“Des, mau sampai kapan sih kamu buat Panji terus menunggu seperti ini?” Dina terlihat sudah jengkel dengan sikapku yang lagi-lagi menolak Panji.
Ini memang sudah ketiga kalinya Panji menyatakan cinta tapi lagi-lagi aku tolak. Lagian salah sendiri kenapa masih keukeuh aja bilang cinta padahal dari pertama kali Panji bilang cinta juga kan aku sudah bilang, “Panji, buat aku kamu ini nggak lebih dari sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi” eh, dia masih saja bilang cinta buat yang kedua dan sekarang ketiga kalinya. Emangnya aku sendiri nggak bosan dengarnya?
“Biarin aja, biar dia bosan sendiri.” Tukasku jengkel. Oh, pasti aku jengkel malah teramat sangat jengkel sekali. Aku saja rasanya sudah bosan dengar pernyataan cinta dari dia, tapi kenapa dia nggak bosan-bosan juga?
“Karena Roma lagi? Ngapain sih kamu masih aja mikirin dia?”
Tersentak aku mendengar Dina menyinggung nama itu lagi. Aku menatap sahabatku itu dengan perasaan tidak menentu. Kenapa kamu masih harus menyinggung Roma sih? Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan Roma, aku… aku hanya takut. Aku takut kalau aku jatuh cinta sama Panji, besok-lusa juga aku yakin aku pasti bakalan patah hati. Kalau bukan aku yang patah hati berarti Panji yang akan terluka karena aku nggak bisa membalas cintanya sesuai dengan yang dia harapkan. Daripada itu terjadi lagi mending nggak usah memulai kan?
“Kenapa kamu singgung-singgung soal Roma?” Mau nggak mau aku jadi ingat lagi kejadian yang pernah terjadi lebih dari setengah tahun yang lalu. Yah, dialah yang membuat aku seperti ini. Jatuh terpuruk karena luka. Aku sampai merasa tidak bisa bangkit lagi setelah Roma melukai hatiku. “Padahal aku udah nggak mau ingat-ingat dia lagi.” airmataku jatuh merembes.
“Ma… maaf, Des, aku nggak bermaksud bikin kamu sedih.” Dina merangkulku lalu membawa aku kedalam pelukannya. Sepertinya dia menyesal karena sudah membuat aku jadi sedih. Mengingat Roma memang menyakitkan dan hanya akan membuat aku meneteskan airmata saja.
Setahun aku jatuh bangun mengejar cinta Roma. Tapi bukan cinta yang aku terima malah luka yang nggak pernah ada habis-habisnya. Luka yang dengan seenaknya dia buat sampai aku meringkih kesakitan. Menangis semalaman. Aku jadi tidak percaya lagi pada cinta apalagi cinta pada pandangan pertama. Semua itu bullshit. Aku yang satu tahun mencintai Roma saja hanya berhasil menuai luka jadi mana ada yang namanya cinta pada pandangan pertama?
Kenapa aku harus dipertemukan dengan Roma? Selalu tanya itu yang mengganggu benakku. Kalau akhirnya dialah satu-satunya orang yang ingin kulupakan seumur hidupku. Mungkin ada sesuatu yang ingin Tuhan tunjukkan padaku sehingga Dia mempertemukan aku dengan laki-laki itu, diperbolehkan mencintainya.
Memang aku tidak seharusnya menyalahkan Roma, dia hanya bagian dari sepenggal masa laluku. Bukan salahnya kenapa aku jadi trauma jatuh cinta. Ah, tak seharusnya memang aku trauma seperti ini. Tapi aku selalu merasa takut jika aku dengar ada orang yang tertarik padaku. Ingin mengenalku lebih jauh. Atau bahkan ingin mendapatkan sebongkah dari hatiku. Aku takut terluka lagi. Aku tidak mau merasakan sakit itu untuk kesekian kalinya.
Roma memang bukan orang pertama yang pernah kucintai namun tak sanggup kugapai. Aku pernah mengalami luka yang sama. Dan aku adalah orang bodoh yang bisa jatuh ke lubang yang sama untuk yang kedua kalinya bahkan sebodoh-bodohnya keledai pun tidak ingin mengalami hal seperti itu tapi aku…?
Roma memang pernah mengatakan dia belum bisa membalas cintaku karena dia belum mau pacaran. Tapi kenapa cinta yang selama ini aku suguhkan selalu mendapatkan sambutan darinya? Untuk apa dia menyambutnya jika dia tidak ingin terperosok kembali kedalam cinta yang pernah memberikan luka padanya? Lantas karena itu semua malah memberikan luka yang baru dihatiku. Baru sekali dan masih sangat basah. Terlalu sakit untuk kukenang lagi kenyataan pahit itu.
“Aku sama sekali tidak pernah merasa memberikan harapan sama kamu, mungkin ini salah persepsi kamu saja.”
Salah persepsi? Begitu menyakitkannya kata-kata Roma terdengar ditelingaku menusuk jantungku. Apa yang dia anggap salah persepsi itu? Bagaimana dia bisa menganggap aku salah persepsi kalau yang menganggap Roma juga sebenarnya mencintaiku tapi dia tidak bisa mengungkapkannya bukan cuma aku tapi teman-temanku yang lain? Shinta, Eka, Ina, Dina dan Panji bisa menjadi saksi bagaimana Roma pernah memberikan harapan palsu padaku.
Begitu tulus nampak terlihat Roma menyambut cintaku ketika itu. Membuatku terus berharap suatu hari nanti Roma akan membalas cintaku. Mungkin sebenarnya dia sudah mencintaiku hanya saja dia belum berani mengakuinya. Munafik. Tapi kenyataan yang mampir dalam hidupku hanya kata-kata pahit yang diucapkan Roma yang telah menganggap aku hanya salah persepsi.
Kenapa begitu? Apa dia terlalu sakit hati pada perempuan yang pernah meninggalkannya lantas membalaskannya padaku? Apa salahku? Aku tidak ada kaitannya ketika Roma bersama perempuan itu, kenapa dia membalas sakit itu padaku? Tapi kuanggap itu hanya salah persepsiku saja. aku tidak mau menuduh Roma sekejam itu. aku juga tidak menuntut balas dengan apa yang telah kuberikan padanya. Bukan hanya sepenggal hatiku tapi mungkin juga separuh jiwaku.
“Sudah saatnya sekarang kamu bener-bener lupain Roma dan mulailah kamu buka hati kamu buat kak Panji. Semua orang pernah terluka Deswita dan seharusnya itu jadi pembelajaran buat kamu bukan bikin kamu trauma seperti ini.”
“Kenapa kamu nggak belajar mencintai orang yang mencintai kamu, Des?”
“Aku pernah, Dina, kamu ingat kan sama Aziz? Dia yang mencintai aku, mendekati aku tapi hasilnya? Aku udah coba menerima Aziz tapi tetap aku nggak bisa, akhirnya malah aku bikin Aziz terluka, aku nggak mau kalau sampai kejadian begitu terulang lagi, aku nggak mau menyakiti Panji.”
“Kalau gitu yang harus kamu lakuin sekarang bukan cuma sekedar belajar mencintai orang yang mencintai kamu tapi kamu belajar untuk nggak melukai hati orang yang mencintai kamu.”
***
“Des, udahlah kamu lupain Roma, nggak perlu kamu ingat-ingat dia terus, nggak perlu kamu terus sedih begini, Roma emang brengsek! Cowok macam dia nggak pantes kamu tangisi. Masih ada aku, Des, aku yang bakal terus ada disamping kamu. Sebenarnya sudah lama aku cinta sama kamu, Deswita, tapi karena kamu mencintai Roma makanya aku nggak berani terus terang. Aku sayang kamu, Des.”
Tidak pernah bisa aku lupa kata-kata Panji waktu itu. Tapi aku malah merasa sedih mendengarnya. Kenapa Panji bisa mencintai aku? Orang yang begitu aku percaya dan sudah aku anggap sebagai sahabat terbaik. Dan waktu itu aku menolaknya dengan kata-kata yang pasti akan menyakitkan hati Panji.
“Panji, buat aku kamu ini nggak lebih dari sahabat, aku nggak bisa mencintai kamu karena aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi” kata-kata itu sama saja dengan menutup harapan untuk Panji. Tapi sampai sekarang Panji tetap nggak menyerah.
Panji memang terlalu baik. Biar aku sudah dua kali menolak dia tapi dia tetap ada buat aku. Kehadiran Panji bukan sekedar sebagai teman biasa. Dia seperti sahabat yang selalu setia dengar curhat aku. Seperti kakak yang selalu menasehati aku kalau aku sedang bimbang dan melindungi aku setiap waktu. Seperti adik dengan sikapnya yang kadang-kadang manja selalu minta di perhatikan, apalagi kalau sedang sakit manjanya setengah mati. Tapi dia juga memang seperti seorang kekasih yang setia.
Ketika aku bahagia dengan Roma, senyum Panji akan terukir menunjukkan kebahagiaan yang sama juga dia rasakan. Ketika aku sedih karena Roma, Panji lah orang pertama yang akan memberi pelajaran pada Roma agar dia jangan coba-coba membuat aku sedih lagi. Dan waktu pertama kali Panji mengungkapkan cintanya, dia bilang sudah lama mencintaiku. Tidak terbayangkan olehku bagaimana dia bisa menerima keadaanku yang terus-terusan mengejar Roma tanpa meliriknya. Padahal dia satu-satunya orang yang paling setia dan tidak pernah menyakiti hatiku.
***
Serentak aku beranjak dari tempat duduk lalu aku berlari keluar. Yang ada dalam fikiranku sekarang aku ingin mencari Panji. Aku ingin minta maaf. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Aku ingin… ah, pokoknya aku ingin bicara dengan dia.
“Kamu mau kemana?” suara Dina menghentikan langkahku tepat didepan pintu.
“Aku mau nyari Panji.”
“Deswita, gerimis.”
Sejenak aku terdiam diambang pintu memandangi hujan gerimis yang mulai membasahi bumi Serang. Biar. Biarin gerimis juga. Biar hujan gede atau hujan es sekalipun aku tetap ingin mencari Panji. Aku kembali lari menelusuri jalan perumahan kompleks Untirta ini.
Semua orang pernah terluka karena cinta. Karena luka adalah bagian dari cerita cinta. Kalau orang lain saja bisa bangkit dan menata kembali hati yang sudah terlanjur hancur berkeping, kenapa aku tidak bisa? Benar yang dikatakan Dina, luka ini bukannya membuat aku semakin terpuruk tapi seharusnya mendewasakan aku. Agar aku tidak salah lagi mengambil langkah. Mungkin aku terlanjur terluka karena Roma tapi pasti akan aku petik hikmah dibalik semua ini.
“Deswita, kamu mau kemana?” aku tersentak rasanya telingaku mendengar suara yang sudah lama aku kenal. Atau hanya perasaanku saja? mungkin telinga aku yang udah aku pakai hampir delapan belas tahun lebih ini sudah karatan makanya dia salah mengenali suara orang. Tapi aku yakin itu suara Panji. Karena penasaran aku lalu menegadah.
“Panji.”
“Hujan-hujan begini kamu mau kemana, Des?”
“Aku nyariin kamu, Panji, kenapa kamu ada disini?”
“Loh, aku baru mau kerumah kamu, ayo naik, nanti hujannya keburu gede.” Panji menyuruhku naik ke motornya.
“Nggak. Aku mau ngomong sekarang, aku nggak mau tunda lagi.”
“Ditunda cuma buat beberapa menit sampai kerumah kamu, Des, masa kita mau bicara dijalan begini?” aku menggeleng bersikeras.
“Pokoknya aku mau ngomong sekarang!” aku nggak mau tunda lagi biarpun cuma buat sedetik, aku khawatir nanti malah mulut aku keburu terkunci lagi. “Ya udah, mau bicara apa?” Panji lalu turun dari atas motornya.
“Apa… apa… apa…” Aku menggigit bibir bawah. Kenapa sih susah sekali kalimat itu meluncur dari mulutku ini? Aku bener-bener deg-degan sementara gerimis masih belum berhenti. “Apa pernyataan semalam masih berlaku?” Aah… aku menarik nafas lega, akhirnya keluar juga kata-kata itu.
“Pernyataan? Pernyataan yang mana?” Panji berfikir sambil mengerutkan dahi. Tapi aku tahu dia hanya pura-pura buat menggoda aku. Aku langsung cemberut. bikin jengkel saja aku kan serius.
“Panji. Aku serius.”
“Iya… iya… aku serius masih berlaku kok, untuk kamu berlaku seumur hidup”
“Apa boleh aku berharap?”
“Berharap? Kenapa sekedar berharap?”
“Buat aku kamu itu beda dari cowok-cowok lain karena kamu hadir setelah aku mengalami yang namanya mencintai, dicintai, menyakiti dan disakiti, aku nggak mau semua itu terulang sama kamu, Panji, aku sayang kamu makanya aku nggak mau sakitin kamu dan aku mau belajar mencintai kamu tapi kalau sekarang aku baru ngasih sepuluh persen dari hati aku nggak apa-apa?” Panji tersenyum. Senyumnya begitu tulus dan hangat. Senyum yang selalu membuat aku merasa terlindungi.
“Jangankan sepuluh persen, biar cuma satu persen sekalipun aku tetap bakal simpan disini.” Panji menunjuk dadanya sendiri. “Dan akan aku simpan dengan baik lalu aku akan mengambil sembilan puluh sembilan persen sisanya, selama ini aku selalu menunggu dan kalau sekarang aku masih harus menunggu sampai cinta itu seratus persen kamu kasih ke aku, aku rasa, aku masih sanggup.” Aku tercengang mendengarnya sampai-sampai aku merasa speechless. Yang bisa aku lakukan hanya tersenyum.
Tuhan… kenapa hati ini rasanya bahagia sekali. Tak sadar airmataku mengalir pelan membasahi pipiku. Entah mengapa aku menangis? Tapi airmata ini bukanlah airmata kesedihan karena aku belum bisa memberikan seluruh hatiku untuknya tapi airmata kebahagiaan karena janji Panji yang akan merebut sembilan puluh sembilan persen sisanya. Aku akan belajar, Panji, mulai hari ini aku akan belajar mencintai kamu. Akan aku buang semua kenangan tentang Roma dan luka itu agar di hatiku hanya ada Panji seorang.
Panji lalu merangkul bahuku dan mendendangkan lagu yang dinyanyikan Ungu.
“Tahu kah kau apa yang kau lakukan itu? Tahukah kau siksa diriku. Bertahun kunantikan jawaban dirimu. Bertahun-tahun ku menunggu. Kau sangka aku akan menyerah. Kau sangka aku akan pasrah. Dirimu tak perdulikan aku walau cinta hanya untukmu. Walau kasih hanya untukmu. Walau sayang hanya untukmu.”
Aku tertawa mendengar bait lagu itu. Dasar. Panji memang sudah gila. Cinta Panji memang cinta gila. Tapi aku bahagia melihat Panji tetap setia seperti ini. Malah hujan yang tadinya gerimis sampai tidak terasa jadi bertambah besar. Buru-buru kita kembali kerumahku dengan menaiki motor Panji. Aku dan Panji kembali tertawa ketika kami sampai dirumah membuat Dina terbengong-bengong heran melihat kami.
“Ada apa sih ini, ada apa?” Dina bertanya-tanya heran tapi aku tidak buru-buru menjawab. Aku hanya bersandar manja ke badan Panji yang tangannya langsung merangkul bahuku. Lalu tanpa sempat aku menghindar Panji mencium keningku. Aku kaget. Tapi lalu tersenyum. Begitu juga dengan Dina yang mulai mengerti dan ikut-ikutan tersenyum bahagia.
(cerpen ini pernah tergabung dalam kumpulan cerpen gilalova 2 terbitan Gong Publishing 2010 dg judul yg sama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar