Jumat, 02 Desember 2011

Cinta Pertama Untuk Dea

“Dea, aku suka kamu, mau nggak kamu jadi pacarku?”

Tertegun Dea mendapat pernyataan cinta mendadak dari Tyan.
Mata Dea membelalak dengan mulut menganga, saking kagetnya. Baru saja dia keluar dari kelasnya dan pikirannya masih mumet gara-gara test matematika yang baru dihadapinya, tiba-tiba cowok berbadan gempal dari kelas sebelah ini malah menyatakan cintanya. Dan Dea hanya bisa terdiam mematung.

Teman-teman Dea ber-huu ria menggoda. Nina dan Maya yang berdiri di samping Dea menyenggol lengan Dea. Tapi Dea masih tidak bereaksi, jiwanya seperti melayang dari raganya.

“Dea.” Tyan mencoba menyadarkan Dea dari lamunannya. “Kamu belum jawab pertanyaan aku.”

“Aku nggak mau!” Dea berteriak histeris dan lari tunggang langgang, seperti dia baru saja ditagih hutang dan dia nggak mau bayar.

Mereka tertegun melihat reaksi Dea yang diluar dugaan itu.

Kalau mau menolak, kenapa Dea sampai lari terbirit-birit begitu? Padahal Tyan merasa dia tidak berbuat salah. Dia hanya menyatakan cinta dan ingin menjadi pacar Dea, tapi….
***
Boy heran melihat adiknya yang muncul dengan wajah pucat dan nafas terengah-engah. Sebagai kakak tentu saja Boy khawatir, dia tidak mau terjadi apa-apa pada adik kecilnya ini.

“Dea, kamu kenapa?”

“Nggak. Aku baik-baik aja.” Dea menggeleng kencang sambil dia naik ke boncengan motor abangnya, tapi nafas Dea yang masih belum teratur membuat Boy makin curiga.

“Bohong! Pasti ada yang kamu sembunyiin kan, ayo bilang sama kakak?”

“Aku nggak apa-apa, kak!” suara Dea tiba-tiba agak meninggi. “Kalau aku bilang nggak apa-apa ya nggak apa-apa, udah sih jalan aja.”

“Turun!” Boy menukas. Dea hanya terdiam, dia sadar Kakaknya marah. “Kamu pikir Kakak ini tukang ojeg apa, enak aja kamu bentak Kakak kaya begitu.”

“Maaf, kak.” Dea tertunduk.

Boy lalu menstater motor sport-nya. Ketika motor sport itu meluncur meninggalkan halaman sekolah Dea, Tyan muncul bermaksud ingin meminta maaf pada Dea.
***
Sikap Dea semakin mengherankan ketika mereka tiba di rumah. Dea tidak langsung mencari Mama seperti biasanya, dia malah langsung menuju kamarnya di lantai atas. Mama yang dari dapur sudah terburu-buru keluar untuk menyambut putrinya jadi tertegun heran.

“Dea kenapa, Boy?”

Si sulung mengangkat bahu.

“Waktu aku jemput juga, tingkah dia udah aneh, masa tadi aku dibentak.”

“Dea bentak kamu?” Mama merasa sangsi.

Mama merasa sangsi bukan karena mengira Boy berbohong tapi lebih karena sikap tidak biasa Dea.

“Iya, aku juga tadi kaget, Ma. Masa aku cuma tanya, dia malah bentak aku.”

“Ya udah, biar Mama temui dia dulu, kamu kalau mau makan sudah Mama siapkan, tapi ganti baju dulu.” Mama lalu melangkah meniti anak tangga menuju kamar Dea. “Dea.” Di depan kamar Dea, Mama mengetuk pintu.

“Masuk, Ma, nggak dikunci.”

Setelah mendapat izin dari si empunya kamar, Mama lalu membuka pintu kamar bernuansa pink itu. Dihampirinya putrinya yang sedang duduk di depan cermin, seragam biru-putihnya belum sempat dia ganti. Tas dan sepatu juga masih berserakan dilantai.

“Ada apa anak Mama, kok hari ini sikapnya aneh?”

“Nggak ada apa-apa, Ma.” Dea menyahut pelan. Tidak mungkin dia beritahukan pada Mama atau Boy mengenai kejadian di sekolah tadi.

“Bener nggak ada apa-apa?”

“Bener, Ma, nggak ada apa-apa.”

“Kalau nggak ada apa-apa, kok sikap Dea sekarang aneh sih? Pulang sekolah langsung pergi ke kamar, biasanya Dea langsung pergi ke dapur cari makan, trus tadi katanya kak Boy kamu bentak, memangnya kenapa?”

“Aah…, kak Boy tukang ngadu, kan aku juga tadi udah minta maaf.”

“Eh, kak Boy ngadu, karena dia khawatir sama kamu, Dea. Kamu ditanya malah bentak kak Boy, gimana kak Boy nggak bakal ngerasa heran dan khawatir sama sikap kamu.”

“Dea baik-baik aja kok, Ma, suer deh, kalau ada apa-apa Dea pasti bakal bilang sama Mama.” Kalau aku bisa ceritanya sama Mama itu juga.

“Bener yah, kalau ada apa-apa kamu cerita sama Mama.”

Dea mengangguk meyakinkan Ibunya kalau dia baik-baik saja.
Setelah Ibunya pergi, Dea beranjak dari tempat duduknya lalu menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur. Dipandanginya langit-langit kamar yang telah dilukis ayahnya dengan langit malam berhiaskan bintang. Meski matanya memandangi langit kamar tapi saat ini pikiran Dea menerawang mengingat kejadian siang tadi di sekolah.

Kenapa sih Tyan malah nembak dia? Padahal banyak cewek yang menyukai si ketua osis itu, tapi kenapa Tyan malah memilihnya? Lagipula Dea masih belum mengerti apa artinya cinta, baginya semua cowok sama saja. Dia sayang Tyan seperti juga dia menyayangi teman-temannya, tidak ada yang istimewa.

Teman-temannya sampai sering meledek Dea belum dewasa lah, hormonnya tidak normal lah, karena di usianya yang sudah empat belas tahun, Dea belum pernah jatuh cinta.
Memangnya apa sih pentingnya jatuh cinta? Pacaran? Kan masih anak kecil. Dea bergumam. Guru-guru dan orang tua aja malah melarang kita pacaran, trus ngapain harus bantah perintah guru dan orang tua?
***
“Kak Hanna, jatuh cinta itu seperti apa sih rasanya?”

Hanna tertegun mendapat pertanyaan dari adik bungsunya. Malam-malam Dea menggedor-gedor pintu kamarnya hanya sekedar menanyakan seperti apa rasanya jatuh cinta?

Dia jadi bingung jawaban apa yang paling tepat untuk diberikan pada adiknya? Hanna tidak pernah mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti ini dari adiknya, apalagi tengah malam begini. Kalau tidak salah saat dia seumur Dea, dia tidak pernah menanyakan apa rasanya cinta, semua mengalir begitu saja.

“Jatuh cinta itu….” Hanna melipat tangan diatas perutnya. “Rasanya seperti apa ya?” Kali ini dia menggerak-gerakkan kakinya lalu mengetuk-ketuk pelipis dengan jarinya.

“Coklat. Iya, rasanya seperti coklat dan indah seperti pelangi.” Kali ini giliran Dea yang tertegun. Jatuh cinta itu rasanya seperti coklat? Emangnya bisa dimakan yah? Atau hanya bisa dipandang seperti Pelangi? Dea semakin bingung. “Udah…, ah. Udah malem juga tanya-tanya yang begituan lagi, besok aja tanya sama Mama.” Hanna menutup pintu kamarnya tanpa memberi kesempatan Dea kembali bertanya.

Dea makin bingung. Padahal dia sudah memberanikan diri bertanya pada kakak perempuannya yang dia anggap sudah mengerti, karena sudah SMA, ternyata Hanna malah kasih jawaban yang bikin dia tambah bingung.

Kakaknya malah menyuruhnya tanya Mama. Kalau dia berani juga, dari kemarin siang sudah ditanyakannya sama Mama. Dea merasa malu dan takut, kalau Mama marah gimana? Atau Mama malah menggodanya seperti teman-temannya.

Tanya sama kak Boy juga rasanya nggak mungkin. Terbayang olehnya, kak Boy pasti akan berkata dengan galak, “Jangan! Kamu nggak boleh pacaran! Siapa cowok yang udah mempermainkan kamu, biar aku hajar!”

“Hauf…” Dea mendesah.

Gara-gara pernyataan cinta Tyan kemarin, dia jadi nggak bisa tidur semalaman, memikirkan apa rasanya jatuh cinta. Untung saja hari ini hari minggu, jadi dia nggak perlu ke sekolah dan nggak perlu ketemu Tyan.

Dentang jam berbunyi satu kali saat Dea kembali ke kamarnya, sontak Dea terkejut.
Ya Tuhan! Sudah jam satu malam, hari minggu kan biasanya dia datang! Aduh… aku nggak boleh kelihatan pucat gara-gara kurang tidur nih.
Bergegas Dea melompat ke atas tempat tidurnya.
***
Hari minggu. Hari yang sangat indah. Sangat…sangaaaat indah buat Dea. Karena hari minggu akan ada seseorang yang datang. Pagi-pagi sekali Dea sudah bangun untuk melakukan jogging keliling kompleks perumahan yang terletak di belakang kampus Untirta, biarpun mata masih setengah mengantuk tapi Dea memaksakan diri untuk jogging.

Sehabis jogging selama satu jam, Dea pergi ke dapur membuat kripik singkong. Dia kan suka banget sama kripik singkong buatannya, dan untuk menu makan siang, akan dibuatkannya sop daging sapi dan tempe goreng. Hem, dia kan suka banget sama tempe goreng.

Dea menengok kulkas. Semua bahan yang dibutuhkannya sudah tersedia. Senyumnya pun terkembang. Saatnya dia sibuk didapur.
***
Perfect. Dea tersenyum puas. Kripik singkong sudah siap, menu makan siang juga sudah terhidang di meja.

“Dea, kamu masak buat Papa yah, kebetulan sekali sudah waktunya makan siang, Papa sudah lapar nih.”

“Eh, bukan. Buat Papa ada kok, udah Dea siapin, Dea simpen di lemari.”

“Trus ini buat siapa?”

“Buat… buat…”

“Pasti buat Dian, Pa.” tiba-tiba Hanna muncul.

“Dian?” dahi Papa berkerut. “Dian temennya Boy? Guru private matematika Dea itu? Kamu suka Dian, De.” Dea terdiam mendengar tebakan Papanya.

“Tahu tuh, Pa, genit. Semalem aja tengah malam dia gedor-gedor pintu kamar aku buat tanya rasanya jatuh cinta, ngapain coba tanya-tanya kayak begitu.”

“Loh, bukannya kamu pacaran sama adiknya? Ituloh si ndut Tyan.” Mama yang sedang ada di dapur ikutan nimbrung.

“Mama tahu darimana?” tanya Papa.

“Kemarin pulang sekolah tiba-tiba Dea langsung mengurung diri sampai sore, Mama khawatir trus Mama telepon Maya, kata Maya Dea ditembak Tyan tapi dia malah lari kocar-kacir kayak dikejar maling sambil bilang nggak mau.”

Sontak Papa dan Hanna tertawa mendengar penjelasan Mama.

“Papa nggak ngelarang kok Dea pacaran, tapi harus tahu batas, jangan ngelakuin hal yang macam-macam.”

“Tapi Dea nggak suka Tyan, Pa.” tukas Dea kemudian. Dia merasa sebal tiba-tiba saja orang tua dan saudaranya menyinggung Tyan, padahal dia sedang tidak ingin mengingat Tyan.

“Tapi ngomong-ngomong Dian kemana yah? Kok sudah jam sebelas belum datang juga? Bukannya belajar private Dea itu jam sepuluh?”
***
Dea memerhatikan lampu merah yang belum berubah dengan perasaan cemas. Padahal tujuannya hanya ke kompleks Ciceri Permai tempat tinggal Dian, yang hanya diperlukan waktu tempuh kurang lebih setengah jam. Tapi kenapa setengah jam kali ini terasa sangat lama? Sup yang sudah dimasaknya sejak tadi pasti sudah dingin.

Ketika mereka sedang membicarakan Dian tadi, yang datang malah telepon dari Tyan yang mengabarkan guru private Dea baru saja mengalami kecelakaan saat akan menuju kerumahnya, jadi dia tidak bisa mengajar hari minggu ini.

Dea tentu saja panik, meski Tyan mengatakan abangnya tidak mengalami luka parah dan sedang beristirahat di rumah tapi Dea tetap saja cemas. Dengan izin dari Mama dan Papa, Dea pergi ke rumah Dian untuk menjenguknya. Tidak lupa dibawanya sup dan kripik singkong buatannya.
***
“Dea, ngapain kamu kesini?” Dian terkejut saat melihat kedatangan Dea di rumahnya.

“Kak Dian nggak apa-apa?” Dea semakin cemas melihat tangan Dian lecet-lecet.

“Nggak apa-apa kok, De, cuma luka kecil, lecet ini juga karena nggak pakai jaket, habis karena kakak bangun kesiangan jadinya buru-buru trus lupa pake jaket, di lampu merah dekat Carrefour motor kakak diserempet, emang kaki juga keseleo sih. Eh, masuk yuk, De.”

Dea masuk setelah dipersilahkan.

“Aku bawain sop sama kripik singkong nih.”

“Ya ampun… jadi ngerepotin, padahal nggak usah pakai nengok segala, kakak nggak apa-apa kok, besok juga udah bisa kuliah lagi. Oya, Tyan ada dikamarnya tuh, nggak mau ketemu sama Tyan?” Dea menggeleng. “Katanya baru jadian sama Tyan.”

“Siapa yang bilang?” Dea terkejut.

“Loh emangnya nggak gitu? Kemarin Tyan bilang kalian baru jadian.”

Dea nyengir. Dasar Tyan nyebarin gossip yang nggak-nggak, awas kamu!

“Aku aja nggak tahu jatuh cinta itu apa, tanya sama kak Hanna, katanya seperti makan coklat dan lihat pelangi.”

Dian tertawa mendengarnya. Dasar Hanna, tega sekali dia membuat adiknya bingung.

“Maksud kak Hanna mungkin begini, karena cinta itu kadang rasanya manis tapi kadang juga pahit seperti coklat, Dea tahu kan nggak semua coklat manis, malah aslinya coklat kan pahit. Tapi cinta juga indah seperti pelangi, berwarna-warni, kamu nggak perlu tanya seperti apa rasanya cinta karena pertanyaan itu emang nggak bisa dijawab cuma bisa dirasain, perasaan itu bakal datang dengan sendirinya, suatu hari kamu bakal ngerasain yang namanya jatuh cinta, waktu kamu nggak bisa tidur karena terbayang terus cowok yang kamu suka, waktu kamu ngerasa senang saat ketemu dia, atau merasa cemas kalau kamu nggak dengar kabarnya.”

“Aku pernah ngerasain perasaan kayak begitu.”

“Oya? Sama siapa?”

“Sama kak Dian.” Tertegun Dian mendengar pengakuan Dea. “Kalau aku ketemu kak Dian pasti aku merasa senang, tiap hari rasanya pengen hari minggu terus, nunggu hari minggu itu buat aku kayak nunggu tahun baru, lama banget, kalau kak Dian nggak dateng atau telat aku jadi kuatir takutnya ada apa-apa, setiap berdua sama kakak rasanya nafasku sesak, jantungku terus berdetak kencang, aku lebih senang ketemu kak Dian daripada ketemu Tyan, apa itu yang namanya jatuh cinta?”

Dian diam seribu bahasa, dia tidak menyangka muridnya akan menyatakan cinta seperti ini. Haruskah dia merasa senang atau merasa sedih. Dian memang menyayangi Dea tapi tentu saja sebagai adik, karena Dea adik sahabatnya juga teman adiknya, tapi untuk menyakiti hati Dea, Dian juga tidak sanggup.

Tidak ada komentar: