipun kelas AK tiga juara sepak bolanya tetep aja kita nggak jadi juara umum.” Ujar Kiki.
Dia kesal sekali melihat sikap sombong Oktaf yang merasa dirinya sebagai striker nomor satu. Padahal sepak bola itukan dimainkan oleh sebelas orang jadi selain Oktaf masih banyak pemain-pemain lain yang hebat.
“Iya… iya… maaf deh. Na, aku janji besok aku bakal cetak hatrik buat kamu.”
“Buat aku? Kenapa?”
“Tunggu aja besok.” Oktaf lalu berlari menyusul teman-temannya yang lain untuk bersiap latihan kembali.
“Kamu nggak tahu, Na, Oktaf itu kan naksir kamu.”
“Ah, masa sih… itu cuma perasaan kalian aja kali.”
“Aduh, Nia, lihat temen kita ini, masa sih udah gede begini dia nggak bisa lihat sinyal cinta yang dikasih sama cowok sih?”
Ina bukannya nggak tahu dengan sinyal cinta yang diperlihatkan Oktaf padanya. Bagaimana dia sampai tidak tahu jika Oktaf memperlihatkan sinyal cintanya dengan terang-terangan. Padahal Ina udah lama suka sama Ari tapi si maniak bola itu kayaknya nggak pernah tahu perasaannya.
Bagaimana Ari bakalan menyadarinya jika di otak Ari yang ada cuma bola dan bola? Sepertinya selain bola nggak ada lagi deh yang dipikirkan oleh Ari. Ina sendiri tidak tahu, sejak kapan rasa sukanya pada Ari mulai muncul. Apa karena mereka sering bersama-sama makanya rasa suka itu pun akhirnya muncul? Kata pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta datang karena sering bertemu.
Sudah setahun ini Ina dan Ari bertetangga sekaligus teman sekelas. Setiap pagi Ari rutin menjemput Ina untuk ke sekolah bersama-sama. Dan kadang mereka pun pulang sama-sama. Saat Ari terkadang harus meninggalkan pelajaran karena latihan sepak bola untuk mewakili sekolahnya, catatan Ina lah yang menjadi andalannya. Catatan Ina rinci sehingga memudahkan Ari mempelajarinya. Mama Ina malah sudah menitipkan putri bungsunya ini pada Ari.
***
Lapangan sepak bola di SMKN 1 telah dipenuhi banyak penonton dan para pemain sudah bersiap akan bertanding. Dengan formasi 4-3-1-2 yang menjadi andalan kelas AK 3 dalam mempertahankan gawang agar tidak mudah kebobolan.
Ketika Ina datang, dia hampir saja tidak kebagian tempat kalau saja adik Ari tidak segera memberikan kursi untuk untuknya. Ternyata Nia dan Kiki juga sudah berada disana. Langit sore pun sepertinya mendukung pertandingan final kali ini. Warnanya nampak cerah biru lazuardi, angin sepoi-sepoi sesekali bertiup menembah kesejukan.
Kedatangan Ina bukan hanya untuk menonton pertandingan sepak bola tapi dia juga ingin memberikan hadiah pada Ari yang selalu menjadi juara. Bukan hanya menjadi juara sepak bola tapi juga selalu menjadi juara di hatinya. Ina sudah menyiapkan sekotak coklat yang dia buat sendiri dengan di bungkus alumunium foil sehingga bentuknya mirip bola-bola kecil.
“Kak Ina, aku dengar katanya kakak pacaran sama kak Oktaf ya?” Anya bertanya saat wasit sudah mulai membunyikan peluit tanda pertandingan di mulai.
“Ah, kata siapa? Gosip itu sih….” Ina mengibaskan tangannya. Gara-gara dia terkadang suka jalan sama Oktaf, gosipnya jadi menyebar kemana-mana. Tapi sebenarnya bukan hanya karena Ina suka jalan sama Oktaf tapi lebih karena sikap terang-terangan Oktaf dalam mendekati incarannya.
“Ina sih sukanya sama cowok bodoh yang maniak sama bola, An.” Sahut Nia.
“Emang siapa cowok bodoh itu? Pasti dia nggak nyadar ya, kakak suka sama dia? Duh… cowok bodoh gitu sih ngapain disukai.” Nia, Ina dan Kiki ketawa mendengar komentar Anya yang polos. Tidak sadarkah dia kalau yang dimaksud adalah kakaknya.
***
Pertandingan sudah hampir mendekati babak akhir. Oktaf menepati janjinya pada mencetak hatrick untuk Ina, sampai-sampai saat dia mencetak golnya yang ketiga, dia mengacungkan ibu jarinya pada Ina sebagai tanda bahwa dia telah menepati janjinya pada Ina.
Ina hanya tersenyum meski hatinya bingung sekarang. Dia tahu Oktaf menyukainya tapi yang dia sukai Ari, apa yang harus dikatakannya pada Oktaf? Tadi pagi dia mendapat telepon dari Eki yang memberitahukan sehabis pertandingan nanti Oktaf akan menyatakan cintanya dan menyuruh Ina bersiap-siap tapi biarpun sudah tahu Oktaf akan menyatakan cintanya, Ina tetap saja deg-degan.
“Waktunya sebentar lagi, kelas AK 3 pasti bakalan menang kayak biasanya.” Nia bersorak-sorak.
“Wah… si Eki jadi nih di nobatin sebagai kipper yang gawangnya nggak pernah kebobolan di pertandingan ini, gila Eki emang hebat.” Kiki menambahi.
“Eh, tunggu dulu… lihat… lihat bola ada di kaki lawan!” Ina berteriak.
Bola memang ada di kaki penyerang tim lawan, penyerang itu terlihat akan menendang dari arah kiri, Eki dengan cepat melesat lompat ke arah kiri dan berhasil dihalau Eki tapi bola yang masih hidup itu langsung disundul pemain lain dari arah berlawan. Bola meluncur, penonton pun menahan nafas, mungkinkah Eki sempat berdiri? Diluar dugaan ditahan kaki sang defender dan langsung di tendang keluar sebelum sempat menggetarkan gawang. Dan sang pahlawan itu siapa lagi kalau bukan Ari. Pendukung AK 3 langsung menarik nafas lega dan teriakan pun membahana.
“Ari emang defender yang hebat, kalau dia nggak ada belum tentu Eki bakalan jadi kipper yang nggak pernah kebobolan.” Ujar pelatih.
Peluit tanda pertandingan berakhir berbunyi. Pertandingan dimenangkan oleh kelas AK 3 dengan score 4-0. Pendukung AK 3 langsung bersorak-sorai merayakan kemenangan mereka. Ada yang berjoget-joget, menumpahkan air kekepala, dan bermacam lagi. Dengan begini sudah pasti AK 3 jadi juara umum class meeting kali ini dengan selisih score empat.
Setelah pertandingan usai dan para pemain keluar lapangan anak-anak cewek langsung mengerumuni si pencetak hatrick dan kipper. Tapi hanya beberapa saat Oktaf berada diantara mereka, setelah menerima ucapan selamat, Oktaf langsung menghampiri Ina and the gank yang sedang bersama Ari dan Anya.
“Ari, pinjam Ina-nya sebentar ya, aku pengen ngomong.”
“Oh, iya…” Ari menyahut kaku. Habis, Ina kan bukan miliknya jadi buat apa izin minjem Ina segala, dia kan bukan barang!
Dibawanya Ina ke tempat yang lebih sepi dari kerumunan orang-orang.
“Ina lihatkan, aku udah tepatin janji buat kamu.”
“Terima kasih, aku senang lihat kamu bertanding hebat banget hari ini.”
“Yang mau aku omongin ini sebenarnya kamu udah tahu, dari Eki, aku yang nyuruh Eki telepon kamu, aku emang suka sama kamu, Na, aku cinta sama kamu tapi aku tahu yang kamu suka itu Ari kan? Makanya aku sengaja nyuruh Eki nelepon biar kamu siapin jawabannya sekarang juga.”
Oktaf memang tahu siapa yang disukai oleh Ina, tetapi dia ingin Ina tahu bahwa cintanya pada Ina asli dan tulus.
“Maafin aku ya, aku nggak bermaksud nyakitin kamu tapi aku nggak bisa balas cinta kamu, Oktaf kan banyak penggemarnya pasti bisa temuin cewek yang lebih baik dari aku.”
“Iya aku tahu… nanti kalau aku punya pacar, cewek-cewek itu nggak mau deketin aku lagi.” Oktaf berusaha menghibur diri. Dia pura-pura tertawa padahal Ina tahu Oktaf sedih. Kemenangannya tidak bisa diiringi dengan kemenangan mendapat cinta. “Tapi si bodoh itu udah tahu kamu suka sama dia dan sebenarnya dia juga suka sama kamu tapi dia masih nggak berani bilang aja dan bisanya cuma sembunyi, nguping pembicaraan orang.” Ina terkejut mendengar ucapan Oktaf dan saat dia melihat kearah lain ternyata benar Ari keluar dari persembunyiannya. “Dia kayaknya nggak mau kehilangan kamu.”
“Kok elu tahu gue ngikutin sih, Ok?”
“Bau busuk lu tuh kecium dari puncak menara Eiffel sekalipun, udah sana cepet tembak Ina, aah… seneng lu ya, udah menang bisa dapetin Ina lagi, sirik gua! Hiks…hiks…” Ari hanya tertawa. Oktaf lalu pergi.
“Na, kenapa Oktaf kamu tolak? Dia kan ganteng, terkenal, apa lagi yang kurang?”
“Ya abis, dia kan bukan defender jadi aku nggak suka, kamu tuh nggak tahu apa dari dulu aku sukanya itu sama defender bukan striker kalau striker banyak penggemarnya aku nggak suka, tapi aku kok bodoh banget sih ya suka sama cowok bodoh yang belaga pilon dan masih nanya ‘kenapa kamu nggak suka Oktaf padahal dia ganteng, terkenal, apanya yang kurang?’ Nih hadiah buat kamu, udah ya dadah…” Diberikannya sekotak coklat yang sudah dibuatnya.
“Eh, tunggu…! Aku bukan cuma mau coklat dari Ina aja tapi mau hati Ina juga, mau yah jadi pacar sang defender bukan sang pujangga, defender nggak bisa loh bikin puisi, bikin suasana jadi romantis dengan kata-kata indah, tapi mendribble bola sih bisa, kalau dribble bola bisa bikin suasana romantis, aku mau lakuin buat Ina.”
“Bukan bikin suasana jadi romantis tapi bikin hati aku seneng.”
“Iya, apapun bakal aku lakuin asal Ina bahagia.” Ina tersenyum lalu dipeluknya Ari dengan bahagia.
“Aku mau jadi pacarnya defender.”
“Na, jangan di peluk dong… aku bau nih, kan tadi kata Oktaf, aku bau busuk.”
“Biarin.” Kemudian Nia, Anya dan Kiki muncul. Ari tidak tahu saat dia membuntuti Ina dan Oktaf tadi, ketiga cewek itu juga membuntutinya.
“Cieee… yang baru jadian.” Mereka bersorak. Buru-buru Ina melepaskan pelukannya karena malu.
“Hadiahnya apa sih kak, sini aku lihat.” Anya merebut kotak itu dari tangan abangnya. “Wuiihh… bola coklat, asik… aku mau dong!” Anya mengambilnya sebutir.
“Jangan! Nggak boleh.” Ari merebut kembali kotak beserta sebutir coklat yang sudah mau dikupas dari tangan Anya. “Coklat dari pacarku nggak boleh dimakan siapa-siapa, mau aku pajang di kamar.”
“Mau di pajang di kamar, biar nanti kamarmu habis dikerubungi semut.” Tukas Anya pura-pura sebal.
“Biarin.” Ari memajukan bibirnya gemas sambil tangannya merangkul pacar barunya.
(cat: cerita ini gue bikin waktu masih di SMA dulu, waktu gue masih belum belajar cara2 menulis cerpen, cerita jadul banget nih, tapi gue bikin sedikit perubahan dari cerita yg asli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar